Semenjak memasuki usia keenam bulan dokter Spog, menyarankan Devita untuk kontrol setiap dua minggu sekali. Karena saat itu mulai ketahuan ada beberapa kelaianan. Diantaranya, placenta previa, sungsang, dan lilitan tali pusar.
Pagi hari menyisakan udara dingin, jalanan masih lengang, Yubi, sang suami melajukan kendaraan roda duanya dengan kecepatan sedang membonceng Devita menuju rumah sakit yang jarak tempuhnya sekitar tiga puluh menit.
Yubi hanya mengantar sampai depan rumah sakit, setelah itu ia harus kembali ke tempat kerjanya untuk mengikuti seminar yang diadakan pihak sekolah.
Dengan perut membuncit serta menuntun si sulung Devita menuju ruang pendaftaran untuk mengurus administrasi seorang diri.
Beberapa jam mengantri di tempat pendaftaran baru bisa menuju poli kandungan, di sini pun masih sama harus menunggu antrian sampai menjelang Zuhur. Karena kebetulan hari Jum'at Yubi pun bisa menyusul lebih awal. Ba'da Zuhur nama Devita dipanggil menuju ruang pemeriksaan.
Setelah ditimbang BB, tensi darah, dan pemeriksaan USG, dokter Spog menyarankan untuk dilakukan tindakkan caesar hari itu juga, karena hasil USG terlihat masih ada lilitan tali pusar dan posisi bayi melintang, kepalanya tidak masuk panggul walaupun placenta yang tadinya menutup jalan lahir sudah bergeser, tapi tidak memungkinkan untuk bisa lahirkan secara normal.
Padahal tiga bulan setelah divonis sungsang Devita sudah sering melakukan ritual sujud 10-15 menit dan jalan kaki setiap hari sesuai anjuran dokter kandungan. Tapi, ternyata Allah berkehendak lain dan tidak mengizinkan untuknya bisa melahirkan normal.
Mendengar saran dari dokter barusan membuat perempuan berusia 29 tahun itu sedikit terkejut karena selain usia kandungannya yang baru mencapai 37 Minggu ia juga merasa belum siap kalau hari itu juga akan dilakukan caesar. Karena niat awalnya hanya untuk sekadar kontrol dan tidak membawa perlengkapan bayi dan persiapan lainnya.
Setelah mendapat dukungan dari sang suami dan mengingat resiko jika harus ditunda sampai minggu depan karena jarak tempat tinggal ke rumah sakit lumayan jauh akhirnya Devita mengiakan. Dan mulai puasa saat itu juga.
Usai mengurus administrasi Devita diantar menuju ruang rawat inap khusus poli kandungan untuk menunggu jadwal operasi, setelah sebelumnya dipasang gelang identitas pasien.
Sedangkan Yubi berinisiatif pulang ke rumah terlebih dulu untuk mengambil keperluan bayi dan baju ganti sang istri.
Devita melihat jam di ponsel, ternyata sudah menunjukkan waktu setengah lima sore. Baru sadar ternyata ia belum melaksanakan salat Asar. Wanita itu pun bergegas menuju ruang jaga perawat meminta izin sebentar untuk ke masjid yang berada di sekitar rumah sakit.
Dalam sujudnya Devita memohon agar proses caesar yang sebentar lagi akan dihadapinya diberi kelancaran dan keselamatan tanpa kendala apa pun.
***
Baru beberapa menit kembali ke ruang rawat inap, tidak lama kemudian ada dua orang suster dan perawat yang menghampiri sambil membawa botol impusan serta peralatan lainnya.
"Mbak, sebentar lagi jadwal tindakan caesar akan dilaksanakan. Sekarang kita mulai pasang infus dan alat lainnya, ya?" Salah satu suster berkata ramah. Setelah sebelumnya menyuruh Devita mengganti pakaian dengan baju khusus berwarna hijau.
"Iya, Bu, monggo .... " jawab Devita menyilakan.
Deviya mengira setelah usai memasang jarum suntik yang ditusukkan di atas punggung tangan akan selesai. Tapi, ternyata tidak.
Suster itu masih meminta izin untuk memberikan cairan antibiotik, lagi-lagi dengan menusukkan jarum suntik kedua kalinya di salah satu pergelangan tangan lalu melingkarinya dengan pulpen, dan efeknya sangat tidak nyaman di bagian sensitifnya.
Baru beberapa detik terasa normal kembali, ternyata masih ada satu proses lagi yaitu pemasangan selang kateter untuk mengeluarkan urine secara otomatis pasca operasi caesar nanti tanpa harus ke toilet.
"Keluarganya mana, Mbak, yang nanti untuk mengantar dan menunggu di depan ruang operasi?" tanya salah satu suster sesaat setelah usai pemasangan alat-alat yang menurut Devita terasa menegangkan.
"Suami saya lagi pulang dulu, Bu, ngambil peralatan bayi. Keluarga yang lain juga gak, ada, Bu."
"Owh, yaudah, gak, apa-apa Mbak, nanti bisa diantar dan ditemani oleh suster yang ada di sini, kok."
Setelah dipastikan semuanya beres, Tubuh Devita yang tadinya terbaring di tempat tidur ruang rawat inap mulai dipindah ke tempat tidur roda. Ada sekitar empat orang suster dan perawat yang ikut membantu dan mengantar ke ruang operasi.
Untuk pertama kali memasuki ruang operasi kandungan bagi Devita sangat membuat perasaannya campur aduk. Antara takut, tegang, juga sedih karena tidak ada satu pun keluarga yang hadir menemani sekedar memberikan dukungan moril.
