"Kepada saudari Meylani Syafira ditunggu kedatangannya ke ruang sidang setelah salat Isya."
Langkah Melan yang sedang meniti anak tangga untuk turun dari musala itu mendadak terhenti. Santri putri yang masih duduk di bangku kelas satu Aliyah itu berusaha menajamkan pendengarannya dengan seksama. Hatinya menjadi berdebar-debar tak karuan membayangkan dirinya harus berhadapan dengan kismullugoh(bagian bahasa) yang terkenal tegas dan berwibawa.
"Mel, tadi nama ente disebut untuk menghadap bagian bahasa, lho," ucap Ika, teman sekelasnya setelah kini mereka berjalan beriringan menuju kamar asrama.
"Serius itu tadi nama ane yang dipanggil?" tanya Melan memastikan. Perempuan itu berharap tadi yang didengarnya salah.
"Iya, jelas banget gitu, kok, nama ente dari kelas satu experiment," sahut Ika yakin.
Tiba di kamar asrama mereka menuju lemarinya masing-masing. Melan, Ika dan temannya yang lain mulai berganti pakaian rapi bersiap untuk mengikuti kegiatan pondok selanjutnya yaitu belajar malam yang dimulai bakda Isya hingga nanti pukul sepuluh malam.
Hati kecil Melan terus bertanya-tanya kesalahan apa gerangan yang sudah dilakukannya sehingga ia harus menghadap bagian bahasa. Karena baru kali pertama itulah dirinya dipanggil ke ruang sidang.
"Aku tunggu di kelas, ya," ucap Ika ketika melihat Melan mulai berjalan menaiki tangga menuju ruang sidang yang terletak di lantai dua. Ada beberapa santri yang sedang berdiri di depan pintu ruangan yang dijadikan tempat ruang sidang itu.
Seorang gadis berbalut baju setelan muslim serta hijab segi empat warna senada perlahan membukakan pintu lalu menyuruh semua yang berdiri tadi untuk masuk.
Ruang berukuran sedang itu aslinya merupakan ruang perpustakaan pondok yang dimultifungsikan untuk ruang sidang oleh Kaka pengurus.
Melan duduk bersimpuh di lantai bersama yang lainnya. Menunggu detik-detik persidangan dimulai. Setelah mengucap salam dan sedikit pembukaan. Kak Uswah, sebagai bagian bahasa mulai menginterogasi adik-adik kelasnya yang dianggap sudah melakukan pelanggaran aturan pondok, terutama bagian bahasa.
Di pondok pesantren modern Daarul Muttaqin itu memang sudah didisiplinkan mengenai pemakaian bahasa yang hanya boleh menggunakan dua bahasa yaitu bahasa arab dan inggris dalam setiap kegiatan sehari-hari selama masih berada dalam lingkungan pondok. Baik ketika di kamar mandi, di dapur ketika mengambil nasi, di musala ataupun sedang di kelas saat pembelajaran berlangsung. Dilarang berbicara dengan memakai bahasa Indonesia apalagi bahasa daerah. Jika ada santri yang nekat melanggar maka harus berhadapan dan mendapat sanksi dari bagian bahasa itu sendiri.
"Melan, apa kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke ruangan ini?"
Pertanyaan dari Kak Uswah membuyarkan lamunan Melan yang sedang duduk menekuri lantai.
Melan menggelengkan kepala pelan. Pertanda ia sendiri pun belum paham apa kesalahannya.
"Tadi siang kamu terdengar oleh bagian kami sedang berbicara menggunakan bahasa Indonesia ke teman kamu," tutur Kak Uswah memberikan penjelasan.
Melan berusaha mengingat kembali kejadian tadi siang. Benar saja. Perempuan bertubuh kecil itu pun baru menyadari jika siang tadi ia sempat berteriak untuk nitip jajan lupis ketika melihat Yuli, teman sekamarnya hendak pergi ke sirkah(kantin).
Spontan Melan menganggukkan kepalanya. Mengiakan apa yang barusan disampaikan oleh sang kakak kelas.
"Sebagai hukumannya kamu harus menyetor hafalan do'a salat tahajud dan duha tiga hari ke depan," ucap Kak Uswah kemudian.
***
"Ente kenapa melamun terus dari tadi, Mel," bisik Ika prihatin lalu ikut berdiri tepat di samping Melan yang sedang mematung di depan kelas. Kedua tangannya bertumpu di tembok yang memanjang seperti pilar yang berfungsi sebagai pagar pembatas di bangunan lantai dua itu.
Dari tempatnya berdiri itu Melan dapat mengawasi gerak gerik dan aktivitas santri lainnya yang sedang berada di lapangan yang letaknya persis berhadapan dengan kamar asrama.
"Entah, Ka, tiba-tiba saja aku ingat Abah yang berada di rumah," jawab Melan seraya menyeka sudut matanya dengan punggung tangan.
Mendengar jawaban sahabatnya itu mendadak tawa Ika meledak.
"Kenapa ente malah ngetawain ana?" selidik Melan dengan kening mengernyit.
"Emang ada yang lucu, ya?" sambungnya.
"Habis ente kaya anak kecil yang baru sehari berjauhan dari orang tua."
"Bukan hanya itu, Ka, tapi sekarang ini hidup ana terasa sangat berat," ungkap Melan berusaha mengutarakan isi hati kepada sahabat karibnya itu.
"Sabar, Mel, anak yang tumbuh di lingkungan pondok yang jauh dari keluarga seperti kita ini harus pintar-pintar menjaga kecerdasan emosional biar gak oleng," ucap Ika berlagak bijak di depan kawannya itu.
Ika meyakinkan sahabatnya itu jika mereka berdua pasti mampu melewati setiap ujian yang harus dilalui selama tinggal di pondok agar kelak bisa meraih predikat lulus dengan nilai yang cukup baik dan membuat bangga diri sendiri serta orang tua yang sudah banyak memberikan dukungan dan biaya yang sudah dikeluarkan banyak.
Dalam hati Melan menyeru syukur tak terhingga memiliki sahabat sebaik Ika yang selalu ada di kala susah maupun senang.
Walaupun jauh dari keluarga tapi Melan tidak pernah merasa sendiri karena selalu dikelilingi oleh kawan dan sahabat yang baik dan solid. Begitulah kehidupan anak pondok, tinggal bareng di asrama selama bertahun-tahun menjadikan mereka seperti saudara sendiri yang selalu saling menguatkan satu sama lain.
"Kita turun, yuk, nanti ana traktir mie ayam di kantin," ajak Ika menggandeng bahu Melan.
***
Melan baru saja beranjak dari perpustakaan ketika ustazah Halimah memanggilnya dari arah belakang.
Ustazah Halimah mengajak Melan untuk duduk sebentar di kursi yang kebetulan berada persis di depan ruangan itu. Perempuan dewasa dengan penampilan bersahaja itu pun menyampaikan jika tadi orang tua Melan menelpon dan ingin berbicara langsung dengan putrinya itu.
Usatzah berwajah lembut itu kembali melakukan panggilan ulang. Setelah sambungan terhubung kemudian mengulurkan ponselnya ke arah Melan, yang disambut ragu oleh Melan.
"Gak apa-apa, Mel. Bicaralah!" titah sang ustazah meyakinkan.
Melan menjawab salam dari sang ibu melalui sambungan telepon.
"Sehat, Mel?" tanya ibunya di ujung telepon sana.
"Alhamdulillah. Abah dan Ibu juga sehat, kan?"
"Kamu yang sabar, ya, Nak, Abahmu sekarang sudah tiada," ucap sang ibu terbata menahan tangis.
Mendengar kalimat terakhir dari wanita yang telah melahirkannya itu tangan Melan perlahan luruh. Gadis itu tergugu pilu dengan ponsel masih dalam genggamannya. Ia tak sanggup lebih banyak lagi untuk berbicara dengan sang ibu yang menghubunginya untuk membawa kabar duka.
Usatzah Halimah merengkuh Melan dalam dekapan. Membiarkan gadis malang itu menumpahkan nestapa dalam pelukannya. Jemari ustazah berhati baik itu mengusap lembut punggung Melan seolah ingin menguatkan hati anak didiknya yang sedang mendapat cobaan harus ditinggal sang ayah untuk selamanya di usia yang masih belia.
"Melan anak baik, anak solehah pasti kuat dan bisa melewati ini semua, ya, Sayang," lirih sang ustazah di telinga gadis itu.
"Kita harus ingat bahwa semua makhluk pasti akan kembali kepada Sang Pemilik-Nya. Cuman waktunya saja yang berbeda sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur'an,:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
Artinya: Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al Anbiya: 35)
Sebisa mungkin usatzah Halimah memberikan dukungan moril kepada Melan agar kuat untuk menerima kenyataan pahit yang sedang dihadapinya.
***
Waktu terus bergulir. Melesat seperti anak panah yang membawa kehidupan anak manusia meniti setiap episode yang harus dijalani.
Bagi Melan kehilangan salah satu orang yang sangat dicintainya tak menyurutkan gadis itu untuk terus menuntut ilmu dan tetap memilih bertahan tinggal di asrama hingga perempuan itu menjemput kesuksesan.
Sang ibu di rumah tak henti memberikan dukungan baik dari segi materi ataupun dukungan moril kepada putrinya. Tidak lagi memiliki sosok ayah tak menjadi halangan untuk tetap menimba ilmu di pondok pesantren. Hingga kini Melan bisa lulus dengan nilai mumtazah dan berkesempatan untuk melanjutkan belajar ke negeri seberang dengan biaya beasiswa yang ia dapatkan.
End.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
anggita
Ponpes Darul Mutaqin.......
2023-09-19
0