Kami berdua berjalan bersama menuju ke rumah. Hari ini masih hari kedua masuk Sekolah, para guru masih berbaik hati memulangkan muridnya pada waktu siang hari. Tentu saja aku merasa senang akan hal itu, karena jika hari biasa, sekolahku akan memulangkan para muridnya pukul lima sore. Itu sudah biasa untuk sekolah terkenal, aku harus menyiapkan mental untuk itu.
Kruuuuukk....
Ah! perutku tiba-tiba mengeluarkan gemuruh. Kenapa harus sekarang aku merasa lapar?
"Suara apa itu?" Illona celingak-celinguk mencari sumber suara. Dia lalu menatap ke arahku. "Jangan bilang,itu berasal darimu?"
Aku sontak memegangi perut, wajahku memerah seperti tomat.
Illona tertawa kecil. "Kenapa kau malu? Itu hal yang lumrah bukan?"
Manusia merasa lapar itu memang hal yang lumrah, tapi tetap saja ini sangat memalukan. Kalian bayangkan,disaat suasana menjadi hening, tentram,dan sunyi, tiba-tiba terdengar suara yang menggelitik telinga berasal darimu. Semua orang di sana mulai menoleh dan memperhatikanmu. Bagaimana? Kalian pasti malu kan?
"Untung saja ibu memberi kita uang untuk membeli makan siang." Illona melambaikan-lambaikan uang yang dikeluarkannya dari saku.
"Tunggu dulu!" aku berseru sambil menghentikan langkahnya. "Ibu memberi uang? Tapi kenapa? Aku bisa memasak makan siang untuk kita."
"Itu kalau bahan-bahan masih tersedia," dia menyimpan kembali uangnya ke saku. "Sayangnya,bahan-bahan kita sudah habis untuk sarapan. Maka dari itu, ibu memberiku uang dan menyuruhku membeli makan siang di luar."
"Kenapa tidak bilang?!"
Illona menghela nafas. "Itu karena aku tahu,kau pasti akan menolak. Sekali-sekali lah, aku bosan masakan rumah."
Aku mengernyit. "Jadi,maksudmu masakanku tidak enak, HAH?!" suaraku terdengar sangat keras. Semua orang di sana melirik kami, tapi aku tidak peduli. Aku sudah tidak peduli apapun, berani-beraninya dia bilang masakanku tidak enak.
"Eh?" Illona menatap sekitar, dia merasa tidak nyaman dilihat oleh orang-orang. "Bukan begitu maksudku! Masakanmu tentu saja enak, bahkan aku sampai ketagihan. Tapi, sekali ini saja, aku ingin makan di luar." Illona memohon-mohon kepadaku.
Aku mendengus. "Terserah!" Aku berjalan meninggalkannya. Biarkan saja dia makan di luar, aku juga tidak ingin. Aku akan memasak di rumah saja, pasti dia berbohong tentang bahan-bahan. Dasar! Bilang saja kalau tidak ingin makan masakanku.
...****************...
Illona membuka pintu restoran. Suara dentingan lonceng menyambut kami. Restoran itu terlihat ramai oleh para pengunjung dari semua kalangan, mulai dari anak-anak, hingga orang dewasa yang sudah berkeluarga. Wajar saja sih, tempat ini kan salah satu restoran yang sangat terkenal di kota ku.
Nama restoran ini selalu lewat di mana-mana. Mulai dari Iklan TV, gedung-gedung, bahkan bus umum yang selalu ku tumpangi juga ada nama restoran ini. Sampai-sampai masyarakat selalu membandingkan bus berkualitas atau tidak dengan cara melihat ada atau tidak nama restoran ini. Tren yang aneh.
"Kau pesan apa, Archie?" Tanya Illona. Setelah mengantri selama lima belas menit, akhirnya giliran kami untuk memesan. Kaki ku sudah terasa lelah karena terus berdiri.
Aku mendengus. "Terserah!"
"Jawabanmu seperti perempuan saja." Komentarnya. "Tolong cheese burger dan cola nya dua."
Pelayan yang melayani kami mengangguk, menyuruh untuk duduk di tempat yang masih kosong. Kami berdua mencari tempat yang kosong, namun sayang, semua tempat sudah penuh oleh orang. Bukan aku saja yang masih berdiri, ternyata orang-orang yang memesan sebelum aku juga masih tetap berdiri, celingak-celinguk mencari tempat yang kosong. Aku menghela nafas, kaki-ku sudah meronta-ronta ingin duduk. Untung saja, tepat di sampingku, dua orang telah menyelesaikan makannya dan pergi dengan membawa sampah bekas makanannya.
Seketika semua orang menatap bangku itu, termasuk aku. Mereka mulai berdesakan menuju tempat itu, terlihat seperti zombie yang melihat manusia. Tentu saja aku tidak ingin mengalah. Karena tempat itu tepat di sampingku, aku segera melemaskan tubuhku dan duduk di sana. Semua orang terlihat kecewa, mereka mengumpat pelan dan mencari tempat duduk yang lain. Aku tersenyum bangga,ternyata ini mengasyikkan.
"Kekanak-kanakan." Komentar Illona yang duduk di seberang.
"Berisik!'
Dia tertawa kecil. "Sikap mu itu seperti perempuan ya? Malu-malu mau,seperti di jalan tadi."
Aku menjadi teringat kejadian di jalan tadi. Kejadian itulah yang membuatku aku bisa di sini.
Disaat aku sudah memantapkan hati untuk pulang, tiba-tiba perutku berbunyi lagi. Aku berhenti, merasa malu.
Illona menyengir lebar. "Suara apakah itu?" Dia mendekatkan mukanya. "Sepertinya ada yang tidak setuju dengan keinginan anda,tuan."
Aku mengacuhkannya, kembali berjalan. Tapi, sayangnya perutku tidak bisa diajak bekerja sama. Baru lima langkah, perutku sudah berbunyi kembali, bahkan lebih lantang dari sebelumnya. Aku kembali berhenti, lalu melirik ke belakang. Illona cengengesan sambil melipat tangannya di depan dada.
Aku menghela nafas, mungkin hanya sekali ini saja tidak apa-apa. Aku berbalik, berjalan mendekati Illona.
"Baiklah, hanya sekali ini saja."
Yes! Illona mengepalkan tangannya.
Dan begitulah, cerita bagaimana aku bisa sampai di sini. Oke-oke, kalian bisa memanggilku dengan sebutan "Penjilat ludah sendiri". Aku tidak akan mengelak, karena memang itulah yang terjadi. Tapi, aku hanya ingin kalian ingat satu hal. Semua ini aku lakukan bukan karena keinginanku, tapi karena perutku, ingat itu!
Aku menatap jendela. Matahari sudah mulai di atas kepala, terik matahari mulai menyengat jalanan. Orang-orang lalu-lalang sambil membawa minuman di tangannya. Melihatnya saja membuat kerongkonganku kering. Namun sayang, minuman kami masih belum datang.
"Akhir-akhir ini cuaca menjadi panas ya?" Ucap Illona.
Aku mengangguk, malas berbicara, mataku masih terfokus ke jalanan
Lima belas menit telah berlalu, pesanan kami masih belum kunjung datang. Para pelanggan semakin lama semakin bertambah, ada yang masih mengantri, ada yang sedang mencari tempat duduk, dan masih banyak lagi. Tempat ini sangat menyesakkan.
Aku sudah tidak tahan lagi. Aku segera berdiri, berniat pergi ke toilet.
"Mau kemana?" Tanya Illona.
"Toilet." Jawabku singkat.
Aku berjalan masuk ke kerumunan, berdesak-desakan. Ini membuatku penasaran, bagaimana bisa orang-orang—termasuk Illona—nyaman dengan suasana seperti ini? Panas, sempit, bau—karena keringat orang-orang. Inilah mengapa aku benci dengan tempat yang ramai. Sejak dulu, jika aku ingin membeli sesuatu, aku selalu memilih tempat yang sepi, meski tempat itu adalah tempat favoritku. Aku lebih memilih pergi mencari tempat makan yang sepi. Jika saja tempat ini sepi, pasti bagus.
Setelah beberapa menit berdesak-desakan di sana, akhirnya aku sampai juga di kamar mandi. Aku menghela nafas lega,seragamku basah, keringat bercucuran dimana-mana. Kalau sampai rumah,aku pasti akan memberikan bintang satu pada tempat ini. Dengan komentar, "Tempat ini sangat panas, seperti sebuah gurun. Bahkan, kaktus saja tidak akan pernah tumbuh, karena air akan langsung menguap tak tersisa."
Aku menyalakan wastafel, suara kucuran air terdengar keras. Terlihat menyegarkan. Aku segera meminumnya (di kota ini air wastafel memang bisa diminum). Air melaju cepat melewati kerongkongan, rasa dahagaku segera hilang terbawa oleh arus air. Aku lalu menatap cermin. Wajah tampanku terlihat kelelahan. Tanganku menadah, mengumpulkan air lalu membasuh muka.
Aku kembali menatap cermin lalu tersenyum. Wajah tampanku sudah segar kembali, itu kabar bagus. Dengan begini, aku bisa menggaet wanita-wanita cantik,cuman bercanda.
Bersamaan dengan itu, seseorang melangkah masuk ke toilet. Aku menatapnya melalui pantulan cermin. Umurnya sekitar empat puluh tahun, janggutnya dicukur pendek, rambutnya disisir ke belakang. Dia berjalan menghampiri wastafel di sampingku.
Atmosfer seketika berubah. Entah mengapa aku merasa canggung. Mungkin karena aku jarang berinteraksi dengan orang lain. Aku melirik ke arahnya, melihat dari setelannya yang rapi, sepertinya dia adalah bos besar sebuah perusahaan. Keren! Aku harap suatu saat aku juga akan sukses sepertinya.
