Bab 5

"Bu, maafkan aku," lirihku saat melihat wajah kecewa ibuku.

Ibuku tak bisa berbuat apa-apa.

Dia hanya bisa diam, lalu dia keluar dari kamarku.

Saat malam semakin larut, aku hendak ke kamar mandi yang ada di dapur.

Saat hendak melintasi ruang keluarga, aku melihat ayah dan ibu tengah berbicara.

Seketika aku menghentikan langkahku.

"Kita harus minta pertanggung jawaban anak rektor itu, Bu." Ayah sangat emosi.

Tampaknya dia tidak terima dengan perlakuan pria bej*t itu pada putri satu-satunya.

"Tapi, Yah. Ayu tidak ingin berita kehamilannya diketahui siapa pun, dia masih ingin tetap melanjutkan studinya." Ibu menyampaikan keinginanku

"Lalu, di mana letak harga diri kita, jika dia melahirkan nanti?" Ayah tidak mau kehormatan keluarga hancur karena diriku hamil tanpa memiliki suami.

"Kita akan pikirkan masalah ini dengan Ayu, dia pasti tahu yang terbaik untuk dirinya. Ayu masih ingin tetap meraih cita-citanya, jika orang-orang tahu dia hamil maka cita-citanya akan sirna begitu saja," ujar ibu membelaku.

Ayah terdiam, dia mulai merenungi apa yang dikatakan oleh ibu.

Mendengar hal itu, aku mengurungkan niatku ke kamar mandi, aku pun kembali ke kamar.

Keesokan harinya, aku masih mual-mual.

Tubuhku terasa sangat lemah, aku tidak tahu harus melakukan apa.

Dunia ini terasa gelap bagiku, pagi ini setelah shalat subuh aku memilih untuk kembali berbaring di atas tempat tidur.

Pada pukul 07.00. Ibu masuk ke dalam kamarku.

"Bagaimana keadaanmu, Nak?" tanya ibu dengan nada yang lembut.

Wanita paruh baya yang sangat kusayangi itu tetap memberikan senyumannya padaku, walau dia diselimuti rasa kecewa yang mendalam.

"Aku masih pusing, Bu," jawabku.

"Ya udah, ibu bikinkan teh hangat pakai jahe, ya. Biar kamu ada tenaga," tawar ibu.

Ibu pun kembali keluar kamar, tak berapa lama setelah itu ibu membawakan ku segelas teh jahe hangat.

Aku pun mengambil teh tersebut dan meminumnya, seketika perutku yang sejak tadi terasa mual mulai membaik.

"Kalau udah enakan, ibu bikinkan bubur ayam untukmu," ujar ibu.

"Bu, makasih ya, Bu," ucapku.

"Iya, Sayang." Ibu memeluk tubuhku.

Kehangatan tubuh wanita yang telah melahirkanku membuat diriku merasa nyaman, dan aku yakin bisa kuat menjalani ujian yang ada di hadapanku saat ini.

"Kamu pasti kuat, Nak. Apa pun keputusanmu, ayah dan ibu akan mendukungmu." Ibu menyemangatiku.

Kata-kata ibu menjadi kekuatan bagiku dalam menghadapi ujian hidup ini.

"Bu, saat ini aku akan tetap melanjutkan kuliahku, sembari aku memikirkan jalan keluar untuk menyembunyikan calon bayiku saat lahir nanti." Keputusanku sudah bulat.

Sebelum semua orang mengetahui kondisiku, aku sudah merencanakan untuk cuti kuliah selama satu tahun, hanya saja aku belum tahu akan pergi ke mana saat kandunganku semakin membesar, dan melahirkan bayiku.

"Iya, Sayang. Apa pun keputusanmu, ayah dan ibu akan selalu mendukungmu," ujar ibu.

Aku tersenyum, aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang sangat pengertian dan perhatian padaku.

****

Dia hari di rumah, aku pun kembali ke kota.

"Kamu yakin akan berangkat hari ini?" Ibu sangat mengkhawatirkan keadaanku.

"Iya, Bu. Lagian aku tidak mau ketinggalan pelajaran." Aku berusaha meyakinkan ibu bahwa saat ini keadaanku mulai membaik.

Dengan berat hati kedua orang tuaku melepaskan kepergianku.

Aku melangkahkan kakiku meninggalkan rumah kedua orang tuaku dengan iringan do'a dari mereka.

Aku mulai mengikuti kuliahku, hari ini mata kuliah berakhir pukul 15.30.

Aku merasa begitu lelah, kini aku melangkah melewati koridor kampus yang sepi seorang diri, karena Dinda harus pergi ke perpustakaan terlebih dahulu.

Entah mengapa kepalaku terasa sangat pusing, sekuat tenaga aku terus mencoba melangkahkan kakiku yang mulai tak bertenaga.

Aku berjalan sempoyongan di koridor itu, semakin aku terus melangkah pandanganku semakin kabur, hingga akhirnya aku pun jatuh dan tak sadarkan diri.

Aku hanya mengingat sekilas seseorang datang menghampiriku, dia mengangkat tubuhku.

Saat tersadar, aku membuka pelan mataku. Aku melihat ke sekelilingku, dan pandanganku terisi dengan semua benda yang berwarna putih.

"Di mana aku?" lirihku.

Aku berusaha untuk bangun dari posisi berbaringku.

"Istirahatlah terlebih dahulu, dokter akan memeriksamu." Seseorang berkata padaku.

Aku menoleh ke arah asal suara tersebut, betapa kagetnya aku melihat sosok pria bej*t itu ada di samping tempat tidurku.

"Kau." Aku tak percaya.

Aku mengabaikan ucapannya, aku bergegas turun dari tempat tidur.

"Hei," lirih pria itu menghentikan langkahku.

Aku terdiam, dia menatap wajahku, kami pun saling menatap. Wajahku dan wajahnya kini berada sangat dekat.

Aku sangat takut, aku ingi pergi dan menghindarinya.

"Permisi." Seorang dokter masuk ke dalam ruangan itu.

"Berbaringlah." Pria itu membaringkan tubuhku kembali di atas tempat tidur.

Mau tak mau aku pun berbaring. Dokter mulai memeriksa keadaanku.

"Bagaimana, Dok?" tanya pria itu pada sang dokter setelah dia memeriksa keadaanku.

"Pasien hanya kelelahan, kondisi kandungannya baik-baik saja, dia hanya butuh istirahat dan asupan gizi yang lebih banyak," jelas sang dokter.

"Kandungan?" lirih sang pria tak percaya dengan ucapan sang Dokter.

Sang dokter heran mendengar aku bertanya.

"Apakah kamu bukan suaminya?" tanya dokter padanya.

Dia hanya diam.

"Pasien saat ini tengah mengandung," ujar dokter meyakinkan sang pria.

"Pasien sudah bisa pulang, tapi pastikan dia benar-benar istirahat," ujar dokter.

Setelah itu dokter pun meninggalkan kami.

Aku turun dari tempat tidur, lalu aku meninggalkannya begitu saja.

"Hei!" Dia memanggilku.

Aku mengabaikan panggilannya. Dia mengejarku hingga dia dapat menarik tanganku.

Aku menghentikan langkahku, tapi aku enggan untuk membalikkan badanku.

Dia berdiri tepat di belakangku.

"Biar aku antar ke asrama," ujarnya menawarkan diri.

"Tidak, aku tidak butuh bantuanmu." Aku menolak dengan tegas.

"Ini sudah mau Maghrib, bahaya kamu pulang sendiri," ujarnya memaksaku untuk tetap mau ikut dengannya.

"Sejak malam itu, rasa takut akan bahaya di hatiku telah hilang begitu saja," ujarku tegas.

Kata-kataku membuatnya melepaskan tangannya dari tanganku.

Dia mematung, hingga dia tak sadar aku telah pergi meninggalkannya.

****

Hari-hari terus berlalu hingga kini ujian semester sudah di depan mata.

Saat aku sedang mengikuti ujian semester, seorang pegawai kampus masuk ke dalam ruangan ujian.

"Permisi, maaf mengganggu," ujar pegawai itu.

Aku mengabaikan kehadiran si pegawai, karena aku masih fokus dengan soal-soal yang ada di hadapanku.

"Apakah di ruangan ini ada mahasiswi yang bernama Ayu Septia Wira?" tanya si pegawai.

Aku kaget mendengar namaku dipanggil, sontak aku mengangkat tanganku ke atas.

"Saya, Bu," sahutku.

Pegawai itu tersenyum, lalu menghampiriku.

"Setelah selesai ujian, kamu diminta Pak Bastian untuk datang ke ruangannya," ujar si pegawai berbisik agar tak ada yang mengetahui.

"Kenapa Pak Rektor memanggilku?" Tanda tanya kini mengisi benakku.

Terpopuler

Comments

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

wah, iya kenapa ya dipanggil?

2023-09-10

0

IR

IR

akuh juga ndak tau ayu,,,,kita tanya author saja 🤭😄😄🤣🤣

2023-09-06

2

auliasiamatir

auliasiamatir

tampar sekalian wajah songong itu yu

2023-09-06

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!