Bab 3

POV Barra.

Barra Sebastian Antonius, aku merupakan salah satu mahasiswa di Universitas Nusa Bangsa.

Aku mahasiswa tahun terakhir, saat ini aku tengah menyusun skripsiku.

Hampir semua mahasiswa yang mengenaliku segan dan takut padaku karena aku merupakan putra dari Prof. Dr. Sebastian Antonius yang menjabat sebagai rektor di Universitas tersebut.

Hal ini membuatku selalu bersikap semena-mena pada siapapun.

Hari itu, tanganku begitu usil memegangi pinggul seorang mahasiswi baru yang lewat di hadapanku, aku tak menyangka hari itu menjadi awal pertemuanku dengan wanita itu.

"Hei, siapa yang telah berani menyentuh temanku?" bentak teman wanita yang baru saja ku pegangi pinggulnya.

"Baru saja pingg*lnya yang disentuh belum lagi buk*t kemb*rnya," ujar salah satu temanku.

Wanita itu menghampiriku, aku masih menatap wajah anggun dan cantik itu melangkah semakin mendekati.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, rasa sakit yang kudapat tak sebanding dengan jatuhnya harga diriku ulah gadis itu.

Hei!" bentak salah satu temanku yang lain.

"Berani-beraninya kau menampar bos kami," ujar temanku lagi.

"Cih, pria yang tak punya otak ini kalian jadikan seorang Bos. Kalian memang tidak punya akal sehat," ujar wanita itu dengan tegas.

Aku pun menatap tajam ke arah wanita itu, aku melihat sekilas ada rasa takut di wajahnya, tapi dia terus berusaha menutupi rasa takutnya terhadap diriku.

"Kau akan menyesal telah melakukan ini padaku." Aku menatapnya dengan penuh emosi.

Aku bertekad akan memberi pelajaran pada wanita itu.

Aku membiarkannya dan temannya melangkah meninggalkan kami.

"Bro, kita harus kasih pelajaran sama cewek itu." Andreas tidak terima aku dipermalukan oleh wanita itu.

"Ya, lakukan sesuatu agar dia kapok," ujarku memberi perintah pada teman-temanku.

Awalnya aku berniat menculik wanita itu lalu melucuti semua pakaiannya, aku akan merekam videonya agar dia tak lagi berani melawan diriku.

Namun, pesonanya yang terlalu berani membantah dan mengatakan diriku pengecut membuatku hilang kendali hingga aku pun melakukan hal keji terhadapnya.

Aku pun memperk*s*nya, malam itu aku benar-benar sudah kelewat batas, aku tak pernah melakukan hal itu pada siapa pun hanya dia wanita yang sudah kusentuh.

Paginya aku terbangun, dan menyesali apa yang telah aku lakukan padanya.

Ada rasa kasihan di dalam hati kecilku, selama ini aku memang berandalan dan brutal tapi sama sekali tidak pernah berniat akan merusak masa depan wanita itu.

Aku menyuruh teman-temanku mengantarkan dia kembali ke kampus, lalu aku pulang ke rumah.

Rasa bersalah terus menggelayuti hatiku, tapi aku berusaha terus menutupi penyesalan itu.

Aku berangkat ke kampus, betapa kagetnya aku melihat wanita itu masih berani datang ke kampus setelah apa yang terjadi.

Aku melihatnya melangkah melewatiku dan teman-temanku, kali ini dia tak berani menatap wajahku.

Dia terus berusaha menjauh dariku, aku pun semakin penasaran dengan wanita itu.

Tak berapa lama dia melintas di depanku dan teman-teman, kami berpindah ke kantin.

Aku tak menyangka dia juga berada di kantin.

"Gila tuh cewek, masih saja berani datang ke kampus, punya nyali juga dia," ujar Andreas di telingaku.

Hanya Andreas yang tahu apa yang sudah aku lakukan terhadap gadis itu, karena hanya dia yang sangat kupercaya.

