***
"Jangan mau diajak nikah sama Mas Agung, dia ikut pengajian sesat," ujar Mala kepadaku.
Mendengar informasi tak terduga seperti itu seketika membuatku terkejut. Bagaimana mungkin lelaki yang kukenal baik selama ini bisa mengikuti pengajian sesat? Hati ini berusaha menepis dan tidak mendengarkan dengan apa yang sudah Mala katakan barusan. sebelum aku sendiri mengetahuinya dengan pasti. Siapa tahu Mala berbicara seperti itu hanya ingin menghalangiku agar tidak melanjutkan niat kami, aku dan Mas Agung untuk menuju sebuah ikatan suci pernikahan.
Karena aku pun tahu pasti kalau pada dasarnya Mala yang dulu sempat menjadi calon istrinya Mas Agung itu masih menyimpan rasa dan harapan besar kepada lelaki asal suku Jawa itu.
Ya, dulu mereka berdua sudah berencana untuk melangkah ke pelaminan. Mala pun memintaku untuk hadir dan mendampingi di acara resepsi pernikahannya nanti. Ia meminta sebuah kado berupa seprai juga dariku. Aku yang saat itu mendengar celotehannya hanya menanggapi dengan senyuman kecut karena jauh di lubuk hati ada rasa iri menyergap.
Dulu aku selalu merasa iri tiap kali ada teman atau sahabat yang membawa kabar tentang pernikahan. Karena pada saat itu aku sendiri merasa sulit untuk bisa sampai ke tahap yang diimpikan setiap gadis berusia dewasa sepertiku.
Aku pun hanya mengiakan apa yang Mala katakan. Mala tidak tahu kalau hatiku saat itu sulit untuk digambarkan.
Seiring berjalannya waktu. Entah apa yang terjadi di antara Mas Agung dan Mala. Hingga suatu hari Mas Agung menghubungiku dan mengabarkan kalau ia tidak berjodoh dengan calon strinya itu.
Mendengar kabar tak terduga itu terselip sedikit harapan dalam hati. Antara tak percaya dan rasa bahagia melebur menjadi satu.
***
Penuturan Mala yang pernah ia ceritakan beberapa bulan yang lalu tentang pengajian sesat yang diikuti oleh Mas Agung mengusik relung hati. Tak mungkin aku bisa menikah dengan pria yang punya pedoman berbeda bahkan melenceng dari akidah. Apalagi sosok suami sejatinya harus menjadi imam dan panutan istri dan anak-anaknya kelak.
Berawal dari rasa penasaran itu aku pun mencoba memberanikan diri menanyakan semua unek-unek yang selama ini mengganjal dalam hati. Apa benar dirinya mengikuti kajian sesat seperti yang telah Mala sampaikan.
Melalui sambungan telepon, Mas Agung menjawab satu persatu semua pertanyaan dariku. Pria dewasa itu pun menyarankan agar aku mencari tahu sendiri pengajian yang selama ini ia ikuti. Dirinya memintaku untuk mencari informasi via internet di google mengenai pengajian MTA(Majlis Tafsir Al-Qur'an) yang pusat lokasinya katanya berada di kota kota Solo-Jawa Tengah. Sedangkan aku sendiri berdomisili di daerah Pandeglang-Banten.
Aku mengenal Mas Agung selain dari perantara Mala juga ternyata kami dulu saat kuliah pernah satu kampus di daerah Serang. Hanya beda semester. Sama sekali tidak pernah saling mengenal dari pertama kali masuk sampai lulus dan wisuda. Justru dipertemukan setelah Mas Agung sudah bekerja di daerah tempat asalnya.
Mas Agung saat itu sempat meluangkan waktu berkunjung ke rumah dengan niat untuk silaturahmi sekaligus akan melamarku dalam waktu dekat jika setelah bertemu merasa saling ada kecocokan.
Qodarullah kami pun merasa cocok satu sama lain tinggal menunggu waktu yang tepat untuk ke tahap yang paling sakral yaitu ikatan suci pernikahan.
Namun, ucapan Mala tiba-tiba saja membuatku ragu dengan apa yang ia sampaikan kalau Mas Agung ikut jama'ah kajian sesat. Aku sempat berpikir apa ini salah satu godaan atau ujian untuk orang-orang yang akan melaju ke jenjang pernikahan? Setan berusaha menabur rasa ragu agar orang yang tadinya memantapkan hati menuju niat ibadah dalam ikatan pernikahan sehingga mereka gagal di tengah jalan.
Dengan hati berdebar aku mulai menuliskan kata MTA di kolom pencarian situs internet melalui ponsel pintar. Dalam hitungan detik muncul beberapa situs tulisan berkaitan denga MTA. Jari jempolku mengklik salah satu tulisan teratas diantara deretan situs yang berjejer di layar ponsel.
Baris demi baris kubaca habis semua ulasan mengenai pengajian MTA. Yang sayangnya saat itu yang pertama kubaca pemaparan dari seseorang yang katanya dulu pernah jadi jama'ah MTA. Tapi, mengundurkan diri karena banyak kejanggalan di dalamnya. Diantaranya katanya, jama'ah wajib membayar sebesar tiga ratus ribu rupiah setiap kali mengikuti pengajian. Kaejanggalan lainnya katanya sang ustaz menghalalkan anjing.
Aku bergidik ngeri setelah membaca habis semua ulasan dari seseorang mantan santri MTA itu.
Aku pun menceritakan ulang kepada Mas Agung mengenai tulisan yang sudah kubaca tadi. Mas Agung meluruskan dan menyarankan kembali agar aku membaca tulisan versi lainnya yang sesuai dengan yang sebenarnya.
Aku pun semakin penasaran dengan nama MTA yang kala itu masih terdengar sangat asing di telinga. Karena yang kuketahui saat itu pengajian yang benar-benar sesat hanya kelompok jama'ah Ahmadiyah dan NII.
Mas Agung juga menyarankan agar aku mencari tahu profil kiyai Marzuki yang katanya selalu salah satu yang kontra terhadap MTA.
Usai membaca keduanya antara pengajian MTA dan kelompok kiyai Marzuki itu aku berkesimpulan memang MTA tak seburuk dengan apa yang kebanyakan orang kira selama ini. Hatiku semakin yakin dengan niatku untuk memilih Mas Agung sebagai imam dan pendamping hidup.
Namun, rasa yakinku kepada Mas Agung seketika memudar ketika kurasakan perubahan sikapnya beberapa hari ke belakang. Sudah beberapa hari ia tak pernah memberikan kabar. Hingga pada Jum'at malam ia menghubungiku. Tapi, di luar dugaan ia mengutarakan ungkapan yang membuatku merasa terpuruk kala itu.
"Mulai saat ini, jalani saja hidup kita masing-masing. Kalau kita memang ditakdirkan berjodoh Insya Allah nanti pasti ada jalannya untuk kita bersatu."
Begitulah penuturan Mas Agung yang sudah sukses membuat hati ini hancur berkeping. Beribu tanya berkecamuk di kepala. Kenapa tiba-tiba ia bisa berkata seperti itu? Apakah ia memang tidak ada niat untuk menikahiku seperti yang pernah ia utarakan sebelumnya? Kenapa justru sekarang berkata demikian?
Aku berusaha menata hati agar tangisku tidak pecah saat telepon masih tersambung.
"Kenapa Kakak tiba-tiba berkata seperti itu? Lalu bagaimana dengan niat kita yang akan menikah dalam waktu dekat?" Dengan terbata akhirnya keluar juga pertanyaanku.
"Niat untuk melamar dan menikah tetap ada. Tapi untuk saat ini biarlah kita menjalani kehidupan sendiri-sendiri tanpa harus saling bertanya kabar setiap waktu. Tho, kalau sudah waktunya dan takdir Allah menjodohkan kita pasti akan bertemu lagi." Jawabannya saat itu masih belum dapat kuterima.
Kenapa ia berkata seperti itu saat hatiku mulai yakin dengannya. Kenapa tidak dari dulu sebelum ia berkunjung ke rumah. Apa di luar sana ia sudah menemukan gadis lain yang menurutnya lebih cocok di hatinya?
Dengan setengah hati aku pun hanya mampu mengiakan semua yang ia sampaikan. Setelah kudesak apa alasannya hingga ia tiba-tiba berkata seperti itu. Ternyata saat itu ia baru saja pulang dari tempat pengajian. Kajian mingguan yang rutin ia ikuti di salah satu cabang. Sang ustaz menekankan kepada seluruh jama'ah khususnya kepada yang masih berstatus single untuk tidak menjalin hubungan di luar ikatan pernikahan. Karena semua itu selain dilarang agama juga akan menimbulkan fitnah. Begitu katanya.
Mas Agung pun menyampaikan sebuah hadits yang ia dapat dari hasil ngajinya yang artinya:
“Ditusuknya kepala seseorang dengan besi panas, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni dalam Mu'jam Al Kabir 20: 211.
Hadits itulah rupanya alasan pria itu mengambil keputusan agar kami untuk sementara waktu harus menjaga jarak dan tidak menjalin komunikasi terlalu intens.
Usai mendengar ulasannya yang cukup lumayan panjang lebar itu aku pun seakan menemukan kekuatan baru untuk meneguhkan hati. Berusaha menerima keputusan Mas Agung apalagi alasannya yang memang hati kecilku pun menyetujui. Dan aku semakin yakin jika Mas agung sosok pria baik. Bisa menjaga diri dari hal-hal buruk yang dilarang oleh agama.
***
Beberapa bulan kemudian Mas Agung menepati janjinya. Menemuiku untuk kedua kalinya langsung dengan beberapa keluarga besarnya untuk langsung melamar.
Hari dan tanggal pun langsung ditetapkan tanpa ada hitungan hari baik atau hari buruk seperti yang dipakai oleh kebanyakan orang.
Untuk biaya dan mahar pun Mas Agung hanya ngasih sekadarnya. Aku pun tidak mempermasalahkan. Karena menurutku menikah tak harus dilaksanakan dengan pesta yang mewah dan meriah. Dengan acara sederhana asal terpenuhi rukun dan syarat sah nikah saja sudah cukup.
"Bu, apa ibu gak keberatan jika pernikahanku nanti digelar dengan cukup sangat sederhana tidak ada resepsi seperti yang lain?" tanyaku hati-hati kepada ibu ketika aku membantunya memotong sayur di dapur.
Perempuan sepuh itu pun menjeda aktivitasnya yang sedang menggoreng ikan. Menoleh ke arahku dengan lengkung senyum khasnya beliau berucap," Tak apa-apa, Nak. Itu bukan masalah besar yang harus dipikirkan. Bagi ibu kamu sudah dipertemukan dengan jodoh yang baik dan soleh saja itu sudah suatu anugerah yang harus disyukuri."
"Kamu sebagai perempuan jangan pernah merasa kecewa dan bersedih hati ketika diberi mahar seadanya oleh calon suamimu. Jangan memberatkan dengan meminta yang diluar batas kemampuannya" pungkas ibu kemudian.
Sebagaimana dengan salah satu ayat dalam kitab suci Al-Qur'an:
Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” (QS. An Nisa: 4)
Begitu wejangan yang ibu berikan sehingga aku lebih bisa memantapkan hati menikah dengan niat semata untuk menyempurnakan agama dan semata mengharap Ridha-Nya.
***
Memasuki satu tahun usia pernikahan kini aku sedang mengandung calon buah hati yang sebentar lagi akan lahir untuk melengkapi kebahagiaan kami
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments