POV Ayu
"Yu, aku ke perpus dulu, ya. Kamu pulang duluan aja," ujar Dinda padaku saat kuliah hari ini selesai.
Tugas kali ini aku memang tak sekelompok dengannya, jadi aku yang merasa lelah memilih untuk pulang ke asrama.
Saat aku berjalan di lorong kampus, seseorang menarik lenganku dan membawaku ke toilet.
Aku membulatkan mataku saat mengetahui orang yang menarik tanganku adala pria bej*t itu.
Aku tak lagi berani menatap matany, kualihkan pandanganku ke samping.
Dia menuduhku bahwa aku telah melaporkan apa yang dilakukannya terhadapku pada ayahnya yang menjabat sebagai rektor kampus.
Aku menepis tuduhannya, lalu aku memohon padanya untuk tidak menggangguku lagi, aku berjanji takkan mengusik dirinya asalkan dia membiarkan diriku tetap belajar di universitas ini.
Entah mengapa dia melepaskan cengkeramannya lalu membiasakan aku pergi begitu saja, aku berlari sembari mengusap air mataku yang kini tak bisa kutahan lagi.
Air mataku terus mengalir begitu saja hingga aku sampai di asrama.
Sesampai di asrama aku langsung masuk ke kamar mandi, aku pun menangis di sana.
Aku mengguyur tubuhku dengan air, agar tak ada seorang pun yang tahu bahwa aku menangis.
Bayangan malam petaka itu kembali terlintas di benakku.
Hal itu membuatku tak sanggup menghentikan tangisku.
Hampir 2 jam aku berada di dalam kamar mandi, aku menghentikan kegiatanku di kamar mandi saat mendengar Dinda mengetuk pintu kamar mandi.
"Yu, kamu di dalam? Ngapain?" teriak Dinda dari luar kamar mandi.
Aku keluar dari kamar mandi.
"Kamu sudah pulang?" tanyaku pada sahabatku itu.
"Mhm, ya." Dia mengangguk.
Dinda menatap wajahku yang sembab.
"Kamu habis nangis?" tebak Dinda.
"Enggak, ngaco kamu." Akh mencoba mengelak tebakkan Dinda.
Aku pun berlalu dari hadapannya, aku tidak mau dia semakin curiga padaku.
Hari-hari aku lewati begitu saja, tanpa terasa 2 bulan sudah berlalu, ujian semester pun hampir tiba. Sebelum ujian diadakan aku pun teringat untuk pulang.
Berhubung ada tanggal merah, aku memutuskan untuk pulang ke desaku.
Apalagi aku juga sangat merindukan keluargaku.
"Kak Ayu!" teriak Baim adikku yang masih duduk di bangku SMP.
Dia berlari mengejarku saat dia melihatku turun dari bis yang kutumpangi.
Dia bergegas memeluk tubuhku.
"Aku merindukan kakak," ujarnya padaku.
Meskipun dia sudah duduk di bangku SMP, dia masih tetap manja padaku.
Kami hanya berdua beradik kakak, sehingga Baim sangat merasa kehilangan di saat aku berada di kota untuk kuliah.
Dia akan senang sekali setiap kali aku kembali ke desa, meskipun hanya untuk satu atau dua hari saja.
Kami melangkah beriringan menuju rumah.
"Assalamualaikum," ucapku saat aku masuk ke dalam rumah sederhana milik keluarga kecil kami.
"Wa'alaikummussalam," jawab ibu keluar dari dapur.
Aku meraih tangan wanita yang telah melahirkanku, aku menciumi punggung tangannya lalu memeluk tubuh renta ibuku yang kini telah berumur sekitar 55 tahun.
"Kamu sudah makan?" tanya ibu padaku.
"Belum, Bu. Aku sangat lapar," jawabku langsung melangkah menuju dapur.
Ibu dan Baim mengikuti langkahku.
"Ibu udah masak makanan kesukaan kamu, Im, ambilkan piring, ya. Kita makan bareng," ujar ibu.
Aku dan Baim kegirangan, kami pun menikmati makanan sederhana yang telah disiapkan ibu.
Sudah biasa saat siang hari ayah tak ikut makan bersama kami, karena ayah pergi ke kebun.
Saat sedang asyik makan, aku merasa sesuatu yang aneh pada diriku, makanan yang biasanya sangat enak bagiku justru membuat kepalaku terasa pusing dan perutku terasa mual.
"Oek." Aku tak dapat menahan rasa mual perutku, akhirnya aku berdiri dan berlari ke kamar mandi.
"Kak Ayu kenapa, Bu?" Masih jelas terdengar bagiku adik mempertanyakan keadaanku.
Ibu tak menjawab apa-apa, lalu dia menghampiriku di kamar mandi.
"Oek oek." Aku baru saja memuntahkan semua isi perutku.
"Kamu kenapa, Yu?" tanya ibu padaku sambil memijat tengkukku.
"Aku tidak tahu, Bu. Mungkin masuk angin karena perjalanan jauh," jawabku.
"Mhm, ya udah kalau gitu, kamu istirahat saja dulu, nanti ibu panggilkan bidan desa." Ibu hendak pergi untuk memanggil bidan.
Aku langsung menahan lengan ibu.
"Enggak usah, Bu. Palingan dengan minyak kayu putih juga sembuh." Aku menolak untuk diperiksa bidan desa.
"Ya udah, kalau begitu." Ibu pasrah.
Ibu membantuku melangkah menuju kamarku, dia membaringkan tubuhku di atas tempat tidur.
Ibu menyelimuti tubuhku, dengan selimut, dia juga tidak lupa mengolesi minyak kayu putih di perut dan leherku agarvrasa mual dan pusing ku hilang.
Sepeninggal ibu, aku berusaha memejamkan mataku agar rasa mual yang mengaduk-aduk perutku hilang.
Namun, apa boleh buat saat malam tiba aku semakin menjadi muntah-muntah hingga akhirnya ayah pun memanggil bidan desa dan membawanya ke rumah.
"Ayu kenapa?" tanya Bu Bidan dengan ramah.
Aku hanya bisa tersenyum membalas sapaan ramahnya.
Sang bidan mulai memeriksa keadaanku, baru saja dia memeriksa tekanan darah dan denyut nadiku, raut wajah sang bidan terlihat berbeda dan cemas.
"Ada apa, Buk?" tanya ayah dan ibu mencemaskan keadaanku.
Sang bidan masih diam, dia menatap diriku dengan penuh tanda tanya.
"Kenapa, Bu?" Aku juga penasaran.
Aku pun mendesak Bu bidan untuk menjawab pertanyaanku dan kedua orang tuaku.
"Apakah kamu pernah melakukan hubungan badan dengan seseorang?" tanya Bu bidan padaku.
Aku terdiam, ayah dan ibuku kaget mendengar pertanyaan sang bidan. Mereka kini menatap tajam ke arahku.
Ibu mendekatiku, dia duduk di samping tempat tidurku.
"Ayu, apa yang sudah terjadi?" tanya Ibu dengan nada yang lembut.
Aku masih diam, aku tak tahu harus berkata apa.
Aku mengerti maksud perkataan bidan saat ini, dia memprediksi saat ini aku sedang hamil.
Ibu menatapku dalam, sedangkan ayah masih menatapku tajam.
Aku bingung, tak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku pun menangis.
"Hiks hiks."
Tangisanku semakin keras, ingatanku kembali pada kejadian malam itu.
Aku tak menyangka pria itu akan menanamkan benihnya di rahimku.
Sang bidan masih menunggu penjelasan dariku.
Tak berapa lama aku menangis, ayah pun keluar dari kamarku.
Saat itu aku langsung memeluk tubuh renta wanita yang telah melahirkanku.
"Maafkan Ayu, Bu," lirihku.
Akhirnya aku pun menceritakan apa yang telah terjadi pada ibuku dan bidan yang masih berada di dalam kamarku.
"Astaghfirullah, Nak. Kenapa tidak menceritakan hal ini pada pihak kampus, kamu harus minta pertanggung jawaban atas semua ini pada pria yang telah melakukan hal itu," ujar ibuku.
Ibu pun ikut menangis, dia merasakan penderitaan yang harus aku jalani.
Setelah aku bercerita, aku menatap Bu bidan, lalu aku memohon padanya untuk menyembunyikan keadaanku saat ini pada orang-orang di desa, karena aku tak sanggup menahan malu dan cemooh dari warga desa.
"Baiklah, saya akan menyembunyikan hal ini dari warga. Tapi, untuk pastinya alangkah lebih baiknya kita test dulu hasilnya biar valid," ujar Bu bidan.
Bu bidan mengeluarkan sebuah alat tes kehamilan, aku pun diminta untuk menampung urineku, aku mengikuti apa yang diminta Bu bidan.
Tak berapa lama hasil tes itu pun keluar, aku positif hamil anak dari pria bej*t itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Tarmi Widodo
kasian ayu
2023-09-18
0
Elisabeth Ratna Susanti
ikut, ya, aku sangat suka pergi ke perpus 😍mojok trs baca novel misteri😍
2023-09-08
0
Nur meini
Barra karena benihmu orangtuanya Ayu harus menanggung malu🤬Gara gara burung perkututmusemua hancur.
2023-09-05
1