Tidak membutuhkan waktu lama, Victor sudah tiba di rumah sakit Setia Kasih. Dia segera bergegas menuju resepsionis untuk menanyakan letak ruangan tempat Max dirawat. Awalnya petugas tidak menemukan pasien atas nama Maxime Dewanggara. Lalu, Victor teringan dengan perkataan wanita yang menghubunginya tadi. Wanita itu berkata bahwa Max dirawat dengan nama Jerome.
Barulah setelah Victor menyebut nama Jerome, kamar tempat Max dirawat ditemukan. Dia segera bergegas ke ruangan yang dimaksud.
"Astaga, Max!" keluh Victor setelah tiba di ruangan itu dan melihat keadaan Max. "Apa yang terjadi padamu?"
"Akh! Akhirnya kau tiba. Bisakah kau mengurus kepulanganku? Aku tidak betah jika berlama-lama di rumah sakit."
Bukannya menjawab pertanyaan Victor, Max malah langsung menghujani pria itu dengan sebuah tugas.
Victor berdecak. "Setidaknya, ceritakan dulu apa yang terjadi! Kau bahkan tidak tahu bagaimana khawatirnya orang-orang setelah mendengar berita kehilanganmu, kan?" omel Victor.
Max memasang wajah seolah tidak peduli. "Nanti saja aku ceritakan. Yang penting sekarang adalah, aku baik-baik saja dan aku ingin pulang. Aku ingin dirawat di rumah saja. Atmosfer rumah sakit benar-benar tidak cocok untukku," ujar Max keras kepala.
Victor menghela napas dalam. Berdebat pun tidak ada guna. Jika sudah menginginkan sesuatu, tidak ada orang yang bisa menghalangi seorang Tuan Muda Maxime Dewanggara.
"Baiklah, aku akan mengurus semuanya. Tapi, aku harus tetap berbicara dengan dokter mengenai kondisimu yang sebenarnya."
Max mengangguk, setuju.
"Oh ya, jangan sampai papa atau pun kakek tahu mengenai kondisiku yang sebenarnya. Jika mereka bertanya, bilang saja aku memang sengaja menghilang karena menolak perjodohan dengan Leana."
"Kamu yakin menolak perjodohan itu?" tanya Victor memastikan. Dia masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang di hadapannya ini. Leana itu sudah cantik, berpendidikan, baik, dari keluarga terpandang yang sudah pasti bisa membantu segala sesuatu dalam bisnis yang dijalankan oleh keluarga Dewanggara.
Max mengangguk mantap.
"Kenapa? Pasti ada alasannya?" tanya Victor penasaran. "Seorang pria normal pasti akan sangat sulit untuk menolak pesona seorang Leana Adiwijayanagara," lanjut Victor tegas.
Max menatap Victor tajam. "Maksudmu ... aku bukan pria normal karena menolaknya?"
"Aku tidak berkata seperti itu, ya. Kau yang mengatakannya sendiri," jawab Victor seolah membenarkan kalimat Max bahwa pria itu tidak normal.
Ekspresi Max berubah datar. "Sudahlah, tidak ada gunanya membahas hal itu denganmu."
Victor tertawa jenaka. "Aku hanya bercanda."
"Aku tahu," jawab Max menyandarkan diri lebih nyaman di kepala ranjang lalu memejamkan mata.
Victor menatap sekeliling, seperti mencari seseorang. "Ngomong-ngomong, di mana wanita yang menghubungiku tadi? Kenapa tidak terlihat?"
Mendengar itu, Max kembali membuka mata. Pria itu menghela napas berat, seolah ada beban yang sangat berat yang menimpa hatinya.
"Entahlah, aku sendiri bingung," gumam Max.
Ekspresi pria itu terlihat nelangsa. Victor menjadi tertarik. Seperti ada sesuatu di sini.
"Kenapa bingung?" pancing Victor.
Max kembali menegakkan badan. Dia menatap Victor dengan ekspresi serius. Victor menjadi semakin penasaran dengan kalimat yang akan pria itu ucapkan.
"Bagaimana menurutmu? Ada seorang wanita asing yang menyelamatkan mu. Dia membawamu ke rumah sakit dan mengurus semua hal agar bisa menyelamatkanmu. Tapi, begitu kau sadar dan memastikan dirimu baik-baik saja, dia malah pergi bahkan tanpa memperkenalkan nama sama sekali. Dia bahkan menolak untuk bertemu lagi." Max kembali mendengus. "Aneh, bukan?"
Victor diam sebentar, mencerna kalimat Max dulu.
"Cukup aneh, sih. Tapi bisa saja dia memang tipe orang yang suka menolong tanpa pamrih. Atau bisa jadi dia tipe orang yang malas berurusan dengan orang lain. Atau ... dia adalah seseorang yang sangat sibuk? Tapi ... entahlah, kenapa aku jadi ikutan pusing memikirkan sosok wanita itu?"
Victor menggaruk kepala yang tak gatal.
Max seperti mendapat pencerahan setelah mendengar kalimat terakhir Victor. Pria itu tiba-tiba menatap Victor dengan tatapan berbeda. Jenis tatapan yang belum pernah Victor lihat sebelumnya dari Max.
"Ada apa denganmu? Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Victor heran sekaligus wanti-wanti jika Max melakukan sesuatu hal yang aneh. Bisa saja insiden yang menimpa Max sudah mengubah pria itu menjadi seseorang yang bisa berbuat hal di luar nalar.
"Tentu saja kau harus ikut pusing memikirkan wanita itu," ucap Max tiba-tiba.
Mata Victor berkedip cepat beberapa kali. "Maksudnya?"
"Ya, kamu juga harus ikutan pusing memikirkan wanita itu. Lebih tepatnya harus ikutan pusing mencari keberadaannya. Aku ingin segera bertemu lagi dengannya," ucap Max lebih jelas.
"Kenapa? Kenapa aku harus mencarinya? Dan kenapa kau harus bertemu lagi dengannya?" Victor tidak terima. Selain aneh, dia juga tidak ingin menambah-nambah pekerjaannya yang sudah banyak.
"Kenapa kau harus mencarinya? Karena kau adalah asistenku. Sebagai asisten yang baik kamu harus menuruti perintah dari atasanmu, bukan?" jelas Max memanfaatkan posisi di saat-saat seperti ini.
Ingin rasanya Victor berkata kasar, namun apa daya, dia hanyalah seorang pegawai yang memang harus menjalankan perintah bosnya.
"Benar sekali." Victor tersenyum pasrah. "Tapi, apa alasanmu ingin bertemu lagi dengan wanita itu? Bukankah sudah jelas kalau wanita itu tidak ingin bertemu denganmu lagi?"
Max terlihat gelagapan untuk menjawab, Victor menjadi curiga.
"Ya ... tentu saja untuk berterima kasih. Untuk apalagi?" jawab Max berusaha tegas.
Tapi, Victor mencium alasan lain.
"Benarkah? Bukan karena ada maksud lain?" pancing Victor sembari mengedipkan mata beberapa kali guna menggoda Max.
"Alasan apa maksudmu? Sudahlah, aku ingin istirahat. Lebih baik kamu segera mengurus kepulanganku. Paling lama besok, aku sudah harus ada di rumah," tegas Max. Tapi, seperti menghindar dari pertanyaan sebelumnya.
Victor akhirnya mengalah. "Baiklah, baiklah. Silahkan istirahat tuan muda. Asisten mu ini akan mengurus semuanya."
Max kembali menyamankan diri di ranjang. Menguap, dia memberi kode agar Victor segera keluar dari kamarnya.
Victor menatap Max sinis. "Iya, iya. Aku keluar."
Max tersenyum. Pria itu memejamkan mata setelah memberi kode berupa jempol kanan pada Victor.
***
Seperti biasa, Maudy bangun pukul enam pagi. Tidak langsung membereskan tempat tidur, gadis itu malah meraih ponsel di atas nakas dan memeriksa apakah ada notifikasi penting yang masuk.
Sembari memeriksa ponsel, gadis itu berjalan menuju dapur. Mengambil air putih, gadis itu lalu duduk di kursi makan. Meminum satu gelas air putih dalam tiga kali tegakan saja, lalu membalas sebuah pesan dari salah satu rekan kerjanya di butik.
Selesai dengan masalah ponsel. Gadis itu kembali ke kamar. Mengganti pakaian tidur dengan pakaian olahraga, juga mengenakan sepatu. Gadis itu mempunyai kebiasaan baru, yaitu lari minimal lima kilometer setiap pagi. Katanya, olahraga itu bagus untuk orang insomnia.
Setelah mengunci rumah, Maudy memasang headphone di telinga kemudian mulai berlari. Menuruni satu demi satu anak tangga. Lari gadis itu semakin cepat begitu kakinya menginjak tanah.
Hal yang paling gadis itu sukai ketika berlari adalah, pikirannya yang selalu penuh bisa menjadi kosong. Dia menjadi lebih fokus pada setiap langkah, jalanan di depan, juga deru napas. Musik yang ia dengarkan mengisi sedikit kekosongan. Dengan fokus berlari, gadis itu bisa melupakan semua masalahnya sejenak.
Tidak terasa, dia sudah berlari sejauh lebih dari tiga kilometer dalam waktu setengah jam. Dia segera memutar arah kembali ke rumah. Dia harus sampai di rumah dalam waktu setengah jam. Dia masih harus memasak dan membereskan beberapa pekerjaan rumah lainnya sebelum berangkat bekerja pukul sembilan nanti karena butik tempat ia bekerja buka pada pukul sepuluh pagi.
Maudy tiba di depan gedung rumah susun tepat waktu. Dia menatap tangga panjang yang seperti tidak memiliki ujung di hadapan. Gadis itu menghela napas, meski lelah tapi tidak masalah. Kakinya sudah terbiasa melangkah naik turun setiap hari ke lantai tiga gedung, tempat rumahnya berada.
Dirinya sudah menginjak anak tangga terakhir, dia juga sudah melihat rumahnya di ujung sana. Maudy mengurangi kecepatan berjalan ketika melihat pintu tetangga sebelahnya terbuka. Tidak lama, sesosok pria tinggi berkulit cerah keluar dari sana. Mengenakan pakaian rapi, pria itu sepertinya hendak pergi bekerja.
"Pagi," sapa pria itu dengan senyuman canggung di bibir.
"Pagi," balas Maudy tanpa senyum sama sekali.
Biasalah, hanya basa-basi antara tetangga yang tidak akrab.
Mungkin Maudy terkesan sombong. Namun, begitulah dirinya, tidak biasa mengulas senyuman palsu pada orang-orang. Senyuman manisnya hanya dapat kalian lihat ketika ia melayani costumer saat ia bekerja. Itu pun bukan senyuman yang tulus karena ia melakukannya hanya karena tekanan pekerjaan. Hal itu juga yang membuat stok senyumannya habis untuk orang-orang di luar pekerjaan.
Ponsel Maudy berdering begitu tiba di dalam rumah. Sebuah nomor asing yang tidak dikenal, tapi kombinasi nomornya terasa familiar. Awalnya, dia ingin mengabaikan panggilan itu saja, namun setelah berpikir sebentar, gadis itu akhirnya memilih untuk mengangkat. Toh, jika orang yang meneleponnya itu bukanlah seseorang yang penting bagi dirinya, dia bisa langsung mematikan sambungan telepon.
"Halo?" jawab Maudy dengan nada dingin seperti biasa.
"Benar ini dengan Nona Maudy?" tanya seseorang di seberang sana.
Ada jeda beberapa saat hingga Maudy menjawab. "Benar."
"Wah, perkenalkan, saya Victor, asisten tuan Maxime Dewanggara. Tentu nona masih ingat dengan nama itu, kan?" Suara di seberang sana terdengar antusias.
"Hmm ... ya," jawab Maudy singkat. Dia memang mengingat nama itu, tidak mungkin ia lupa dengan seseorang yang ia tolong setelah dibuang dan nyaris meninggal di depan matanya sendiri.
"Begini nona, jika nona berkenan, tuan Max ingin bertemu dengan anda. Apakah anda bisa meluangkan sedikit waktu nona untuk bertemu?"
"Tidak. Saya sibuk," jawab Maudy singkat, padat, dan jelas.
Terdengar dehaman canggung di seberang sana. "Begini nona, tuan Maxime hanya ingin mengucapkan terima kasih dan memberi sesuatu kepada nona sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada nona."
"Maaf, bukan saya bermaksud lancang menolak niat baik kalian. Tapi, saya rasa saya sudah mengatakan dengan jelas bahwa saya tidak bisa. Untuk ucapan terima kasih kalian, saya menerimanya. Tapi, jika untuk bertemu, maaf saya tidak bisa. Saya sibuk," jelas Maudy kali ini dengan kalimat panjang.
"Tapi, nona—"
"Maaf, saya harap kalian tidak menghubungi saya lagi. Saya merasa tidak nyaman. Terima kasih," ucap Maudy memotong kalimat pria itu dan segera mengakhiri panggilan. Namun, beberapa detik kemudian, panggilan dari nomor itu datang lagi. Maudy langsung mematikan panggilan itu dan memasukkan nomor itu dalam kotak hitam.
Mengubah setelan ponsel menjadi mode hening, gadis itu menyalakan musik dan bersiap-siap memasak.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Sri Bintang
😊😊😊
2023-09-06
1