"Setidaknya dia tak berani lagi menatap tajam ke arah Barra, dia pasti sudah menyesali apa yang telah dilakukannya kemarin pada Barra." Noah, teman yang lainnya ikut berkomentar.

Aku hanya diam, tak banyak menanggapi ocehan teman-temanku.

Sore harinya, aku dan Andreas asyik mengobrol di balkon kamarku.

Aku dan Andreas mengobrol tentang wanita itu, aku juga menceritakan penyesalanku pada Andreas.

"Udahlah, lu enggak usah pusing. Lu lihat, kan. Wanita itu tak mempermasalahkan apa yang sudah lu lakukan padanya, palingan kalau dia hamil lu kasih uang saja buat gugurin kandungannya," ujar Andreas menenangkan diriku yang masih galau karena perbuatan yang sudah kulakukan.

Saat malam hari, selesai makan malam papa memanggilku dan memintaku menemuinya di ruang kerjanya.

Aku heran tak biasanya papa berbicara denganku di ruang kerja, biasanya papa selalu bicara di ruang makan atau ruang keluarga.

Tok tok tok.

Aku mengetuk pintu ruang kerja.

"Masuk!" teriak papa.

Aku membuka pintu ruangan itu lalu masuk ke dalam ruang kerja papa.

Aku mendapati papa tengah berdiri membelakangi diriku yang baru saja masuk ke ruangan itu.

Aku menautkan kedua alisku heran melihat sikap papa.

"Apa sebenarnya yang telah terjadi?" gumamku di dalam hati.

Jantungku mulai berdetak kencang, aku merasa ada masalah penting yang akan dibicarakan pria bijaksana yang selama ini aku kenal.

"Papa memanggilku?" tanyaku pelan setelah berada satu meter di belakangnya.

Papa membalikkan tubuhnya, dia menatap tajam ke arahku, membuatku merasa semakin bersalah.

Plak!

Sebuah tamparan keras melekat di wajahku, aku terhuyung, tapi tak sempat jatuh ke lantai karena aku masih bisa menjaga keseimbangan tubuhku.

Pipiku terasa sangat panas dan aku yakin saat ini pipiku telah berwarna merah berbentuk telapak tangan papa.

"A-apa salahku, Pa?" tanyaku lirih.

Aku penasaran apa yang menyebabkan papa marah padaku.

"Makasih berani kau bertanya pada papa mengenai kesalahanmu?" bentak papa dengan nada tinggi.

Aku terdiam sejenak berusaha memikirkan kesalahan yang telah aku lakukan.

Seingatku tak ada kesalahan yang telah aku lakukan kecuali memberi pelajaran pada wanita itu.

"Selama ini papa tidak pernah mempersalahkan tingkahmu di kampus, tapi kali ini kamu benar-benar sudah kelewatan," bentak papa.

Aku masih diam menunggu kata-kata lainnya yang akan diucapkan oleh papa.

"Beraninya kamu merenggut kehormatan seorang gadis!" bentak papa lagi.

Aku sangat kaget mendengar ucapan papa, aku tak menyangka apa yang telah aku lakukan sampai di telinga papa.

"Papa tahu dari siapa?" Aku mulai menyangsikan sahabatku.

Aku berusaha menahan amarahku pada Andreas.

"Siapa lagi yang ember kalau bukan Andreas, karena yang mengetahui semua ini hanya Andreas," gumamku di dalam hati.

"Kamu tak perlu cari tahu siapa yang memberitahu papa, tapi kamu akan mendapatkan hukuman atas apa yang telah kamu lakukan," ujar papa tegas.

Tanganku sudah mengepal, ingin sekali rasanya aku meninju wajah Andreas saat itu, saat ini dialah yang menjadi satu-satunya tersangka yang sudah bermulut ember membocorkan apa yang kupercayakan padanya.

Papa masih menatapku tajam, dari tatapan terlihat jelas raut mukanya yang sangat kecewanya padaku.

"Selesaikan skripsimu dalam bulan ini juga, setelah itu, kamu akan menjalankan hukumanmu!" Keputusan papa tak bisa diganggu gugat lagi.

"Pergilah!" perintah papa dengan tegas.

Dia memintaku keluar dari ruang kerjanya.

Aku pun langsung mengambil jaketku, aku langsung menuju kost Andreas yang tak jauh dari kampus.

Bugh.

Aku melayangkan sebuah pukulan keras tepat di perut Andreas hingga dia tersungkur ke lantai.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Andreas bingung.

Dia sama sekali tak tahu apa-apa.

"Berani-beraninya lu laporkan apa yang sudah gue lakukan pada gadis itu ke papa!" bentakku bersiap hendak memukulnya lagi.

"Tunggu, Barra!" teriak Andreas.

Dia sudah bersiap untuk menghindari pukulan dariku.

Aku menghentikan aksiku.

"Apa yang terjadi? Apakah kita tidak bisa bicara baik-baik?" tanya Andreas.

Akhirnya aku pun menahan emosiku, Andreas membawaku duduk di roof top kost-annya.

Kami pun berbicara di sana.

"Aku sama sekali tidak memberitahu Pak Bastian tentang ini." Andreas membela diri.

"Lalu, dia tahu dari mana?" gumamku.

"Atau jangan-jangan gadis itu tahu bahwa kamu adalah putra rektor kampus, lalu dia memberitahukan pak Bastian tentang ini." Andreas menuduh wanita itu.

Aku mengangguk, aku juga merasa begitu.

Aku yakin wanita itulah yang sudah berani melaporkan apa yang telah terjadi pada papa.

Aku pun berusaha meredam emosiku, dan aku berjanji akan memberi pelajaran pada wanita itu lagi.

Semalaman suntuk aku berada di kost Andreas, aku enggan untuk pulang karena masalah ini.

Keesokan harinya, aku berangkat ke kampus. Sebagaimana ultimatum dari papa, aku pun menyelesaikan skripsiku secepatnya, papa juga meminta dosen pembimbingku untuk membantuku.

Setelah selesai bimbingan, aku bertemu lagi dengan wanita itu.

Aku melihatnya tengah berjalan seorang diri di lorong kampus.

Keadaan sedang berpihak padaku, kebetulan lorong kampus terlihat sepi. Aku pun memiliki kesempatan untuk berbicara dengannya.

Aku menarik tangannya dan membawanya ke toilet di bawah tangga, sehingga tak seorang pun yang melihat keberadaan kami.

"Apa yang sudah kau lakukan?" tanyaku padanya.

Aku berharap dia mengaku telah melaporkan tindakan keji yang sudah kulakukan terhadap dirinya pada papaku.

"Apa maksudmu?" lirihnya dengan mata yang tak berani menatapku.

"Kau sudah laporkan apa yang kulakukan terhadapmu pada papaku?" tuduhku terus terang.

"Jangan asal menuduh, aku tak melakukan apa-apa. Aku tak pernah mengatakan perbuatan bej*tmu pada siapa pun," lirihnya.

Kini nada suaranya terdengar serak menahan tangis.

"Aku datang ke kampus ini hanya ingin menuntut ilmu, aku mohon jangan ganggu aku lagi, cukup kamu merenggut harta paling berharga dalam hidupku, izinkan aku tetap belajar di sini." Dia memohon padaku.

Seketika aku melepaskan cengkraman tanganku, aku pun membiarkannya pergi begitu saja.

Aku melihat dengan jelas buliran bening menggenang di pelupuk matanya.

Terpopuler

Comments

Tarmi Widodo

Tarmi Widodo

bara kutu kupret 😊

2023-09-18

0

Nur meini

Nur meini

Author bikin Readers emosi jiwa, Barra songong layak di tenggelamkan di SEGITIGA BERMUDA🤬

2023-09-05

1

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

namanya keren 😍

2023-09-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!