Devita mengamati ruangan operasi, terlihat banyak peralatan seperti gunting dan benda tajam lainnya dengan beragam jenis ukuran membuat nyalinya seketika menciut.
Tindakan operasi belum dimulai, tapi entah kenapa tiba-tiba rasa dingin menyergap hingga menggigil menembus tulang mengakibatkan badannya gemetar hebat.
"Bu, kok, badan saya mendadak terasa menggigil begini kenapa, Bu?" tanyanya kepada salah satu suster yang mulai menyiapkan peralatan.
"Mungkin hanya kedinginan karena AC, Mbak, " jawab suster.
"Bukan, Bu, ini dinginnya bukan dingin biasa," sangkalnya dengan lutut gemetar yang semakin tidak terkontrol.
"Mbaknya harus santai, tenang, jangan sampai tegang, biar gak menggigil," saran suster kemudian.
Devita pun mulai menenangkan hati, berusaha rileks dan pasrah. Sedikit demi sedikit rasa menggigil yang tadi ia rasa mulai berangsur menghilang.
"Sudah siap belum, Mbak?" tanya suster memastikan.
"Insya Allah, saya siap, Bu."
"Kalau begitu, sekarang kita mulai memberi suntikan anestesi di bagian punggung, ya, untuk memberikan bius separuh badan dari mulai perut sampai ujung kaki." Suster menjabarkan.
"Sakit gak, Bu?"
"Biar gak terlalu sakit, Mbaknya harus tenang, rileks jangan tegang."
'Ya Allah ... dalam situasi seperti ini disuruh santai gak sampai tegang rasanya, kok, susah amat, ya?' batin Devita dalam hati
"Iya, Bu, saya siap dan akan berusaha rileks" jawabnya kemudian berusaha menenangkan diri.
"Oke, Mbak, mohon kerjasamanya, ya, supaya bisa cepat dimulai," ujar suster bersiap dengan jarum suntik di tangannya.
"Mbak, ototnya dilemaskan aja jangan sampai tegang, kalau Mbaknya seperti ini nanti jarumnya bisa patah." Ucapan suster mengejutkan Devita.
"Iya, Bu, saya coba lagi," sahutnya mencoba melenturkan urat-urat yang tadi menegang. Devita berusaha pasrah dan merafalkan do'a sebisa mungkin berharap bisa lebih tenang meminta diberi kemudahan dan kelancaran kepada Yang Maha Kuasa.
Dengan hati yang pasrah serta menyerahkan diri sepenuhnya kepada yang Maha pengatur membuat badannya terasa lebih tenang, semua otot jadi melemas dengan sendirinya.
Suster pun mulai menusukkan jarum suntik epidural di bagian punggung Devita. Setelah selesai, kemudian membiarkannya beberapa menit memastikan obat biusnya bekerja sempurna.
"Coba angkat kaki sebelah kanannya, Mbak!"
Devita berusaha mengangkat kakinya yang mulai terasa berat. Mencoba mengangkat yang sebelahnya sama sudah tidak mampu digerakkan.
Dengan posisi terlentang dan diberi sekat tirai pembatas di bagian dada agar pasien tidak bisa melihat langsung operasi caesar yang nanti akan dilakukan oleh dokter dan team.
Usai berdoa tepat pukul 18:15 tindakan caesar pun dimulai. Mulai terasa di bagian bawah perut Dhena seperti ada yang disayat-sayat walaupun tidak terasa sakit namun cukup membuat perempuan itu ngilu.
Ada satu orang suster yang duduk di kursi persis di sebelah kepalanya mengajak ngobrol santai untuk mengalihkan perhatian pasien agar tidak terlalu merasa tegang.
Tak lama kemudian sekitar pukul 18:30 terdengar tangisan bayi menggema memenuhi ruangan, setelah dibersihkan lalu diletakkan persis di atas dada sang ibu oleh seorang perawat. Untuk eksplor dan mendapatkan kolostrum.
Saat kulit si kecil mungil menyentuh, ada rasa bahagia dan haru menyelimuti hati Dhena. Bahagia melihat bayinya sudah berada dalam dekapan.
Setelah dirasa cukup, si kecil diambil alih kembali oleh perawat dan suster lainnya mulai membantu Dhena untuk dipindahkan ke tempat tidur dorong dan mengantarkannya kembali ke ruang rawat inap.
***
Dhena baru menyadari jika keadaan badannya yang dikira baik-baik saja itu ternyata lemah tak berdaya ketika pagi hari perawat yang membantu menyeka dengan air hangat memintanya untuk sekedar membalikkan badan pun ternyata ia tak mampu melakukannya.
'Ya, Allah ... ternyata seperti ini efek pasca operasi caesar, tidak seperti saat melahirkan normal si sulung, Fathan. Pagi harinya aku langsung bisa berjalan dan mandi sendiri ke kamar mandi. Tapi, saat ini aku harus menerima kenyataan kalau badan ini persis seperti orang lumpuh yang tak berdaya untuk sekedar menggerakkan badan,' batinnya dalam hati.
Bahkan Dhena harus bisa menahan diri sekuat mungkin agar tidak bersin, batuk, dan tertawa sesuka hati. Karena saat hal-hal kecil itu dilakukan efeknya sangat-sangat menyiksa sekali di bagian perut yang diperban, seakan jahitan yang masih basah itu ikut terbuka kembali.
Artinya: "Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).(QS. Al-Ahqaf ayat:15).
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments