I LOVE YOU TOO, MR. MAX!

I LOVE YOU TOO, MR. MAX!

1 - Awal Mereka Bertemu

Seperti malam-malam sebelumnya, mata gadis itu sulit terpejam. Bergerak gelisah di atas ranjang, gadis itu mencoba mencari posisi terbaik agar bisa segera tertidur. Namun, usahanya sia-sia. Matanya hanya terpejam. Akan tetapi tidak bisa memasuki alam mimpi sama sekali.

Tak lama gadis itu beringsut duduk. Meraih ponsel yang berada di atas nakas, memeriksa pukul berapa sekarang. Waktu menunjukkan pukul 00:23 malam.

Menyibak selimut yang menututupi kaki, gadis itu berpindah duduk di pinggir kasur. Mengusap wajah perlahan, memikirkan hal apa yang harus ia lakukan agar bisa segera tertidur. Besok, dia harus bangun pagi untuk berangkat bekerja.

Dia melirik dua botol obat tidur yang berada di meja kecil di sudut kamar. Kedua botol itu sudah kosong sejak tiga hari yang lalu. Dia tidak berniat membeli lagi. Tidak ingin ketergantungan lebih lama lagi. Dia bertekad untuk berhenti mengonsumsi obat itu.

Menghela napas berat, gadis itu bangkit, berjalan perlahan menuju beranda kamar. Mungkin, setelah melihat langit malam yang gelap dan suasana kota yang senyap, dirinya bisa segera merasakan rasa kantuk yang hebat.

Di tengah memperhatikan sekitar. Mata gadis itu menangkap pemandangan yang tidak wajar. Di bawah sana, di sebuah gang kecil, tepatnya di tempat pembuangan sampah yang sangat jarang dilewati. Gadis itu melihat dua orang pria bertubuh besar, memakai jaket kulit berwarna hitam, juga topi hitam, sedang membawa sesuatu, tepatnya ... seseorang. Tidak jelas apakah seseorang yang mereka bawa itu laki-laki atau perempuan, yang jelas seseorang itu terkulai lemas tidak berdaya di tangan kedua pria besar itu.

Gadis itu beringsut mundur ketika kedua pria besar itu melempar begitu saja seseorang itu ke sudut gang persis di samping kontainer sampah. Dia segera bersembunyi di balik pintu ketika kedua pria itu menatap sekeliling. Sepertinya untuk memastikan bahwa tidak ada saksi mata yang menyaksikan perbuatan mereka itu.

Lima menit berlalu sejak kedua pria itu pergi, gadis itu masih duduk bersandar di pintu beranda. Dia masih syok dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat.

Apakah saat ini dirinya adalah seorang saksi sebuah kasus pembunuhan?

Apa yang harus ia lakukan sekarang?

Menghubungi pihak yang berwajib? Memberi tahu tetangga yang bahkan ia sendiri tidak tahu namanya meski sudah satu tahun tinggal di rumah susun ini?

Atau ... berpura-pura tidak tahu sampai ada orang lain yang menemukan jasad orang itu?

"AKH!!! SIAL!!! Kenapa aku harus menyaksikan adegan itu, sih?" keluh gadis itu sembari mengacak rambut kasar.

Meski wajahnya terkesan ramah, namun dia adalah seseorang yang sangat malas melakukan interaksi dengan orang lain. Apalagi dengan orang-orang baru yang tidak ia kenal sama sekali.

Gadis itu bangkit. Dia sudah memutuskan, dia akan berpura-pura tidak tahu mengenai kejadian malam ini. Toh, itu bukan urusannya. Lagi pula, seseorang itu sudah meninggal, dia tidak bisa mengubahnya.

Namun, saat gadis itu melihat kembali ke arah gang sempit itu. Dia melihat seseorang itu bangkit. Besusahpayah melangkah sembari memegangi perut. Baru satu langkah dia berhasil melangkah, seseorang itu kembali terjatuh. Dia berusaha bangkit lagi, namun sia-sia, dia kembali terjatuh sebelum berdiri tegak.

Seseorang itu masih hidup?

Dengan sisa-sisa rasa kemanusian yang masih melekat di hati, gadis itu segera bergegas. Mengambil dompet, jaket, kaca mata, juga kunci mobil tua yang ia miliki. Gadis itu mengikat rambut asal, kemudian berlari, meninggalkan rumah yang berada di lantai tiga rumah susun menuju gang sempit tempat pembuangan sampah yang berjarak sekitar seratus meter dari gedung rumah susun.

Dia bertekad untuk menyelamatkan seseorang itu.

***

Mata pria itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit berwarna putih, juga dinding yang berwarna senada. Pandangannya segera menjelajah ke belbagai arah dengan awas. Tidak ada seorang pun di ruangan ini selain dirinya. Aroma tempat ini familiar. Tentu saja otaknya bisa langsung memproses dan mengetahui di mana tempat ia berada sekarang. Rumah sakit, dia berada di rumah sakit.

Tapi, siapa yang membawanya ke tempat ini?

Seingatnya, orang-orang itu membuangnya ke tempat pembuangan sampah di pinggiran kota. Mungkin mereka berpikir dirinya sudah mati setelah dipukuli habis-habisan dan ditusuk di bagian perut beberapa kali. Sebenarnya, dirinya juga berpikir demikian. Dia juga berpikir bahwa dirinya sudah pasti mati. Tapi nyatanya, dia di sini, terbaring di ranjang sebuah rumah sakit. Meski sekujur tubuhnya terasa sakit dan lemah, tapi dia masih bernapas, jantungnya masih berdetak. Dia masih hidup.

"Wah!!! Anda akhirnya sadar, tuan," ucap seorang suster yang memasuki ruangan. Di tangannya terdapat beberapa lembar kertas catatan yang diselipkan pada papan kerani. Ekspresi wajah perawat itu nampak senang sekaligus lega. "Sebentar, saya segera kembali bersama Dokter."

Suster itu kemudian pergi. Tidak lama kemudian, suster itu kembali bersama seorang dokter laki-laki dan satu suster lainnya.

Mereka langsung melakukan pemeriksaan secara intensif pada pria itu. Ekspresi wajah sang dokter nampak cerah. Puas dengan hasil pemerikasaan.

"Tuan Jerome, saya sangat bangga pada anda," ucap sang dokter usai melakukan serangkaian pemeriksaan.

Jerome? Siapa Jerome? Dirinya? Batin pria itu.

"Anda dapat bertahan setelah segala hal buruk yang terjadi pada diri anda. Itu adalah sesuatu hal yang luar biasa dan jarang saya temukan selama ini," lanjut sang dokter kemudian mengulas sebuah senyum tipis ke arahnya.

Pria itu hanya diam. Tidak merespon apapun yang dokter katakan. Sang dokter mengerti, pria ini baru sadar setelah menjalankan operasi tiga hari yang lalu.

"Saya akan menghubungi wali anda. Beliau pasti senang mendengar kabar bahwa anda sudah siuman."

Wali? Siapa? Victor? Papa? Kakek? Siapa?

***

Gadis itu sedang dalam perjalanan ke rumah sakit seusai pulang dari butik tempat ia bekerja. Ponselnya berdering, sebuah nomor asing dengan kombinasi nomor yang unik menghubungi dirinya.

Gadis itu segera mengangkat telepon sembari tetap fokus mengemudi.

"Selamat sore? Benar ini dengan Nona Maudy, wali pasien atas nama Jerome di rumah sakit Setia Kasih?"

"Sore. Benar, dengan saya sendiri," jawab Maudy santai.

"Kami ingin memberitahukan bahwa pasien atas nama Jerome telah siuman sekitar dua puluh menit yang lalu. Mungkin Nona Maudy bisa langsung menuju rumah sakit untuk melihat kondisi pasien secara langsung," ucap seseorang di seberang sana dengan nada dan intonasi profesional.

"Ah, ya. Saya segera ke sana," jawab Maudy. Meski dengan nada dingin terkesan cuek, tapi di dalam hatinya merasa lega mendengar pria itu akhirnya sadar.

Panggilan berakhir. Maudy meletakkan ponsel di dashboard. Dia memperbaiki posisi kaca mata yang sedang ia kenakan. Menaikkan tingkat kecepatan, gadis itu ingin segera tiba di rumah sakit.

***

Membuka pintu ruangan, Maudy menatap pria yang duduk bersandar di ranjang rumah sakit dengan tatapan dingin.

"Halo?" sapa Maudy begitu pandangan mereka bertemu.

Pria itu tidak menjawab, hanya menatap dirinya lekat. Dari bawah hingga atas, seperti sedang menilai seperti apa sosok dirinya.

Maudy tidak peduli dengan cara pria itu memandangnya, dia juga tidak peduli dengan apa yang sedang pria itu pikirkan tentangnya.

Tanpa basa-basi, Maudy menarik kursi dan memposisikannya tepat di sebelah ranjang, lalu dia duduk di sana.

"Saya tidak bisa berlama-lama," ungkap gadis itu dengan nada datar seperti biasa. Dia tidak berniat untuk berbasa-basi sama sekali. "Mungkin ... ada seseorang yang bisa saya hubungi untuk mengurus anda dan semua hal di sini?"

Tidak ada jawaban dari pria itu. Maudy menghela napas. Berusaha untuk tetap tenang dan bersabar. Mungkin ada yang salah dengan otak pria itu setelah kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu. Tapi, dari yang dokter katakan padanya mengenai kondisi pria ini, semuanya normal. Pria ini baik-baik saja, tidak ada organ vital atau apapun di tubuhnya yang mengalami masalah serius. Dia hanya perlu beristirahat untuk memulihkan tenaga dan mengeringkan bekas operasi di perut.

"Halo? Anda ... mendengar dan mengerti apa yang saya ucapkan, kan?" tanya Maudy.

Pria itu masih diam. Dia hanya menatap Maudy dengan ekspresi yang tidak bisa gadis itu baca.

Kehabisan kesabaran, Maudy bangkit, hendak pergi. Pria ini sudah sadar. Dia adalah seseorang yang sudah dewasa. Dia pasti bisa mengurus dirinya sendiri. Tanggungjawab Maudy sampai di sini saja.

"Baiklah kalau anda tidak ingin menjawab pertanyaan saya. Saya sudah berusaha sebaik mungkin. Anda sudah sadar dan sudah dalam keadaan baik-baik saja. Saya rasa anda sudah bisa mengurus diri anda sendiri. Saya permisi," ucap Maudy dan hendak meninggalkan tempat itu.

"Nama saya Max. Maxime Dewanggara. Usia saya 26 tahun. Bukankah kita seharusnya berkenalan dulu sebelum membahas hal yang lainnya, nona?"

Kalimat pria itu menghentikan langkah Maudy. Gadis itu segera berbalik, kembali menatap pria di atas ranjang rumah sakit. Pria itu mengulas sebuah senyuman untuknya. Meski bukan senyuman yang lebar, tapi cukup membuat hati Maudy yang selama ini dingin menjadi sedikit hangat.

"Tapi, saya tidak butuh nama anda. Saya hanya butuh kontak wali anda agar saya bisa menghubunginya."

Max tertawa renyah. Membuat Maudy bertanya-tanya hal lucu apa yang membuat pria itu tertawa.

"Adakah hal yang lucu, tuan Max?" tanya Maudy dengan kening sedikit mengerut.

Max menghentikan tawa. Tapi, ekspresi wajahnya masih nampak cerah.

"Tidak ada. Hanya saja, baru kali ini aku bertemu orang sepertimu," ungkap Max menatap takjub ke arah gadis itu.

"Apakah saya harus tersanjung atau malah terhina dengan kalimat anda barusan?" Maudy menatap pria itu tajam

Max cepat-cepat menggeleng. "Tidak, tidak, anda tidak perlu merasa tersanjung apalagi terhina. Kalimat itu lebih ke arah rasa takjub. Sepertinya, anda adalah seseorang yang tulus," jelas Max tidak ingin membuat gadis itu tersinggung.

Gadis itu hanya bergumam.

"Jadi ... ada seseorang yang bisa saya hubungi, Max?" tanya gadis itu kali ini dengan nada penekanan.

Tidak ingin menguji kesabaran gadis di hadapannya, Max segera mengangguk.

"Di mana ponselmu?" tanya Max berniat mengetik sendiri.

"Biar saya yang mengetik dan menghubunginya sendiri. Anda cukup sebutkan nomornya," ucap Maudy enggan ponselnya disentuh orang lain.

Max menurut. Dia pun menyebutkan nomor Victor, sahabat sekaligus asisten, orang paling ia percayai saat ini.

Di dering kelima, panggilan itu dijawab. Terdengar suara berat khas pria di seberang sana.

"Apa anda mengenal seseorang bernama Max ..." Maudy mencoba mengingat-ingat nama lengkap pria itu.

"Max? Maksudmu ... Maxime?" tanya pria di seberang sana seketika berubah heboh.

Maudy melirik pria yang duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit itu. Pria itu sedang menatap dirinya dengan tatapan serius.

"Iya, benar dia," ungkap Maudy.

"Di mana dia? Bagaimana keadaannya? Dan ... siapa anda?"

Maudy memutar bola mata mendengar serentetan pertanyaan dari pria itu.

"Anda tidak perlu tahu siapa saya. Dan jika ingin bertemu dengan Max, silahkan datang ke rumah sakit Setia Kasih. Dia dirawat atas nama Jerome."

"Hah? Jerome? Kenapa? Siapa anda sebenarnya? Kenapa dia dirawat di sana? Halo? Hal—"

Tut! Tut! Tut!

Tidak tahan mendengar celotehan pria di seberang sana, Maudy segera mematikan sambungan telepon. Gadis itu memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas kemudian menatap Max dengan tatapan tidak jauh berbeda dengan tatapan saat pertama masuk tadi.

"Wali anda segera datang. Kalau begitu, saya pergi dahulu."

Maudy hendak berbalik.

"Nona? Tunggu dulu!" seru Max. Dia nyaris melompat dari ranjang untuk menahan gadis itu agar tidak segera pergi. Namun, nyeri di perut menghentikan pergerakannya.

Maudy hanya menatap pria itu datar, menunggu kalimat pria itu selanjutnya.

"Saya belum tahu nama anda. Dan bagaimana cara saya membalas kebaikan, nona? Setidaknya, saya harus tahu nama nona dan beberapa informasi lain agar saya bisa membalas kebaikan nona di lain hari," ungkap Max tulus. Terpancar sebuah harap dari tatapan pria itu.

Gadis itu menggeleng. "Tidak ada lain hari tuan. Sebaiknya kita tidak bertemu lagi," ungkap Maudy dengan nada datar dan segera meninggalkan tempat itu.

"Nona? Tunggu!"

Ingin rasanya Max berlari mengejar gadis itu, tapi apa daya tubuhnya masih sangat lemah bahkan untuk sekadar bangkit berdiri.

***

Terpopuler

Comments

LISA

LISA

Aq mampir Kak..keliatannya bagus ceritanya

2023-10-18

0

Sri Bintang

Sri Bintang

Woww... sepertinya menarik 😊

2023-09-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!