Orang tua itu menoleh, dia tersenyum dengan ramah. "Cuaca hari ini panas ya?"
"I-iya." Jawabku dengan canggung.
"Kalau saja tidak ada tugas, aku tidak mau berada di sini. Tapi mau bagaimana lagi, bos ku yang galak menyuruhku untuk datang kesini. Kalau menolak, aku nanti yang sengsara." Ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku hanya mengangguk-angguk. Kukira dia adalah bos, tapi ternyata hanyalah karyawan. Kalau karyawannya saja perawakannya seperti ini, apalagi bosnya, pasti sangat kaya.
"Pasti sangat berat untuk anda." Ucapku mencoba menghiburnya.
Dia tersenyum. "Memang,tapi tidak papa, karena pekerjaanku akan segera selesai."
"Syukurlah. Memangnya pekerjaan anda apa?" tanyaku mencoba basa-basi.
Dia tiba-dia tiba mencengkram pergelangan tanganku. Aku mengaduh, cengkeramannya terasa sangat kuat. Sambil menahan sakit, aku melirik ke arahnya. Pandangannya silih berganti, yang semulanya ramah, menyenangkan, dan sopan, sekarang sudah berbeda. Dia memandangku dengan sangat tajam, seperti seorang pemburu yang sudah mendapatkan mangsanya.
Ini sudah tidak beres. Aku mencoba melepaskan cengkeramannya, tapi tidak bisa, sakit di pergelangan tanganku menjadi bertambah.
Pria itu tertawa cekikikan. "Tugasku adalah membunuhmu, anak muda."
Pria itu dengan mudahnya mengangkat tubuhku ke udara lalu BRAK! Membanting tubuhku ke lantai. Kepalaku terbentur, tubuhku menabrak lantai dengan keras. Aku terbatuk-batuk, dadaku terasa sesak, darah mulai mengalir dari balik rambut kepalaku, pandanganku buram. Tapi, berbeda dengan sebelumnya, aku masih bisa mempertahankan kesadaranku.
Pria itu mulai berjalan mendekat ke arahku. Aku masih mengerang kesakitan. Dia menginjak dadaku. Aku berteriak sangat kencang, dadaku terasa mau hancur. Tatapannya dingin, sama sekali tidak peduli dengan keadaanku. Aku balik mencengkeram kakinya, mencoba menyingkirkan kakinya dari dadaku. Pria itu sama sekali tidak bergeming
"DIAM!" Dia menambah tekanannya.
Aku meraung kesakitan, raunganku memenuhi ruangan. Pandangannya masih tetap dingin. Suara kucuran air memenuhi ruangan. Aku meronta-meronta sambil tetap mencengkeram pergelangan kakinya.
Lalu kejadian aneh itu terjadi, sebuah kejadian yang membuka gerbang masa depanku. Dada kiri-ku menjadi hangat, tepatnya di dalam jantung. Perasaan itu terus mengalir melalui pembuluh darah menuju tanganku.
"Arggghhh!" Pria itu menyingkirkan kakinya dari dadaku, wajahnya terlihat kesakitan. Celana kain yang kupegang berlubang, pergelangan kakinya melepuh, dari lubang kain itu samar-samar muncul asap yang mengepul pelan.
Aku terkejut melihat itu, sebenarnya apa yang terjadi? Pria itu sekarang melompat-lompat, merintih kesakitan. Dia sesekali mengumpat sambil melotot kepadaku. Aku mencuri pandang ke arah pintu. Kosong. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk kabur. Aku segera berlari menuju pintu keluar. Nafasku masih sedikit sesak, tapi tidak apa-apa, aku masih sanggup berlari.
Tanganku sudah semakin dekat dengan pintu toilet. Perasaan lega muncul,akhirnya aku bisa kabur dari sini. Tapi, takdir melarangku untuk keluar dari sana.
"Tidak akan kubiarkan!" Pria itu melesat dari tempatnya.
Aku terkesiap. Dalam hitungan detik, pria itu sudah berada tepat di sampingku. Sial! Lagi-lagi dia mencengkeram pergelangan tanganku. Cengkeramannya terasa sangat kuat. Dengan sekuat tenaga, dia melempar tubuhku menjauh dari pintu keluar.
Tubuhku terbanting ke dinding. Aku terbatuk-batuk,sekarang darah keluar dari mulutku. Takut? Tentu saja aku takut. Baru kemarin aku hampir mati oleh pembunuh, dan sekarang aku mengalaminya lagi. Apalagi, darah keluar dari mulutku, itu tandanya organ dalam ku terluka, aku harus segera mengobatinya. Seperti yang kalian tahu, luka dalam lebih mematikan dari luka luar
Aku menyeka sisa darah di bibir. Meski aku takut,aku tidak boleh panik. Panik hanya akan membuat situasi makin rumit seperti kemarin. Karena saat itu aku panik, aku terkena tendangan di kepala dan berakhir pingsan. Aku harus tetap tenang sambil berpikir untuk keluar dari sini,apapun caranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments