"Dari mana saja kamu semalaman??"
Pagi-pagi buta Zella pulang ke rumah langsung dapat sentakan keras dari Gunadi.
Zella mendengus malas. "Ketiduran di kosan temen, Pa."
"Selalu itu alasannya. Papa rasa rumah ini yang kamu sebut tempat kos sampai kamu seenaknya pergi dan pulang tak kenal waktu."
"Papa ngomong apa sih? Ini kan rumah aku."
"Kalau begini kelakuan kamu, Papa nggak akan serahkan rumah ini sama kamu."
"Oh..." Zella malah makin menantang. "Jadi Papa mau nikahin Tante Rindu itu untuk ngewarisin kekayaan Papa? Karena Papa punya 1 anak yang nggak guna, itu kan maksud Papa??"
"Kamu kenapa sih selalu beranggapan buruk sama Rindu? Dia itu wanita baik mau memberi figur seorang ibu sama kamu. Kamu tidak pernah merasakan kasih sayang dari ibu kandung kamu..."
"Papa!" Jerit Zella. Ia paling tidak tahan mendengar jika ayahnya menyinggung soal ibu kandungnya.
"Kenapa? Kamu berani bentak Papa??"
"Kalau Papa nyesel punya anak kayak aku, lebih baik Papa sebut nama ibu kandungku biar aku pergi cari ibu. Nggak perlu Papa repot urus anak bandel kayak aku lagi!"
Gunadi menarik nafas berusaha menurunkan tekanan darah. "Ibu kamu udah meninggal. Nggak guna kamu mau cari dia."
Itu sih gue juga udah tau, batin Zella.
"Kalo gitu, nggak perlu repot-repot cari Mama baru buat aku, Pa."
Melihat anaknya begitu emosional, Gunadi berusaha lebih sabar. Karena jika sama-sama emosi ia yakin tidak akan dapat jalan keluar.
"Zella, kita bicara baik-baik ya. Papa minta maaf udah bentak kamu tadi."
Zella menarik nafas berusaha menetralkan emosinya.
Berdua mereka duduk berdampingan di sofa.
"Papa harap kamu bisa bersikap lebih baik. Rindu pasti sedih jika tau semua barang yang dia kasih sudah kamu hancurkan."
Zella tentu ingat lampu tidur yang dipecahkannya kemarin adalah lampu tidur kelima yang dibelikan calon istri Gunadi.
Juga vas bunga dan bingkai foto mahal.
Hanya pencitraan untuk menunjukkan bahwa ia sayang pada calon putri sambungnya.
Padahal jelas Zella tahu itu pun dibeli dari kartu kredit yang Gunadi kasih pada pacarnya itu.
Maka Zella menghancurkan itu semua. Melampiaskan kemarahannya pada sikap Gunadi.
"Kenapa kamu masih bertanya tentang ibu kandung kamu?"
"Karena Papa nggak pernah jawab jelas. Kenapa Ibu ninggalin Papa? Kenapa Ibu pergi nggak bawa aku? Kalau aku cuma beban untuk Papa, kenapa Papa nggak biarin aja aku ikut Ibu?"
Gunadi menggenggam tangan putrinya. "Lisa pergi meninggalkan kita. Lisa ibu kamu, dia memilih laki-laki lain."
Zella terdiam. Lagi-lagi Papa bohongin gue, gue ikut aja kebohongan Papa, batinnya.
"Kenapa Ibu pergi? Apa Papa kasarin Ibu? Seperti Papa kasarin aku selama ini?"
Gunadi terdiam ditanya begitu.
"Aku jadi kasar begini karena didikan Papa. Dari kecil apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata Papa. Selalu aja Papa membandingkanku dengan anak-anak teman Papa dan membuatku kelihatan bodoh. Hanya karena nilaiku jelek Papa menghukumku. Aku benci sikap Papa! Itu yang harus Papa tau." Zella mengeluarkan unek-uneknya.
"Papa begini ingin kamu jadi sukses, Nak."
"Sukses apa, Pa?" Zella berdiri, mulai jengah berbicara dengan sang ayah yang jawabannya sering melantur.
"Sukses menciptakan citra baik di depan teman-teman Papa? Agar Papa bisa dengan bangga menceritakan tentangku di depan mereka semua? Nilaiku bagus di sekolah, aku kuliah di kampus terbaik, IPK-ku tinggi. Itu sukses maksud Papa? Untuk mencapai itu semua aku tertekan, Pa! Papa nggak peduli itu kan? Papa cuma peduli kerja dan kerja. Tanpa tanya apa yang aku suka dan aku nggak suka. Aku nggak suka pelajaran Sejarah. Tapi Papa nggak tau itu kan? Setelah aku dapat nilai 6 ketika ulangan Sejarah, Papa nggak tanya kan kenapa aku bisa dapat nilai rendah? Karena aku nggak suka pelajarannya. Walau aku belajar, sesuatu yang nggak aku suka itu sia-sia. Papa cuma men-cap aku bodoh, malas belajar. Papa nggak peduli sama aku!"
Gunadi berdiri dan mengusap lembut kedua pundak Zella.
"Segitu tertekannya kamu dengan aturan Papa?"
"Ya. Sangat, Pa."
"Lalu apa yang harus Papa lakukan sekarang? Papa hanya ingin kamu setuju Papa menikah dengan Rindu."
Zella sungguh tidak suka dengan calon istri Gunadi yang satu ini. Maka ia harus bertindak.
"Hanya satu yang aku mau. Kalau Papa mau nikah dengan Tante Rindu, balik dulu semua aset Papa atas namaku. Baru Papa bisa nikah sama pacar Papa itu."
Permintaan Zella jelas mengejutkan Gunadi.
"Itu aja. Disaat semua udah jadi namaku, silahkan Papa menikah. Aku ke kamar dulu, Pa. Badanku lengket."
Tanpa peduli Gunadi kebingungan, Zella beranjak ke kamarnya.
"Apa yang harus aku lakukan? Kalau semua menjadi nama Zella, pasti Rindu menolak menikah denganku."
Zella tersenyum puas mendengar keluhan Gunadi.
"Pasti lah Pa, pasti nenek sihir itu nggak mau nikah sama Papa kalau nggak dapat apa-apa."
Ia berjalan masuk kamar dan melepas jaket.
Kamarnya sudah rapi. Dan lagi-lagi ada lampu tidur baru yang dibelikan Rindu untuknya.
"Gue yakin tu nenek sihir nggak kehabisan akal buat morotin Papa. Gue harus bongkar kebusukan dia. Kalau nggak bisa dengan cara baik-baik, gue bakal pake cara kotor jebak dia."
***
"Ini orangnya."
Seorang pria muda tampan dengan tubuh atletis menerima foto yang diberikan Zella.
"Gue cuma butuh bukti dia selingkuh dari bokap gue. Terserah gimana caranya. Mau lo garap dia, gue nggak peduli. Yang penting ni perempuan harus pergi jauh."
Pria bernama Deon yang berprofesi sebagai gigolo, tersenyum memandangi foto wanita berumur 40-an berbadan aduhai dan berwajah cantik.
"Beres. Lo kan tau sepak terjang gue." Deon melirik gadis cantik itu. "Gue free malam ini. Perlu temen?"
Zella menggeleng. "Gue lagi pengen sendiri. Kerjain aja yang gue minta. Secepatnya. Gue tulis info nomor telepon, alamat, sampai akun sosial medianya."
Deon tersenyum sinis. "2 x 24 jam. Gue jamin semua yang lo minta akan lo dapetin."
"Oke. Gue pegang janji lo."
"Tapi lo yakin nggak pengen gue temenin? Gue nggak ambil bayaran deh." Deon masih usaha membuat Zella kesal.
"Kok lo jadi maksa? Gue bayar lo untuk urus ni perempuan. Jadi lo yang kepengen sama gue?"
Deon terkekeh. "Kali aja. Oke deh gue cabut dulu. Tunggu hasilnya."
Begitu Deon pergi, Zella meneguk minumannya.
Diskotik seperti malam sebelumnya selalu hingar bingar.
Satu-satunya tempat yang membuat Zella bisa terhibur jika mood-nya sedang rusak.
"Liat aja. Gue jamin pernikahan lo sama bokap nggak bakal pernah terjadi."
Ia membayar bill dan keluar dari diskotik.
"Eh Dinda, dengerin aku dulu."
Zella menoleh dan melihat sepasang kekasih sedang bertengkar.
Drama ala sinetron.
Karena suara mereka cukup kuat, Zella bisa mendengar jelas perdebatan keduanya.
"Apa lagi sih Ga? Aku kecewa sama kamu. Aku udah kasih semua, ATM, sampai aku bayarin kos kamu setiap bulan. Tapi kamu malah asyik dengan cewek lain?" Cewek bernama Dinda itu meluapkan marahnya pada Yoga pacarnya yang kepergok selingkuh.
"Aku nggak selingkuh, Din... Tadi cuma temen aku."
"Temen macam apa? Kalian ciuman, bahkan mojok. Aku liat kok kamu pegang-pegang dia. Dasar buaya!" Cewek itu mengambil paksa dompet pacarnya dan mengambil ATM miliknya, juga semua uang.
"Eh Din.."
"Kita putus! Aku ambil semua milikku! Silahkan kamu seneng-seneng sama cewek murahan itu!" Ia melempar dompet itu ke lantai dan berbalik pergi.
"Din, Dinda.. jangan putusin aku... Dinda.."
Zella geleng-geleng kepala. "Jadi ngebayangin gimana drama Papa mutusin Tante Rindu. Pasti lebih dramatis. Deon kan kalap kalau udah sama perempuan cantik apalagi yang lebih tua."
Tanpa peduli, ia melajukan motornya ke markas.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments