5 - Kekasih

Seperti biasa, Maudy bangun pukul enam pagi. Meminum segelas air putih, gadis itu lantas bersiap-siap untuk lari.

Dia sudah menyelesaikan separuh rute saat merasa dirinya seperti diikuti seseorang, seperti diperhatikan seseorang.

Maudy memperlambat ritme lari, beberapa detik kemudian langsung berbalik ke belakang dengan cepat.

"Akh!" ringis Maudy, terkejut. Hampir menabrak dada bidang seseorang.

Gadis itu lantas mendongak, melihat wajah pria yang hampir bertabrakan dengannya.

David!? Tetangganya!

"Apa aku mengejutkanmu?" tanya pria berkaus putih dan bercelana training pendek tersebut.

"Ya," jawab Maudy jujur. Jelas dia terkejut dengan kehadiran pria itu.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu," ujar pria itu dengan ekspresi merasa bersalah.

"Hmmm ... baiklah," jawab Maudy seperlunya kemudian kembali berbalik dan melanjutkan lari.

Di belakang Maudy, David tersenyum. Pria itu lantas kembali berlari, mengejar Maudy, menyejajarkan langkah mereka.

Maudy menyadari kehadiran David di sebelahnya, hanya saja gadis itu tidak terlalu peduli, dia hanya fokus pada larinya saja.

David cukup tahu, Maudy tidak suka terlalu banyak bicara. Jadi, dia hanya diam, mengikuti ritme berlari gadis itu agar tetap sejajar dengannya.

Di sebuah taman tidak jauh dari gedung rusun mereka, Maudy memperlambat langkah. Gadis itu lantas berjalan menuju kursi taman, duduk di sana, beristirahan sejenak.

David yang sejak tadi di sebelahnya masih terus mengikuti.

"Apa aku boleh duduk di sebelahmu?" tanya pria itu tidak langsung duduk.

Maudy mengangguk. Sibuk mengelap keringat di wajah menggunakan handuk kecil di leher.

Setelah duduk, David terus memperhatikannya, membuat Maudy tidak nyaman dengan tatapan pria itu.

"Berhenti menatapku, tetangga," ujar Maudy tanpa menoleh ke arah David.

David tersenyum tipis, langsung mengalihkan pandangan ke depan.

Beberapa saat, hening di antara mereka.

"Kau sengaja mengikuti ku?" tebak Maudy membuat David terkejut.

Dengan cepat, pria itu kembali menormalkan ekspresi wajah. "Apa terlalu kentara?" tanya pria itu. Maudy cukup peka, tidak ada gunanya mengelak.

Maudy tidak langsung menjawab, gadis itu menatap kosong ke depan.

"Apapun niatmu kepadaku, lebih baik lupakan. Itu hanya akan membuat dirimu sendiri lelah," ucap Maudy masih tidak melihat ke arah David.

Sebaliknya, pria itu menatap Maudy, begitu dalam.

"Apa benar-benar tidak ada kesempatan?" tanya pria itu dengan nada getir yang coba ia sembunyikan.

"Kau tidak mengenalku. Dan memang lebih baik tidak saling mengenal," ucap Maudy datar.

David tertawa kecil. Pria itu menatap ke bawah, ke arah sepatunya sendiri.

"Kenapa? Apa aku tidak sepantas itu untuk mendekatimu?"

Dirinya memang tidak begitu kaya. Dia hanya karyawan biasa. Hanya mampu membeli satu rumah di rusun. Tapi, keuangannya stabil, rusun yang mereka tempati pun bukanlah sejenis rusun kumuh, hanya satu tingkat di bawah apartemen. Bersamanya, tidak akan membuat Maudy susah. Setidaknya, dia akan berusaha memenuhi kebutuhan gadis itu. Membuatnya aman dan nyaman.

"Bukan masalah pantas atau tidak. Ini lebih rumit dari itu. Kau tidak akan mengerti. Dan aku memang tidak berencana untuk membuatmu mengerti." Kali ini, Maudy berkata sembari menatap David. Dia tahu, pria ini tulus. Terpancar jelas dari tatapannya. Tapi, sekali lagi, dia belum siap menerima siapapun hadir dalam hidupnya.

