Toni merasakan segar setelah mandi. Rasa penat akibat bekerja seharian tadi sirna seiring guyuran air di tubuhnya. Seperti rasa amarah yang tadi membuncah kini telah hilang tak tersisa.
Keluar dari kamar mandi, Toni segera menjemur handuk di jemuran di sisi dapur. Toni tak menemukan keberadaan Niken di sana. Biasanya jam segini Niken sedang memasak untuk makan malam.
Toni segera beranjak ke kamar untuk mencari Niken. Benar saja, wanita itu tengah duduk di tepi ranjang , mengusap-usap lengannya. Toni perlahan menghampirinya dan duduk di dekat Niken.
"Sedang apa?" tanya Toni lembut. Niken tak menghiraukannya, ia masih terus mengolesi lengannya yang lebam dan bengkak dengan minyak tawon.
Toni merasa bersalah melihat tangan sang istri. Ia sebenarnya juga bingung dengan dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan emosinya akhir-akhir ini.
"Maaf ya, Ken," ucap Toni lirih.
Niken mendengus kesal. Kejadian seperti ini selalu saja terulang. Meminta maaf setelah marah-marah dan berbuat kasar. Kalau dulu Niken akan merasa terenyuh mendapat permintaan maaf Toni seperti ini, tapi sekarang Niken merasa sia-sia, karena nanti pasti Toni akan mengulangi lagi.
"Ken?" panggil Toni melihat istrinya diam saja.
Niken beranjak dari duduknya untuk menyimpan kembali botol minyak tawon ke atas nakas.
" Aku sudah bilang kan Mas, jangan pernah main kasar pada anak-anak. Kamu boleh menegur atau memarahi mereka kalau mereka salah, tapi jangan sekali-kali memukul mereka. Anak-anak itu mudah sekali trauma." ucap Niken masih membelakangi Toni.
Air mata Niken menetes mengingat kejadian tadi. Hatinya tertusuk melihat anak-anaknya yang ketakutan akibat kemarahan sang ayah. Selama ini jika Toni marah ia akan diam dan menyendiri, tak pernah mengeluarkan kata-kata yang menusuk hati.
"Iya maaf , Ken," kata Toni.
Niken berbalik menghadap Toni. Niken menghela nafas melihat raut wajah Toni yang terlihat datar dan biasa-biasa saja. Tak ada raut penyesalan di sana, meskipun bibirnya mengucap kata maaf. Niken tahu jika Toni hanya ingin membuatnya tak marah.
"Nanti mintalah maaf pada anak-anak," ucap Niken dengan nada ketus.
Ia pun meninggalkan Toni dengan beby Cia yang tertidur.
Saat keluar dari kamar, Niken melihat Vero dan Fani sedang menonton televisi. Niken menghampiri mereka.
"Kalian sudah pada mandi?" tanya Niken.
"Belum bunda," jawab mereka kompak.
"Mandi dulu gih, nanti boleh nonton lagi sambil nunggu Bunda selesai masak." pinta Niken lembut.
"Baik Bunda," Vero segera mematikan tivi lalu mengajak Fani mandi sore.
Niken tersenyum memandangi punggung anak-anaknya. Mereka sebenarnya anak-anak yang patuh tanpa perlu di bentak-bentak.
Niken segera pergi memasak di dapur setelah anak-anaknya masuk ke kamar mandi.
Setelah selesai menghidangkan makanan di meja makan, Niken memanggil sang suami dan anak-anak untuk makan. Suasana di meja makan hening mencekam, anak-anak yang biasanya ceria dan berceloteh riang kini hanya duduk diam tanpa bersuara. Niken tahu mereka masih merasa takut pada Toni. Sedangkan Toni terlihat cuek dengan keadaan itu, ia malah sibuk dengan ponselnya.
"Hmmm, Yah?" Niken berdehem kemudian memanggil sang suami.
Yang dipanggil langsung mengalihkan matanya dari hape , kemudian menatap Niken. Laki-laki itu menaikkan satu alisnya tanda bertanya. Niken pun menunjuk anak-anak dengan dagunya, membalas dengan bahasa tubuh pertanyaan Toni, mengingatkan Toni untuk minta maaf ke anak-anak.
Toni hanya diam menatap Niken, tidak mengangguk juga tidak menggeleng, membuat Niken kesal. Niken pun memelototi Toni.
"Vero, Fani, " dengan ragu-ragu akhirnya Toni memanggil anak-anak. Yang dipanggil hanya diam saja, melihat sekilas ke ayah mereka lalu menunduk lagi.
Merasa diabaikan anak-anaknya Toni pun mengedikkan bahu lalu lanjut bermain hape. Niken merasa jengkel sekali, ingin rasanya ia rebut hape yang Toni pegang dan melemparkannya, namun ia ingat betapa mengerikan saat laki-laki itu marah. Niken hanya dapat memendam rasa kesalnya dalam hati. Ia pun berdiri dan mengambilkan anak-anak nasi dan lauk. Biasanya Niken juga mengambilkan Toni sekalian, tapi kali ini tidak ia lakukan. Toni sadar jika Niken sedang kesal , ia pun mengambil makanannya sendiri, lalu makan dengan cepat dan langsung meninggalkan meja maoan setelah selesai.
"Ayo makan yang banyak," Niken melihat anak-anak tidak setegang tadi saat ada ayahnya, Niken pun menambah isi piring mereka.
"Bunda, ini gimana ngerjainnya?Aku nggak bisa," bocah perempuan empat tahun itu mendekati Noken yang sedang melipat baju di kamar sembari menyodorkan sebuah buku tugas.
"Bentar ya, bunda lagi banyak kerjaan nih , Fan, minta tolong ayah dulu gimana?" tanya Niken.
Fani menggeleng kuat, " Aku nggak mau sama ayah jahat" tolak Fani tegas. Niken terkejut mendengarnya, namun kemudian ia tersenyum.
"Nggak papa , Fan, ayah pasti mau," Niken mencoba merayu Fani supaya mau belajar dengan ayahnya, karena kerjaannya sedang banyak.
Meskipun anak itu menggeleng, namun Niken tetap beranjak mencari suaminya, dan mendapati laki-laki itu tengah bermain ponsel. Niken mendekatinya.
"Tolong ajarin Fani ngerjain tugas sekolah dong, mas," pinta Niken lembut. Niken memang sengaja ingin mendekatkan kembali Toni dan anak-anak, karena sepertinya belakangan ini hubungan mereka renggang akibat Toni yang selalu sibuk dengan ponsel.
Toni melirik sekilas ke arah Niken, tapi kemudian fokus kembali menatap layar ponsel. " Itu kan tugas kamu ngajarin anak-anak, tugasku ya cari duit buat kalian," jawab Toni tanpa melihat ke arah Niken.
Niken tercengang mendengar jawaban Toni, sejak kapan mengajari anak hanya menjadi tugasnya saja? tanya Niken dalam hati.
"Aku lagi melipat pakaian mas, sudah menumpuk itu pakaian dari kemarin belum aku lipat." Niken tetap berusaha untuk membujuk Toni, berharap laki-laki itu mau meninggalkan ponselnya sejenak.
"Ya kamu tinggalin dulu pakaian itu, kamu harus pintar atur waktu supaya semua kerjaan kamu beres." ucap Toni tak peduli.
Niken semakin tercengang sekarang. Padahal dulu saat Vero dan Fani masih bayi, laki-laki itu selalu membantu pekerjaan rumah tanpa ia minta. Laki-laki itu dulu tak segan mencuci piring, melipat baju, mencuci pakaian dan menyapu lantai saat tahu Niken sedang sibuk mengurus bayi. Bisa-bisanya sekarang menolak walaupun berkali-kali diminta.
Niken pun segera berlalu tanpa mengucap apa-apa lagi, meninggalkan laki-laki yang sudah tak peduli lagi pada kesibukan dirinya dan anak-anak. Akhirnya Niken pun menunda pekerjaan melipat bajunya, ia segera mengajari Fani sebelum anak itu mengantuk.
Malam harinya, Niken terbangun setelah tadi ketiduran saat menyusui beby Cia. Niken mengedarkan pandangannya dan menyadari Toni tak ada di kamar. Niken ingin tidur lagi, tapi ia samar-samar mendengar orang sedang mengobrol. Rumahnya ini memang tidak kedap suara sehingga kalau malam begini suara pelan saja pasti akan terdengar.
Karena penasaran, Niken pun turun dari ranjang secara pelan-pelan supaya beby Cia tidak terbangun. Lalu ia keluar dari kamar yang memang pintunya tidak tertutup rapat. Niken menajamkan pendengarannya, mencari sumber suara itu, yang ternyata berasal dari ruang keluarga yang terbuka tak ada pintu penutup.
Disana Niken melihat Toni sedang menelepon seseorang , Toni duduk membelakangi Niken sehingga laki-laki itu tak menyadari kehadiran Niken di sana.
"Teleponan sama siapa mas malam-malam begini?" tanya Niken tanpa beranjak dari pintu tempatnya berdiri.
Toni terkejut mendengar suara Niken dan menyadari Niken berdiri di belakangnya.
"Sudah dulu, ya" Toni berkata buru-buru pada lawan teleponnya lalu cepat-cepat mematikannya tanpa menunggu balasan dari seberang sana.
"Siapa mas?" Niken mengulang pertanyaannya, membuat laki-laki itu gugup.
"Eh ini teleponan sama Andi, teman kerja mas, Ken," jawab laki-laki itu dengan kikuk.
Niken mengernyitkan wajah keheranan. Biasanya Toni tak masalah teleponan dengan teman kerja di depan Niken.
Dengan siapa sebenarnya Toni teleponan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments