Bab 3

HAMIL TANPA DISENTUH (3)

Sepersekian menit aku tunggu, tapi Namira tidak juga membuka suaranya. Hening, hanya itu yang ada diantra kami. Saat aku ingin membuka suara terdengar suara ponsel dari dalam kamar. Sempat aku menoleh ke arah pintu kamar dan beralih memandang Namira. Seakan Namira tau, jika aku meminta persetujuannya, dia pun menganggukan kepala. Aku gegas menuju kamar dan menekan tombol berwarna hijau lalu mengucapkan salam pada seseorang di sebrang sana.

"Assalamualaikum," ucapku setelah telpon terhubung.

"Wa'alaikumsalam!" terdengar suara wanita yang telah melahirkanku.

"Iya Umi! tapi sebaiknya Umi saja yang langsung bicara dengan Namira, bukan apa mi biar tambah akrab aja gitu," kataku beralasan waktu Umi memintaku untuk mengajak Namira ke pesantren. Katanya Umi rindu dengan menantu satu-satunya itu.

Aku berjalan kembali ke musholah kecil rumahku, tinggal beberapa langkah lagi terdengar suara merdu Namira yang sedang murojaah. Biasanya dia melakukannya di dalam kamar, tapi tidak hari ini, mudah-mudahan ini awal yang baik.

Namira masih dalam posisi yang sama, aku tidak langsung memanggilnya karna Namira masih mengaji. Kupejamkan mata guna menghayati suara indah Namira. seolah sadar Namira pun menyudahi bacaannya, lalu melihatku. Aku langsung menjatuhkan diri di depannya dan memberikan ponsel yang masih terhubung.

Namira menaikan alisnya, akupun memberitahukan jika Umi yang sedang melakukan panggilan.

"Assalamualaikum umi," Namira bangkit dan berjalan ke arah taman belakang, setelah melepas mukenanya terlebih dahulu.

Aku yang tidak ingin mengganggu keakraban ke dua wanitaku, berinisiatif untuk membuatkan teh melati kesukaan Namira, "mudah-mudahan setelah meminum teh buatanku yang kubuat dengan penuh cinta, akan membuat perasaan namira jauh lebih tenang," aku senyum-senyum sendiri sambil memegang cangkir bergambar love. Sengajaku pilih cangkir itu sebagai perwakilan hatiku.

Kubawa dua cangkir yang berisi teh dan kopi, melangkah ke taman belakang dengan pelan. sengaja aku tidak ingin Namira mendengar suara sendal yang kupakai tujuannya hanya satu yaitu menguping pembicaraan Umi dengan menantu kesayangannya. Tapi sepertinya aku terlambat,

"Baik Umi, kami akan ke sana, assalamualaikum."

Namira telah mengakhiri sambungan telponnya setelah mengucap salam. Namira terlonjak kaget melihatku tiba-tiba sudah berdiri di belakngnya. Kusodorkan cangkir berisi teh dan mengajaknya duduk dibangku taman sambil menikmati seburat jingga disore hari yang nampak di ujung hamparan sawah.

"Umi bilang apa sayang?" ucapan itu lolos begitu saja diikuti debar jantung, saat tersadar aku langsung menguasai diri agar tidak terlihat salah tingkah, kupalingkan wajah ini sebentar, takut ada rona merah di pipiku. Malu rasanya.

Namira diam, apa dia tidak suka dengan pangilan itu? atau Namira malu dan salah tingkah sama sepertiku. Sepertinya mulai sekarang aku harus membiasakan memanggil Namira dengan panggilan sayang. Aku ingin meluluhkan hatinya, aku juga ingin dia merasakan jika dirinya sangat berarti untukku. aku juga bertekad apapun nanti yang diceritakan Namira aku harus bisa menerimanya dengan iklas dan lapang dada. apapun.

"Coba ah sekali lagi," ucapku dalam hati.

"Sayang, Umi bilang apa?" tetap dengan aksi pura-pura tidak tau apa tujuan Umi menelpon.

Kupegang dada, yang kini berdebar sangat kencang. Ada desiran yang mengalir di tubuhku, ingin sekali rasanya kupeluk tubuh itu, tapi apa daya saat ini aku tak mampu.

"Sabar," hanya itu yang terucap dari hatiku.

"Mmm... itu, tadi Umi minta kita ke pesantren."

"Kalau kamu tidak mau, tidak pa-pa, biar nanti saya beritahu Umi," kataku pura-pura.

Besar harapanku Namira menyetujuinya,tujuan aku hanya satu memberi kenyamanan untuknya, dengan dia berada dilingkungan pesantren nanti akan mampu memberikan ketenangan jiwa dan raga. Dan mudah-mudahan Namira juga akan mau berterus terang tentang masalah yang di simpannya selama ini.

"Aku mau Gus," aku tersenyum lirih mendengar panggilan Gus.

"Bisakah kamu panggil saya dengan panggilan mas atau Abang! asal jangan Gus, kamu itu istri saya bukan murid saya di pesantren," kataku sedikit memelas.

Melihatnya terdiam aku kembali menyahut,

"Senyamannya kamu aja, jika panggilan Gus membuatmu nyaman aku enggak masalah."

Aku hendak berbalik berniat masuk ke dalam rumah karna sebentar lagi waktu magrib, tetapi suara Namira menghentikan langkahku,

"Bang!" dia langung memanggil, membuatku kaget.

Aku berbalik kembali menghadap Namira, terlihat Namira sedikit malu, jari-jarinya saling bertaut, aku tersenyum dan melangkah agar lebih dekat dengannya. tapi lagi-lagi Namira membuat jarak, dia mundur beberapa langkah. melihat itu langkahku berhenti, aku berikan senyum ketika matanya menatapku. Aku tidak ingin namira berfikir macam-macam tentangku. Sungguh aku sangat takut Namira akan salah menilaiku.

"Masuk yuk! bentar lagi magrib, kita persiapan buat sholat," Namira berjalan mengikutiku.

.

Keluar dari kamar mandi, kulihat sudah ada kain dan baju koko diatas kasur, seketika senyum terbit di bibirku. Aku merasa senang dengan perubahan Namira yang sedikit-sedikit sudah mulai menerimaku, entahlah atau itu hanya perasaan ge-er ku saja.

Setelah siap aku mengetuk kamar Namira hanya ingin pamit hendak melaksanakan sholat ke masjid. Tidak ada sahutan sepertinya Namira sedang mandi. kuputuskan menunggunya di ruang tamu, kulirik jam tangan masih sekitar lima belas menit lagi waktu magrib.

Selang lima menit terdengar bunyi ceklek dari pintu kamar Namira. Namira memakai gamis berwarna navi dengan kerudung dan cadar senada jalan ke arahku. aku pun langsung berdiri dan ikut berjalan menghampirinya,

"Abang ke masjid dulu yah, kamu gak pa-pa kan abang tinggal, hmm?" Title yang baruku dapatkan dari Namira langsungku pakai.

Namira hanya mengangguk, aku ulurkan tangan dengan ragu. tanpa diduga tangan berbalut handsock itu mencium takzim punggung tangan ku. Aku langsung berbalik dan berjalan sambil meremas bagian dada sebelah kiri, sepertinya organ yang bernama hati dalam keadaan tidak baik-baik saja saat ini.

"Jika tidak mengingat tentang ketakutan Namira rasanya aku ingin memakannya malam ini."

"Astagfirullahalazim," aku terus beristigfar sepanjang perjalanan ke masjid, agar otakku tidak terus traveling.

Aku baru pulang setelah melaksanakn sholat isya, sudah menjadi kebiasanku melakukan itu. Sesampainya di depan rumah aku tidak langsung masuk, kuhentikan kaki tepat di depan pintu, untuk yang kesekian kalinya memohon kekuatan,

"Ya Allah sungguh berat ujianku menjadi suami, aku harus menahan diri, padahal dia halal bagiku."

Bagaimana bisa aku tidak berhasrat tinggal bersama wanita cantik yang sudah bergelar istri tapi tidak bisaku ga*li.

"Aku laki-laki normal, entah sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak menyentuhmu, Namira."

Setelah berhasil menguasai hasrat yang terlanjur menggebu, aku ketuk pintu. tidak butuh waktu lama pintu dibuka dan menampakan wanitaku. Di raihnya tanganku dan kembali diciumnya dengan takzim.

"Abang mau langsung makan?" tanya Namira setelah kami masuk.

"Iya, abang pengen makan kamu," jawabku, tentu saja itu hanya dalan hati.

"Boleh! abang ganti baju dulu," aku pun berjalan meninggalkan Namira yang juga pergi ke dapur.

"Sayang, apa jadi malam ini juga kita pergi ke rumah Umi?" tanyaku setelah kami duduk di meja makan.

"Iya, tadi umi telpon lagi, katanya malam ini juga Umi ingin kita ke sana."

"Hmm, selesai makan kita berangkat yah."

Tidak ada lagi obrolan, hanya suara sendok dan piring yang saling beradu. Ekor mataku menangkap pergerakan Namira yang sedang memasukan sendok ke dalam cadarnya. ingin rasanya aku memintanya untuk membuka cadar itu. tapi aku tidak ingin memaksanya, dengan keinginannya sendiri dia akan memperlihatkan wajah cantiknya yang sebenarnya sudah pernah kulihat. Entah kenapa tiba-tiba aku merindukan ingin melihatnya lagi.

"Haruskah kulihat disaat Namira tertidur nanti," Kataku bicara dalam hati.

Arggg...

Aku menggeram, dan itu membuat Namira terkejut, terlihat dari reaksinya yang langsung melihatku.

"Abang kenapa?"

"Apa masakannya tidak enak?"

"Apa mau aku buatkan lagi?"

Serentetan pertanyaan keluar dari mulutnya, sorot matanya memperlihatkan ke khawatiran.

"Enggak...enggak kok! masakan kamu enak kok sayang. maaf yah abang cuma lagi mikirin kerjaan aja," kataku beralasan.

Kamipun kembali melanjutkan makan yang sempat terhenti karna drama yang kubuat tadi.

Terpopuler

Comments

JasmineSeroja82

JasmineSeroja82

makasih kk, aku masih belajar☺

2023-09-14

0

Mưa buồn

Mưa buồn

Wah, plot twist-nya bikin aku terpana!

2023-09-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!