HAMIL TANPA DISENTUH (2)
Sudah dua minggu pernikahan kami, jangankan menyentuh dia yang sudah halal bagiku, melihat wajahnya saja aku belum dizinkan, Namira hanya meminta waktu juga ridhoku. Karna dia tidak ingin menjadi istri durhaka.
"Tapi kenapa untukku sentuhpun Namira enggan? apa sebegitu terpaksanya dia menikah dengan ku?" aku bertanya pada diri sendiri.
Aku terus memikirkan kejadian tadi subuh, saat sholat berjamaah untuk pertama kalinya, aku menyodorkan tangan tapi namira tak kunjung menyambutnya, hanya terdengar suara lirih dia mengucapkan "maaf."
Aku dan Namira tidur terpisah, dia menempati kamar tamu seperti yang dia katakan sebelum menikah bahwa aku tidak boleh meminta hakku, jika dia belum siap. Aku laki-laki normal bagaimana rasanya tidak dapat menyentuh wanita yang sudah halal, 'Tersiksa,' batinku.
"Silahkan gus!" Namira meletakan kopi hitam dan pisang goreng yang masih mengepul di atas meja kecil di hadapanku.
sungguh dua hidangan yang sangat nikmat ketika dinikmati pagi hari, apa lagi dalam cuaca gerimis seperti hari ini.
Yah, sesuai permintaan Namira setelah menikah aku langsung memboyong Namira ke rumah pribadiku yang sudah kumiliki sebelum menikah. Mengenai pesantren, Abah bilang sudah ada Ustad fatih yang akan membantu Abah. Tapi Abah memintaku untuk rutin datang walau sebulan sekali.
"Mirr!" Panggilku sesaat ketika Namira akan meninggalkanku.
Namira berhenti, menoleh sebentar lalu kembali menunduk. namira selalu seperti itu, untuk melihat pun dia tak sudi.
"Duduklah! temani aku dan kita sarapan bareng," Kataku sambil menepuk bagian sofa kosong di sebelahku. Namira terlihat ragu, dan aku pura-pura tidak melihat, namun akhirnya Namira duduk dengan mengambil jarak dariku.
Aku hanya menghela nafas, "haruskan aku bertanya, tentang kejadian semalam saat di pesta nikahan Dion? Siapa laki-laki yang dia lihat, orang yang dia cintaikah? Tapi yang kutahu selama satu tahun memperhatikannya diam-diam tidak ada seorang laki-lakipun yang dibiarkan mendekatinya." kataku dalam hati.
Hanya terdengar suara hujan, tidak satupun dari kami yang ingin membuka suara.
"Bukankah aku yang menyuruh nya untuk tetap di sini," Aku meruntuki diri sendiri.
"Boleh aku bertanya?" Namira mengganggukan kepala. Sebelum lanjut bertanya kusesap sedikit kopi yang masih panas, kopi buatan Namira memang sangat nikmat sama seperti kopi buatan Umi.
Kuhadapkan tubuhku ke arahnya, kupandangi wajah yang masih tertutup cadar itu berusaha mencari jawaban atas segala keraguanku.
"Mir," panggilku, dan berharap Namira akan melihatku juga, tapi tidak, dia tetap pada posisi yang sama menghadap ke depan dengan kepala tertunduk.
"Aku tau, pasti sangat sulit bagimu menjalani pernikahan ini tanpa adanya cinta, tapi tidak denganku," sengajaku jeda demi melihat reaksi Namira. Namira seperti terkejut, dapatku lihat dari gerak tubuhnya.
Aku bangkit dan mendorong sedikit meja yang ada di hadapanku. kujatuhkan diri bersimpuh di hadapan Namira, dia terliha kaget dan hendak bangkit, namun cepat-cepat kutahan, dengan memegang pergelangan tangannya, tidak apalah toh sudah halal. Tetapi namira berusaha menarik nya dariku, dan aku pun tidak berniat menahan nya, aku tidak ingin membuat nya tidak nyaman. tapi kenapa tiba-tiba tubuh namira terlihat bergetar.
"Apa maksud gus Aslan berbicara seperti tadi?" Akhirnya suara merdu yang kurindukan terdengar juga ditelinga aku, walaupun terdengar sangat pelan. entah kenapa mendengar suaranya saja membuat hati aku berdebar-debar.
"Namira, kamu pasti taunya kita dijodohkan dalam waktu yang singkat, kita di pertemukan lalu di nikahkan. Sebetulnya perjodohan kita sudah dari satu tahun yang lalu, tapi aku meminta pada Abah untuk di berikan waktu mengenalmu secara diam-diam. Di saat itulah aku jatuh cinta sama kamu. jadi aku menikahi kamu atas dasar cinta." ucapku dengan pandangan tidak beralih sedikitpun dari menatap wajahnya, walau hanya dari samping.
"Emm..." kujeda kalimatku karna aku merasa ragu untuk menanyakan sesuatu. Tapi lebih baikku tanyakan untuk mengobati rasa penasaranku.
" aku sempat bingung di satu tahun itu ada beberapa bulan aku tidak pernah melihat kamu, dan aku mencarimu, kamu kemana?" Aku menanyakan tentang bulan dimana Namira tidak sekalipun terlihat.
Namira diam sebelum akhirnya terdengar isakan dari balik cadarnya, cadar itu basah sebelum akhirnya Namira menutup dengan kedua tangan nya, " ada apa sebenarnya dengan istriku?" batinku, menatap wanita dihadapanku dengan perasaan serba salah.
Aku bangkit dan duduk mendekati Namira, dengan ragu aku rangkul bahunya dengan satu tangan dan tangan lainnya membawa kepalanya ke dalam pelukanku. ada perlawanan dari Namira, segeraku usap punggungnya guna menenangkan dan ingin memberitahukan jika semuanya akan baik-baik saja, walaupun aku tidak tau ada apa sebenarnya dengan Namiraku.
Tubuhnya bergetar hebat seperti ketakutan, Namira terus berusaha melepaskan diri, namun aku tetap memeluknya erat. kali ini tidak akan aku biarkan lagi dia lepas dariku. tangisnya semakin pecah, Namira masih menutup wajahnya dengan tangan, aku biarkan wanitaku meluapkan apapun yang membebani pikirannya, kuberikan waktu sebanyak banyaknya dengan membiarkannya menangis dalam pelukanku. aku hanya berusaha menyalurkan rasa cinta yang sudahku miliki untuknya melalui sentuhan kecil. kukecup samar pucuk kepalanya, kuusap lengannya, kukendurkan sedikit pelukanku. terdengar seperti bisikan dari mulut Namira,
"Maaf..maafkan aku."
Aku lepaskan perlahan pelukanku, kutatap wajah yang tertutup cadar itu, cadar yang sudah sangat basah dengan air matanya. Namira menunduk, kuberanikan kembali diri ini mengangkat dagunya guna melihat manik mata coklat muda miliknya yang sangat teduh. Namira ingin menunduk kembali tapi aku tahan,
"Jangan," ucapku.
"Tolong! jangan kamu tundukan lagi kepalamu, aku mohon Mir! jadikan bahuku sandaran untukmu, percayalah padaku jika kamu bisa membagi apapun denganku," kugenggam tangannya, lagi-lagi namira bergetar seperti ketakutan, suara tangisnya berlomba dengan suara hujan.
Namira menarik nafas panjang, guna menetralkan segala rasa didada, dia seperti berusaha ingin menatapku, tapi merasa takut. Aku menyadari itu dan kembali meyakinkannya.
" aku suamimu, aku mencintaimu sepenuh hati, aku halal untukmu, tatap aku tanpa harus takut dan ragu," perlahan Namira kembali mengangkat wajahnya menatapku walau tak intens, tapi itu sudah cukup bagiku.
"Guss, maafkan aku," lirih, suaranya terdengar seperti bisikan, Namira mengatakan itu masih dengan suara isakan.
"A...aku...aku," suara namira seperti tercekat dan terbata-bata.
"tidak pantas untukmu, aku wanita pendosa, aku kotor," Pecahlah tangisan Namira setelah mengatakn itu, sedangkan aku diam tidak mengerti apa maksudnya mengatakan dirinya seperti itu.
tiba-tiba Namira berdiri pergi meninggalkanku dalam kebingungan, kususul Namira yang langsung masuk ke kamar dan mengunci pintu. terdengar isakan pilu dari kamar tamu itu.
"Ya Allah ada apa dengan istriku? haruskah aku menanyakannya pada ayah mertuaku, tapi bagimana jika Ayah tidak tahu apa-apa dan justru malah membuatnya khawatir," aku mengacak rambut merasa prustasi dan gagal sebagai suami.
Sudah berjam-jam Namira tidak kunjung keluar kamar, jam sudah menunjukan pukul dua sore, rasa khawatir menjalar dihatiku. kucoba mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Aku bertambah cemas. akhirnya kuputuskan mengambil kunci cadangan, kubuka pelan tanpa menimbulkan suara, saatku dorong pintu, terlihat istriku yang masih mengenangkan mukena dan masih berada di atas sajadah. Dengan posisi tiduran membelakangi pintu. kuberjalan perlahan dan terdengar dengkuran halus dari mulutnya.
"Sepertinya Namira tertidur. mungkin dia lelah karna banyak menangis. tapi bagaimana ini, tidak mungkin aku membiarkannya tidur dengan posisi seperti itu terus pasti tubuhnya akan sakit nanti. tapi jikaku pindahkan aku takut Namira akan marah padaku, karna saat ini pasti Namira tidak memakai cadar, akukan sudah janji tidak akan melihat wajahnya tanpa seijinnya," aku menggaruk kepala yang tak gatal.
Tapi aku tetap memberanikan diri mendekati Namira, baru saja ingin menyentuhnya Namira menggeliat dan berbalik posisi menjadi telentang. Aku diam membeku melihat ciptaan Allah berupa pahatan yang sangat indah, mataku tidak bisa berkedip apa lagi berpaling. wajah putih mulus yang bahkan lalat pun akan terpelesat. wajah itu tanpa noda sedikitpun, hidung mancung seperti gadis keturunan arab, alis tebal, bibir berwarna pink tanpa polesan lipstik, bulu mata panjang dan lentik.
Kujatuhkan tubuh disamping dirinya, duduk bersimpuh sambil terus mengagumi milikku yang belum bisa aku miliki seutuhnya.
"Sebaiknya aku biarkan saja, aku takut Namira akan kecewa nantinya jika dia tau aku melihat wajahnya, tanpa ijin darinya walaupun tanpa sengaja."
Dalam hati aku memohon,
"Ya Allah berilah hambah kesabaran dan kekuatan untuk dapat menahan gejolak ini," aku meremas dada dan menahan hasrat yang tiba-tiba menyerang urat saraf sensitifku.
Aku lantas bangkit dan keluar kamar, kembali menguncinya dari luar, entahlah bisa saja Namira curiga, bagaiman tidak kunci kamarnya tidak lagi pada tempatnya.
.
Terdengar suara azan ashar, kembali kuketuk pelan pintu kamar Namira, tidak butuh waktu lama pintu terbuka memperlihatkan seorang wanita cantik memakai gamis pink senada dengan kerudung dan cadarnya.
"Sungguh sangat cantik," gumamku pelan.
Matanya bengkak, dan Namira yang menyadari jika aku tengah memperhatikannya langsung menunduk.
"Mau jamaah?" tanyaku, tak ingin memberi kesan memaksa, biarlah mengalir apa adanya.
Namira mengangguk pelan dan aku berjalan guna mengambil wudhu dengan Namira mengekoriku di belakang. dengan perasaan khusuk kami melaksanakan sholat berjamaah, sungguh seperti impianku. setelah selesai sholat dan ber doa aku sengaja tidak berbalik ke belakang selain ingin memberinya waktu untuk memakai cadar, aku juga tidak ingin seperti hari-hari lalu, aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama ,membuat Namira ketakutan.
Saat aku ingin bangkit, Namira memanggilku,
"Gus! aku... aku ingin bicara," Namira memilin milin ujung mukenanya, dan sangat terlihat sekali ketegangan diwajahnya.
Aku diam memberinya waktu, aku menghadap ke arahnya kutatap intens setiap pergerakan dari tubuh Namira.
Lagi-lagi Namira menangis dan membuat aku merasa seperti pendosa yang telah menyakiti istriku sendiri.
"Apa kamu sungguh-sungguh tidak bahagia dengan pernikahan ini? tanpa mau sedikitpun berjuang denganku?" ucapku yang sudah tidak dapat menahan lagi rasa sesak di dadaku, aku benci diriku sendiri karna lagi-lagi membuat wanita yang kucintai menangis.
Namira menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dan itu membuatku bingung. Hanya isakan tangis Namira yang terdengar, dan aku mencoba menahan gemuruh didada.
Aku beringsut ke depan agar lebih dekat dengan wanita yang sudah bergelar istriku, tapi belum bisa ku miliki. Terlihat Namira menggeserkan tubuhnya ke belakang jelas sekali dia tidak ingin dekat-dekat denganku.
Huuuuffff...
Aku hembuskan nafas guna melonggarkan sesak, kuhirup kembali oksigen dalam-dalam untuk mengisi paru-paru, memberi stok agar aku bisa lebih menahan diri.
"Namira, maaf yah jika tadi ada kata-kataku yang menyakiti hatimu," Tidak kupalingkan pandanganku darinya.
Aku berikan tatapan teduh agar Namira merasa nyaman, kuberikan senyum ketika dia melihatku walau hanya sebentar. kugeser kembali dudukku mendekati Namira, dan tidak ada lagi pergerakan darinya seperti tadi.
"Kamu bisa cerita apapun dengan suamimu ini, kamu tidak perlu takut. aku mencintai kamu tulus karna Allah," sekali lagi aku mencoba meyakinkan Namira.
kali ini namira berani menatapku, manik mata itu terlihat sendu, seperti menyimpan beban yang sangat berat. Aku tetap berusaha memberikan kenyamanan dengan memberinya senyum.
"Apa gus sungguh-sungguh mencintaiku? dengan segala kekurangan aku?" suaranya parau, terlihat Namira berusahan kuat menahan dirinya yang sebenarnya sudah bergetar dan menahan tangis.
"Jika kekuranganmu membuatmu gelisah, akanku katakan jika aku sangat mencintaimu berikut kekuranganmu, karna sejatinya tidak ada manusia yang sempurna, begitupun denganku, yang masih banyak kekurangannya, terutama sebagai suami..." kujeda sesaat dan sedikit mengambil oksigen.
"Sebagai suami aku telah gagal membahagiakan wanita yang sangatku cintai, aku hanya bisa membuatmu menangis." aku tertunduk, menahan sesuatu menjalar didada, dan rasanya sakit.
"Maafkan aku gus, belum bisa menjadi istri seutuhnya, dan belum bisa berbakti." aku dongakkan kepala dan kembali menatap Namira, yang kini juga menatapku.
kedua mata kami bertemu, sepersekian detik tatapan itu mengikat kami, dan Namira kembali tertunduk.
Masih dengan menundukan kepala, dengan tangan menggenggam erat ujung mukena,
"Bulan yang gus tanyakan tentang dimana keberadaan aku..." Namira diam, mengambil jeda.
Sepertinya Namira ingin menceritakan sesuatu yang selama ini membebani pikirannya.
"Kamu kemana?" tanyaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Valería Lpz
Kebangkitan!
2023-09-14
0