"Masih banyak perempuan baik di luar sana. Jangan aku," gumam gadis itu lantas bangkit. "Jangan menyusahkan dirimu sendiri, David," lanjut gadis itu kemudian berlari. Meninggalkan seorang pria lagi yang patah hati.

***

Di dalam lift rumah mewah miliknya, Max bersenandung ria. Suasana hatinya sedang baik. Bagaimana tidak, dia baru saja menemukan akun sosial media milik gadis itu. Meski akunnya dikunci dan dirinya belum diterima untuk mengikuti, tapi tetap saja hal itu membuat Max senang. Ini seperti dia selangkah lebih dekat dengan gadis itu.

Ya, walau sebenarnya dia belum yakin seratus persen kalau akun ini milik gadis itu. Dari nama akunnya sih, benar.

@Maudy_Ra

Tapi, tidak ada profil yang menunjukkan wajah gadis itu. Hanya sketsa seorang perempuan yang duduk sendirian di atas batu yang menjadi profil di akun itu. Suasana di foto itu pun terasa hampa, cukup mengingatkan dirinya akan sosok gadis berkaca mata itu.

TING!

Pintu lift terbuka. Max tiba di lantai dasar rumahnya.

"Kakek!?" Pria itu nyaris terperanjat. Dia tidak menduga akan ada seseorang yang berdiri tepat di depan liftnya, terlebih itu kakeknya.

"Dasar anak kurang ajar! Menghilang berminggu-minggu ternyata kau hanya bersantai di rumahmu!" hardik pria berusia tujuh puluh enam tahun itu. Dia mengarahkan ujung tongkat di tangan ke arah Max, bersiap memukulkan benda itu ke tubuh cucunya.

Max panik. Pertama, dia harus menghindari tongkat keramat kakeknya itu. Jangan sampai mengenai tubuhnya. Apalagi sampai mengenai bekas operasi yang baru mengering di perutnya.

"Sabar, kakek. Sabar," ujar Max. Menjulurkan kedua tangan ke depan sebagai perisai jika sewaktu-waktu kakeknya melayangkan pukulan padanya.

Perlahan, Max keluar dari dalam lift. Masih memperhitungkan jarak aman dari sang kakek.

"Aku hanya ingin bertemu denganmu! Kenapa kau tidak merespon satu pun panggilan dan pesanku!?" seru sang kakek masih dengan nada mengamuk.

"Bukan maksudku mengabaikan kakek. Hanya saja ... hanya saja ...," Max mencari-cari alasan. Dia tidak bisa berterus terang jika alasannya menghilang dan menghindar selama beberapa minggu ini adalah karena dirinya hampir menjadi korban pembunuhan. Dia bersembunyi dan menghindar hanya untuk memulihkan kondisinya. Dia tidak ingin ayah atau pun kakeknya tahu. Bisa-bisa dia kembali dipaksa untuk ditemani banyak bodyguard ke mana pun seperti dahulu.

"Hanya apa, bocah sialan!?" sang kakek hendak memukul bahu Max dengan tongkat, beruntung pria itu dengan sigap menghindar. "Hanya karena kau tidak ingin dijodohkan!? Hanya karena itu, heh!?"

Aryadi, kakek Max, terus berusaha memukul dirinya dengan tongkat. Dan lagi-lagi, Max dapat menghindarinya.

Max hanya tertawa kecil sebagai respon dari pertanyaan sang kakek sebelumnya.

"Dasar anak, bodoh! Aku menyerah padamu. Sia-sia saja aku menghabiskan tenaga untukmu." Merasa lelah, kakeknya memilih berhenti mengejar Max. Dia memilih untuk duduk di sofa yang ada di sana.

Max menghela napas lega. "Tolong bawakan jus jeruk segar pada kakek. Seperti biasa, no sugar no ice," bisik Max pada pelayan yang bersiap tidak jauh dari mereka.

"Baik, tuan," ucap pelayan itu langsung melaksanakan tugas dari sang majikan.

Max kemudian bergabung dengan sang kakek. Duduk di sofa, namun memilih tempat paling jauh dari jangkauan sang kakek. Takut tiba-tiba digeplak kalau terlalu dekat.

Sang kakek hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Max yang masih seperti anak-anak padahal tahun ini sudah akan menginjak usia dua puluh enam tahun. Lihat saja, Max hanya senyam-senyum tidak jelas di sana.

"Kapan kau akan dewasa, Max?" tanya sang kakek kali ini dengan nada lebih serius.

"Aku sudah dewasa," jawab Max cepat, penuh percaya diri.

Kakek Max menggeleng. "Aku tidak melihat sedikit pun kedewasan dalam dirimu."

"Bukankah hingga saat ini aku mengurus perusahaan dengan baik?" Max berbangga diri.

Kakek Max kembali menggeleng, menghela napas dalam.

Pelayan datang, menyajikan minuman yang Max minta.

"Mengurus perusahaan dengan baik tidak serta merta membuatmu menjadi dewasa, Max," lanjut sang kakek setelah pelayan yang menyajikan minum undur diri.

"Lalu?"

"Usiamu sudah matang. Sudah waktunya kau untuk menikah."

Max memijit pelipis. Itu lagi. Itu lagi. Ujung-ujungnya masalah pernikahan yang dibahas.

"Aku masih sangat muda, kek. Baru dua puluh lima tahun. Masih terlu dini untuk menikah," sanggah Max.

"Lebih tepatnya dua puluh enam tahun. Dua bulan lagi ulang tahunmu."

Max menghela napas dalam. Sangat sulit untuk bisa menang berdebat dengan kakeknya.

"Ya, baiklah. Dua puluh enam tahun. Itu pun masih sangat muda untuk menikah."

"Siapa bilang. Kakek saja menikah pada usia dua puluh tahun."

Lagi, Max memijit pelipis. Kepalanya tiba-tiba terasa pusing. "Zaman sudah berubah, kek. Sekarang, usia tiga puluh tahun pun masih waktu yang tepat untuk menikah." Lagi, Max mencoba membantah ucapan kakeknya.

"Apalagi sih yang kau tunggu? Kau pria mapan, apa salahnya menikah cepat? Kau tidak punya mempelai? Omong kosong! Leana sudah setuju menikah denganmu."

Max cukup terkejut dengan penuturan sang kakek. Leana setuju?

Terakhir yang Max tahu, gadis itu juga enggan menerima perjodohan ini, sama seperti dirinya.

"Dia setuju?" Max ingin memastikan.

Sang kakek mengangguk dengan wajah riang.

"Sekarang kau sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pernikahan ini." Aryadi merasa menang. Dia sudah mulai membayangkan bagaiman pesta pernikahan Max nantinya. Yang lebih jauh, dia juga sudah mulai membayangkan bagaimana lucunya anak dari cucunya itu nanti.

"Tapi, aku tidak memiliki perasaan apapun pada Leana, kek."

Seperti kata Victor, Leana memang gadis yang cantik, baik, berpendidikan, tipe-tipe perempuan kelas atas yang elegan. Tapi, Max tidak merasakan ketertarikan dalam hal asmara pada gadis itu.

Aryadi tertawa. "Cinta bisa tumbuh seiring kebersamaan kalian."

Alasan klasik.

Max tersenyum, dia seperti mendapatkan ide.

"Kakek hanya ingin melihatmu menikah sebelum kakek dipanggil, cucuku," ungkap sang kakek tiba-tiba emosional. Dia pura-pura batuk untuk mendramatisi keadaan. Padahal, kondisi fisik dan jiwanya sehat. Meski sudah berumur, tetapi kakek Max termasuk lansia yang bugar.

Max tahu kakeknya berpura-pura. Hanya untuk menarik simpati darinya.

"Sebenarnya ... aku memiliki kekasih, kek." Kalimat itu meluncur mulus dari mutut Max, tidak bisa ditarik lagi.

Aryadi yang baru saja menenggak jus jeruknya hampir tersedak.

"Kau serius!?" Pria tua itu bertanya heboh. Dia meletakkan gelas ke atas meja cukup keras.

Dengan ekspresi meyakinkan, Max mengangguk.

"Siapa? Berapa usianya? Dia dari keluarga apa?" tanya sang kakek beruntun. Antara percaya dan tidak percaya mengingat Max tidak pernah terlihat dengan perempuan manapun.

Max tiba-tiba memasang eksresi sedih. "Itu dia, kek. Dia berasal dari keluarga sederhana. Aku takut keluarga kita tidak akan merestui hubungan kami. Itu sebabnya aku menyembunyikan hubungan kami selama ini." Max nyaris menangis guna meyakinkan sang kakek.

Sang kakek menatap Max dalam, mencoba mendeteksi kebenaran dari ucapan cucunya.

Max tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Dengan cepat menghampiri sang kakek, berlutut di hadapan sembari menggenggam lembut tangannya.

"Tapi, dia adalah gadis yang baik. Kami saling mencintai, kek. Awalnya, aku ingin menyembunyikan hubungan ini dalam waktu yang lama. Tapi, kakek terus mendesakku untuk menikahi perempuan lain, mau tidak mau, aku harus mengungkap hubungan kami sekarang juga."

Melihat sang cucu yang nampak rapuh membuat Aryadi tidak tega. Dia pernah di posisi itu, begitu mencintai seseorang tapi harus dilepas karena desakan keluarga. Dia mengerti rasanya. Jadi, dia tidak ingin Max merasakannya juga. Jadi, dia berniat untuk memberi kesempatan.

"Kau yakin dia perempuan yang baik?"

Max mengangguk cepat.

"Kau begitu mencintainya?"

Max mengangguk lagi. Begitu meyakinkan.

Aryadi menghela napas dalam. "Baiklah, kakek akan memberimu kesempatan. Paling lama satu minggu dari sekarang, bawa dia bertemu dengan kakek. Kakek juga ingin ikut menilai apakah dia sebaik itu untuk masuk ke dalam keluarga kita."

"Se-seminggu, kek?" Max memastikan. Tidak tahu harus senang atau sedih.

Sang kakek mengangguk.

"Sepertinya itu terlalu cepat."

"Atau kau ingin secepatnya menikah dengan Leana?" Aryadi memberi opsi lain.

Max cepat-cepat menggeleng.

"Jadi, sudah disepakati. Satu minggu dari sekarang, bawa dia bertemu dengan kakek," putus Aryadi mutlak. Tidak bisa dibantah.

Mau tidak mau, Max menyetujui.

"Ngomong-ngomong, siapa nama perempuan itu? Siapa nama perempuan yang akan jadi calon cucu menantuku?" tanya Aryadi kali ini dengan nada dan tatapan lembut.

Sudah sejauh ini, Max tidak bisa mundur.

"Maudy, kek. Nama lengkapnya Ratu Maudy. Tahun ini usianya dua puluh tiga tahun." Nama itu meluncur begitu saja dari mulut Max.

Aryadi mengangguk mengerti. "Namanya bagus. Kakek harap sifat dan rupanya sebagus namanya," ucap pria itu mengelus rambut Max.

Max diam, tidak lagi menjawab ucapan kakeknya.

Tidak lama, sang kakek bangkit.

"Kakek menunggu kedatangan kalian, Max," ucap pria itu kemudian pergi.

Max hanya bisa mematung menatap punggung sang kakek yang menjauh.

Apa yang sudah ia lakukan?

Kenapa dia harus mengatakan semua itu pada kakeknya?

Sekarang, bagaimana caranya dia bisa membawa gadis itu kepada kakeknya dalam waktu sesingkat itu?

Mengingat sifat gadis itu yang keras, tentu hal ini tidak akan mudah.

Max memukul dahinya sendiri.

Max ... Max ... Cari penyakit saja.

***

Terpopuler

Comments

Asngadah Baruharjo

Asngadah Baruharjo

wa ha ha 🤣🤣🤣,max aku mendukungmu

2023-10-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!