Di dalam kamarnya, Cliantha tidak henti-hentinya mengingatkan Narendra akan statusnya sekarang yang sudah menjadi suami dari dua orang istri. Itu berarti ada dua kewajiban dan tanggung jawab yang harus pria itu tanggung dalam hidupnya.
Sembari Narendra sedang memangku layar pipih berukuran 14 inch itu, Cliantha datang membawakan secangkir kopi untuk suaminya.
Cliantha selalu tahu apa yang dibutuhkan Narendra. Saat ini, pria itu sesungguhnya sudah lelah dengan pekerjaannya. Berulang kali menguap dan meregangkan otot-otot di tubuhnya, tetapi aktivitas dengan layar laptopnya belum juga usai. Munculah inisiatif wanita itu muncul dengan membawakan secangkir kopi untuk suaminya.
“Terima kasih,” ucap Narendra pada istrinya.
“Mas, kalau sudah lelah berhentilah. Apa tidak bisa dilanjutkan esok hari saja?” Tanya Cliantha pada suaminya dengan sangat lembut.
Narendra tidak pernah sedikit pun mengabaikan Cliantha, dia akan mendengar dan menatap istrinya kala ia sedang berbicara. “Sebentar lagi, Sayang. Kalau ditunda besok, maka pekerjaanku besok hari akan menumpuk karena setiap hari akan bertambah. Kamu tidurlah dulu, jangan menungguku,” kata Narendra menatap istrinya yang duduk di tepian ranjang yang dekat di sisinya.
“Mas malam ini jangan tidur di sini, ya?” Kata Cliantha tiba-tiba, membuat Narendra mengerutkan wajahnya seketika.
Melihat wajah Cliantha yang serius saat mengatakan hal itu tanpa ada raut gurauan disana, membuatnya bertanya tanya, “Memangnya kenapa?”
“Ada istri mas yang lain yang sedang menunggu kamu,” jawab Cliantha.
Narendra mendengus malas, “Bisakah sehari saja kamu tidak membahas dia? Berapa banyak harus kukatakan kalau aku tidak bisa dan aku tidak cinta?” Ucap Narendra lirih, tapi penuh penekanan.
“Tapi, bagaimana pun juga mas sudah menikah dengannya. Cinta atau tidak cinta, bisa atau tidak bisa, Mas tetap mempunyai kewajiban sebagai suami. Sama seperti mas bertanggung jawab atas diriku, Jihan pun mempunyai hak yang sama,” ucap Cliantha lembut, tetapi terdengar sangat serius.
Bukannya menjawab, Narendra malah bangkit dari posisinya yang bersandar pada bedboard, lalu segera menutup layar laptopnya.
“Mengapa kamu terus memaksaku, Cia? Memangnya apa yang kamu harapkan dariku dan wanita itu?”
“Anak, seorang anak untuk melanjutkan keturunanmu,” jawab Cliantha.
“Yakin sependek itu? Bagaimana jika ternyata aku melakukan hal lebih yang tidak pernah kamu duga sebelumnya? Apa kemudian kamu akan menyesal dan menyalahkanku?” Tanya Narendra.
Cliantha menggeleng, “Tidak akan ada kata penyesalan untukku, Mas. Aku sudah bersiap untuk apapun yang akan terjadi. Aku dan dia sama-sama istri. Tidak akan ada kata cemburu bagiku.”
“Kalau kamu berpikir seperti itu, ayo coba kita buktikan!” Kemudian, Narendra bergerak dan memajukan wajahnya, memberikan kecupan-kecupan lembut di wajah istrinya. Mulai melakuan hal-hal romantis yang biasa mereka lakukan meskipun kali ini tidak ada balasan dari wanita itu.
“Apa kamu tidak pernah membayangkan jika suamimu ini melakukan hal seperti itu kepada wanita lain?” Tanya Narendra pada Cliantha setelahnya.
Istrinya itu diam, “Bagaimana jika aku menyentuh dia seperti ini?” Narendra mengecup dalam bibir istrinya sekali lagi dalam waktu yang lebih lama. Lalu, membuka khimar yang Cliantha gunakan.
“Seperti ini,” pria itu mengecup rahang dan telinga sampai ke leher istrinya.
“Atau seperti ini,” kemudian membuka resleting belakang gamisnya, menyingkap sedikit pakaian istrinya dan mengecup bahu yang mulus itu.
“Pikirkan sekali lagi sebelum kamu menyuruhku untuk tidur bersama wanita lain, Cliantha,” ucap Narendra.
“Karena jelas, jawabanku ‘tidak bisa’! Begitu pun dengan kamu,” tambahnya.
"Mungkin memang Tuhan menciptakan kita untuk menjadi sepasang, tidak perlu berusaha menambah orang lain di tengah hubungan kita," lanjut Narendra.
Air mata wanita itu sudah mengalir deras. Ada denyutan yang terasa di dalam dadanya, tetapi mau bagaimana lagi, menikahkan Jihan dengan suaminya adalah hal yang sudah menjadi pilihan.
“Siapa yang menyuruhmu menangis seperti itu? Apa kamu ingin menodai janjiku? Kamu tahu, Mas tidak ingin melihat kamu menangis seperti itu?” Diusapnya air mata yang mengalir di pipi istrinya sebelum menetes ke lantai.
Pria itu pernah berjanji pada ibundanya, dirinya sendiri, dan di hadapan Cliantha jika dia tidak akan membiarkan air mata wanitanya menetes membasahi bumi.
“Mas, tapi kamu tahu kalau aku tidak pernah bisa melahirkan anak untukmu. Dokter telah mengatakan jika aku–” ucap Cliantha terjeda karena sekarang bibir itu telah dimiliki oleh suaminya, meski Cliantha hanya bisa diam tanpa ingin memberikan balasan ataupun penolakan apapun saat ini.
“Dokter bukan Tuhan. Selagi aku tidak merasa keberatan, aku juga tidak sedang menuntutmu, bukan? Mengapa kamu yang repot?” Ucap Narendra, diusapnya sekali lagi air mata yang merembes dari pelupuk mata Cliantha.
“Mas sudah berjanji pada Tuhan semesta alam ini, pada para malaikat yang menjadi saksi pernikahan kiya, dan pada ayah dan bundamu bahwa Mas tidak akan membiarkanmu menderita, tidak akan membuatmu sakit. Apa kamu lupa apa yang mas ucapkan setelah akad pernikahan kita dulu?” Kata Narendra merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan, kemudian pria itu merapikan kembali pakaian dan khimar istrinya sampai terlihat rapi seperti semula.
Cliantha melesak masuk ke dalam dekapan suaminya, “Lalu, bagaimana dengan Jihan? Mas sudah menikahinya,”
“Jihan tidak akan marah jika aku menceraikannya karena dia pasti tahu jika di antara mas dan dia tidak terjadi apa apa dan kita tidak saling cinta. Mas akan membuat surat perjanjian perceraian dan memberikan dia sejumlah uang sebagai kompensasi,” ucap Narendra.
“Apa Jihan akan kecewa karena sebelumnya aku yang memohon padanya supaya mau menikah denganmu, Mas. Aku minta maaf untuk itu,” ujar Cliantha merasa bersalah pada suaminya.
“Tidak apa. Semoga saja dia tidak seperti itu, beri pengertian padanya. Karena yang aku butuhkan hanya kamu. Aku menikahimu karena murni setulus cinta dari dalam hati. Jangan coba-coba mendatangkan wanita lain karena kamu sempurna untukku,” ucap Narendra mengeratkan pelukan pada tubuh istrinya itu.
“Kapan mas merencanakan perceraian dengan Jihan?”
“Secepatnya, semakin cepat semakin baik untuk dia dan kita,” jawab Narendra.
Sementara di luar pintu kamar Narendra dan Cliantha, ada seseorang yang sejak tadi mendengarkan perbincangan pasangan suami istri itu. Wanita muda berusia seperempat abad itu menangis tersedu-sedu mendengar semua kata yang terucap dari kedua orang itu.
“Mengapa kalian begitu mudahnya mempermainkan hidupku? Mengapa?” Ucapnya lirih disertai isak tangis dan derai air mata.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments