Gavin Agha Wiguna sangat totalitas dalam bekerja. Dia selalu memberikan yang terbaik untuk tempat di mana dia bekerja. Sebulan menjadi direktur utama sudah banyak perubahan di Wiguna Grup. Aksa pun tersenyum bangga kepada putranya.
"Mas, jangan pulang malam terus. Jaga juga kesehatan kamu."
Sang ibu sudah menasihati Agha yang sedang fokus menatap layar segiempat di depannya. Agha menoleh sebentar kepada sang ibu. Lalu, menyunggingkan senyum.
"Iya, My."
Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Agha. Sudah sebulan ini dia selalu pulang tengah malam karena sedang banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Sang ayah sudah menegurnya, tapi tetap saja Agha tak mendengar. Selain pekerja keras, Agha pun keras kepala.
.
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Agha ketika sedang mengecek berkas-berkas yang tidak sesuai dengan keinginannya.
"Pada bisa kerja gak sih?"
Dia pun mengomel di malam hari di ruangannya. Ya, dia masih berada di kantor Wiguna Grup.
Terbuai dengan pekerjaan yang menumpuk dan meminta untuk diselesaikan membuat Agha lupa waktu. Dia meregangkan otot-ototnya yang terasa sangat kaku. Ketika dia melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
"Semakin besar perusahaan dan jabatan, semakin besar juga pressure yang diterima," gumamnya.
Selelah apapun Agha, dia tidak pernah mengeluh. Dia tetap enjoy menjalani semuanya. Hingga dia rela tak memiliki waktu istirahat karena tanggung jawab yang dia emban sangat besar. Meskipun sudah satu bulan berada di Jakarta, dia belum bertemu dengan keluarga besarnya. Dia masih fokus pada pekerjaan dan belum mau bertemu dengan orang-orang. Dia memang sangat merindukan mereka (keluarga), tapi ini belum saatnya untuk Agha menunjukkan wajahnya kepada mereka semua.
Agha sudah keluar dari kantor Wiguna Grup. Dia berjalan menuju mobilnya. Baru saja duduk di balik kemudi, mulutnya sudah menguap dengan begitu lebar.
"Puas-puasin deh besok tidur," ujarnya.
Akhir pekan kali ini akan dia gunakan untuk beristirahat. Itulah kenapa dia ingin menyelesaikan semua pekerjaannya. Selama satu bulan ini, setiap akhir pekan selalu dia gunakan untuk bekerja dan bekerja. .
Jalanan yang begitu sepi membuat Agha menginjak pedal gas cukup kencang. Dia ingin cepat sampai. Pandangannya terus menatap ke arah jalanan dengan sesekali menguap. Agha terus melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Tanpa dia sadari dia terpejam beberapa detik sampai pada akhirnya dia berteriak.
"Aarggh!!"
Darah pun mengucur di dahinya. Agha sangat terkejut dan masih mengatur napasnya. Sakit di dahinya tak dia rasakan. Padahal bau amis darah segar sudah dapat Agha cium.
Kaca mobilnya ada yang mengetuk. Agha menoleh dan ada seorang polisi di sana. Agha membuka pintu mobil dan polisi itu melakukan hormat kepada Agha.
"Apa Anda baik-baik saja?"
"Saya hanya mengantuk, Pak." Kalimat itu begitu lemah dan akhirnya Agha tak sadarkan diri.
.
Perlahan Agha membuka mata dan dia sudah berada di rumah sakit. Sudah ada perawat yang ada di sampingnya juga polisi yang tadi menyapanya.
"Syukurlah, Anda sudah sadar."
"Terima kasih, sudah membawa saya." Polisi itupun mengangguk.
Agha merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Dia menghubungi seseorang dan menyuruhnya untuk datang ke rumah sakit.
"Apa luka saya ini parah?" tanya Agha kepada pihak kesehatan yang menanganinya.
"Kami harus menjahit dahi Bapak karena luka robeknya cukup lebar," jelas pihak medis.
"Untuk memastikan kondisi bagian dalam kepala, kami akan melakukan CT scan besok pagi. Kami menduga ada benturan cukup keras."
Setengah jam berselang, seorang pria datang dengan wajah cemas. Dia menggelengkan kepala ketika melihat sang sahabat terbaring dengan perban di kepala.
"Kalau mau bunuh diri bilang. Biar gua videoin."
"Emang si alan!"
Perawat yang ada di sanapun menggelengkan kepala. Wajah tampan tak lantas membuat ucapannya sopan, tetap saja keluar kata kasar.
"Urus biaya rumah sakit."
Perintah Agha membuat Reksa berdecak kesal, tapi tetap saja Reksa menjalankan tugas dari sahabatnya itu. Dia pun menengadahkan tangan. Agha memberikan dompetnya kepada Reksa. Reksa sudah hendak mengambil kartu hitam nan ajaib.
"Pake debit aja."
Dahi Reksa mengkerut ketika mendengarnya. Dia menatap dalam wajah sang sahabat.
"Itu kartu buat bekel nikah."
Etdah!
Reksa menatap kesal ke arah Agha yang malah memejamkan mata. Pacar saja tidak ada sudah menyebut kata nikah. Namun, dia menuruti saja apa yang diperintah sang baginda. Setelah sampai resepsionis, dia berdecak kesal karena lupa menanyakan pin. Baru saja hendak menghubungi Agha, sudah ada pesan dari anak Aksara.
"Gunain keahlian lu!"
"Bang sat!"
Reksa mengumpat di dalam hati. Terkadang sahabatnya itu di luar prediksi BMKG otaknya. Kini, Reksa yang malah harus berusaha meretas pin kartu milik sahabatnya sendiri.
"Padahal tinggal bilang aja berapa PIN-nya. Malah ngasih PR pan. Bukannya gua gak mampu ngeretas pin ini, tapi asli gua lagi males."
Reksa terus mendumal di dalam hati sambil meretas pin milik sahabatnya itu. Tak memakan waktu lama dia pun berhasil. Pembayaran biaya rumah sakit pun sudah selesai.
Dia kembali lagi ke ruang IGD di mana Agha masih terbaring. Dia masih harus berada di sana sampai besok pagi.
"Lu udah bilang keluarga lu?" Agha menggeleng.
Lelaki yang terbaring di ranjang pesakitan itu mengirim pesan kepada ibunya dan menunjukkan pesan tersebut kepada Reksa.
My, Mas nginep di rumah Reksa ya. Besoknya mau langsung ke Bandung, liburan sedetik.
"Gila emang!" Reksa sangat tidak mengerti jalan pikiran lelaki tampan sahabatnya itu.
"Gua gak mau buat nyokap dan Adek gua khawatir."
"Tapi, lu yakin bokap lu gak tahu akan hal ini?" Reksa sudah menatap dalam Agha.
"Bokap gua pasti tahu semuanya tentang gua, tapi gua gak takut walaupun bokap gua galak. Air mata nyokap gua yang lebih gua takutin."
Hati Reksa mencelos mendengar penuturan Agha. Di balik sikap Agha yang keras dan songong, ada kelembutan hati yang sampai saat ini tak berubah dari seorang Gavin Agha Wiguna. Seorang anak yang selalu menjunjung tinggi dua perempuan yang dia sayangi.
.
Dada seorang perempuan masih berdegup sangat kencang sampai saat ini. Dia masih bersandar di lorong sepi sendirian. Memandang tangannya yang baru saja menyentuh dahi yang begitu bersih dan putih. Menatap wajah lelaki tampan yang begitu mulus bak jalan tol dalam jarak dekat.
Dia teringat ketika dia melakukan pertolongan kepada lelaki itu. Dia terus memastikan jika lelaki itu tak membuka mata di setiap tusukan jarum dan tarikan benang yang dia lakukan. Dia ingin memandang wajah tampan lebih lama dan lebih dekat. Wajah yang dulu hanya bisa dia pandang dari jauh, kini bisa dia lihat dari jarak beberapa sentimeter saja.
"Masih tetap sama. Masih sangat tampan."
...***To Be Continue****...
Komen dong ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Musniwati Elikibasmahulette
pasti salju ,dokternya
2023-09-25
1
Indrijati Saptarita
woohhh salju sdh jadi dokter...???
klu di novel cepet sekolah dokter yaa...
lanjuuuutttt....
2023-09-09
0
Medy Jmb
Dokter Salju
2023-09-08
0