3 - Diblokir

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Cobalah beberapa saat lagi ...

"Bagaimana?" tanya Max pada Victor yang berdiri di hadapan.

Victor menggeleng, kecewa. "Tidak bisa dihubungi lagi. Sepertinya nomorku sudah diblokir."

"Yah ..." Max terdengar lebih kecewa lagi. "Coba pakai nomorku," pinta Max sembari menyodorkan ponsel pada Victor.

Pria itu segera mengambil ponsel dari tangan Max dan mencoba menghubungi gadis bernama Maudy itu lagi.

"Panggilannya tersambung," beritahu Victor pada Max. Hal ini membenarkan jika gadis bernama Maudy itu memang telah memblokir nomor Victor.

Max menatap Victor yang mencoba menghubungi Maudy dengan harap-harap cemas.

"Bagaimana? Diangkat?" tanya Max.

Lagi, gelengan kepala Victor membuat dirinya kecewa.

"Sepertinya, gadis itu memang bukan tipe orang yang bisa diganggu. Sepertinya, kau harus menyerah Max," ujar Victor.

"Enak saja! Tidak ada kata menyerah di dalam kamus seorang Maxime Dewanggara! Aku pasti bisa mendapatkannya, lihat saja nanti," tegas Max optimis.

"Baiklah, baiklah. Aku memercayaimu, Max. Semoga kamu berhasil dengan apapun usahamu itu," ucap Victor tidak ingin meruntuhkan kepercayaan diri teman sekaligus atasannya itu. Dia kemudian mengembalikan ponsel milik Max kepada pemiliknya. Mengambil jas yang ia letakkan di atas meja kemudian mengenakannya.

"Mau ke mana?" tanya Max.

"Tentu saja bekerja. Melihat kondisimu sekarang membuat pekerjaanku bertambah berkali-kali lipat. Ditambah aku tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada ayah dan kakekmu. Jadi, aku juga harus menghandle pekerjaanmu yang terbengkalai di kantor, tuan muda," ucap Victor seolah telah menjadi orang paling dirugikan atas kejadian yang menimpa Max.

"Saya permisi, tuan muda," lanjut Victor sedikit membungkuk ke arah Max, dia sengaja menambah penekanan pada kalimat tuan muda.

"Dasar! Tenang saja, aku akan memberikan bonus yang besar padamu," ucap Max sedikit berteriak sebelum Victor benar-benar meninggalkan kamar.

"Oh ... saya sangat menantikannya, tuan muda," sahut Victor tanpa menoleh ke arah Max.

Max hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Victor. Meski sifatnya kurang ajar seperti itu, tapi dia adalah sahabat sekaligus rekan kerja yang sangat berharga bagi Max. Mereka sudah saling mengenal sejak kuliah. Sudah banyak hal yang mereka lewati bersama. Sejauh ini, Victor adalah orang yang paling ia percaya. Bahkan, dia lebih percaya kepada Victor dibanding ayah dan kakeknya.

Max mencoba menghubungi nomor gadis itu lagi. Bagaimana pun, keinginannya untuk bertemu lagi dengan gadis itu semakin lama semakin besar.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area. Cobalah beberapa saat lagi ...

"Sial! Apa nomor ini diblokir juga?" gumam Max tidak habis pikir dengan jalan pikiran gadis itu. Dia mencoba menghunginya lagi, namun lagi-lagi suara costumer service yang ia dengar.

"AKH!!" Max nyaris berteriak dan melempar ponselnya.

Kenapa? Kenapa gadis itu sangat sulit untuk diajak bertemu? Jangankan bertemu, untuk sekadar dihubungi saja sesulit ini. Apakah dia memang orang sesibuk dan sepenting itu? Batin Max terus bertanya-tanya.

"Bagaimana pun, aku harus segera menemuinya," gumam Max. Dia bisa mati penasaran jika lama-lama seperti ini. Dia harus segera bertemu gadis itu dan menggali semua misteri tentangnya.

"Maudy ... Nama yang bagus. Maudy ...," Max terus menggumamkan nama gadis itu. Setidaknya dia sudah tahu nama gadis itu. Untung saja dokter yang merawatnya di rumah sakit memberitahu dirinya nama gadis itu.

Apakah dia harus kembali ke rumah sakit itu untuk menggali lebih dalam mengenai gadis bernama Maudy itu?

***

"Terima kasih sudah berbelanja di butik kami. Kami menunggu kedatangan anda kembali," ucap Maudy ramah memamerkan senyum termanis kepada sepasang kekasih yang telah membeli dua dress dengan harga cukup fantastis di butik mereka.

Namun, beberapa detik setelah pelanggan itu pergi ekspresi wajah Maudy kembali datar. Tanpa banyak bicara dia menuju ke rak dress untuk membereskan susunan yang cukup berantakan. Sejauh ini, belum ada pelanggan yang memasuki toko mereka lagi.

Anya. Salah satu rekan kerja, menghampiri dirinya.

"Kak Maudy hebat banget bisa jual dua dress mahal itu ke pasangan tadi," celetuk Anya seolah memuji.

"Kenapa hebat?" tanya Maudy dengan kening sedikit mengerut, sementara tangannya tetap lincah membereskan tatanan dress di depan.

"Ya, hebat aja. Secara ceweknya itu loh, ribet banget, galak, manja. Berbelit-belit, enggak tahu maunya apa. Kak Maudy sabar banget ngehadapinnya. Untung jadi beli. Kalau enggak, sia-sia kakak udah bongkar sana bongkar sini tapi ujung-ujungnya enggak jadi."

Maudy menghentikan kegiatannya sebentar, menatap Anya yang juga sedang menatap dirinya.

"Enggak ada yang hebat, Anya. Itu memang tugas kita sebagai pegawai di butik ini. Juga, enggak ada perkerjaan yang sia-sia. Jikalau pun mbak tadi enggak jadi beli, ya itu hak dia. Tugas kita ya, hanya melayani," jelas Maudy dengan nada rendah. Anya baru bekerja selama satu bulan, juga baru lulus dari sekolah menengah atas. Mungkin, dia belum tahu bagaimana dunia kerja berjalan. Maudy ingin memberitahunya pelan-pelan. Tanpa membuat gadis itu tersinggung apalagi berkecil hati.

"Begitu ya, kak, heheh ... Maaf ya, kalau Anya ada salah ngomong," ucap gadis itu pelan, sinar matanya sedikit meredup . Sepertinya dia sadar kalau tidak seharusnya dia berkata seperti itu, apalagi itu menyangkut costumer mereka. Orang yang secara tidak langsung ikut berpartisipasi dalam menggaji mereka.

Maudy tersenyum tipis, berniat menghibur. "Ya sudah, yang penting jangan diulangi. Bentar lagi toko tutup. Mending bantuin kakak beres-beres dress ini," ucap Maudy.

Anya mengangguk cepat. Dia langsung membantu Maudy membereskan barang-barang sisa pelanggan tadi.

Tepat pukul tujuh malam, butik mereka tutup. Maudy dipercaya untuk menyimpan kunci toko. Dia sedang mengunci pintu saat tiga rekannya yang lain menghampiri untuk pamit pergi terlebih dahulu. Maudy hanya mengangguk. Toh, dia juga akan selesai.

Setelah memastikan semua aman, Maudy melangkah. Awalnya, dia ingin langsung ke parkiran untuk mengambil mobil, namun dia tiba-tiba kepikiran untuk pergi ke mall besar yang berada tepat di depan bangunan butik mereka. Dia berencana membeli komik Jepang terbaru. Stok komik yang belum dibaca di rumah sudah habis. Ini waktunya untuk membeli komik-komik lainnya.

Sekitar lima belas menit, Maudy sudah tiba di toko buku dalam mall. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu mulai memutari rak buku komik. Mencari-cari judul yang ia inginkan.

Ketemu.

Maudy hendak mengambil komik itu, sedikit lagi tangannya menyentuh komik itu, tangan seseorang terlebih dahulu mengambilnya.

Maudy menoleh cepat ke arah orang yang terlebih dahulu mengambil komiknya.

Deg!

Tertegun.

Orang yang mengambil komiknya adalah tetangga samping rumah yang sampai saat ini belum ia ketahui persis siapa namanya.

Pria itu juga terkejut melihat Maudy.

"Eh, mbak Maudy. Suka baca komik juga, mbak?" tanya pria itu. Pakaiannya masih sama dengan yang ia kenakan tadi pagi saat berpapasan dengan Maudy, meski sekarang pakaian itu sedikit lebih berantakan dibanding tadi pagi.

Pria ini ... tahu namanya?

Maudy jadi tidak enak. Bagaimana perasaan pria ini jika tahu kalau Maudy tidak tahu namanya padahal sudah satu tahun bertetangga?

Maudy tersenyum tipis, mencoba melawan rasa canggung. "Iya, mas," jawab Maudy singkat tanpa menyebut nama pria itu.

Bagaimana mau menyebut, dia sendiri tidak tahu nama pria itu.

"Mbak tadi mau ngambil komik ini juga, ya?" tanya pria itu menampilkan komik di tangan.

Maudy mengangguk.

"Untung stoknya masih banyak, jadi kita enggak perlu rebutan," ungkap pria itu dengan sedikit nada bercanda.

Pandangan Maudy tiba-tiba mengarah pada kartu karyawan yang menggantung di leher pria itu. Maudy mecoba melirik namanya diam-diam.

Da-Da ... David ... Ar ... data. Akh! Nama pria ini David Ardata, toh! Seru Maudy dalam hati, sedikit lega karena sudah tahu nama tetangganya ini.

"Eh, iya, Mas David. Untung stoknya masih banyak," jawab Maudy kemudian mengambil satu buah komik seri itu.

Ekspresi pria itu nampak terkejut.

"Mbak Maudy ... tahu nama saya?"

Eh?

"Hmmm ... tahulah, mas. Mas, kan, tetangga saya," ucap Maudy mencoba senatural mungkin.

"Wah!" Entah kenapa, tapi pria ini menjadi lebih antusias. "Saya pikir, selama ini cuma saya yang tahu nama mbak Maudy, sementara mbak Maudy enggak tahu nama saya."

"Kenapa masnya berpikir seperti itu?"

"Soalnya, mbak Maudy orangnya cuek banget. Kayak orang yang enggak peduli sekitar. Cenderung menghindari orang lain. Awal-awal mbak pindah di rusun, beberapa kali saya ingin mencoba berkenalan. Tapi, selalu saja gagal karena mbak seperti menghindar."

"Hah?" Maudy bengong. Dia tahu dan sadar. Apa yang pria itu katakan memang benar. Dia memang orang yang seperti itu. Namun, mendengar secara langsung bagaimana dirinya dari mulut orang lain rasanya sedikit aneh.

Pria itu seperti baru menyadari perkataannya. "Aduh, maaf mbak Maudy. Kayaknya saya terlalu banyak ngomong. Maaf kalau perkataan saya sebelumnya menyinggung mbak Maudy."

Maudy tidak merespon selama beberapa saat. Hal itu membuat ekspresi di wajah pria itu seperti semakin merasa bersalah.

Maudy tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat.

"Enggak masalah kok, mas. Masnya enggak salah. Saya memang orang yang seperti itu. Saya permisi dulu, mas," ucap Maudy segera pergi dari tempat itu menuju kasir.

Entah mengapa, mendengar ucapan terakhir Maudy, bukannya membuat David lega. Malah semakin merasa bersalah.

Apa ucapannya keterlaluan?

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!