Menemani

"Aneh?" Desis Lucy seraya berpikir. Dom menoleh ke arah Lucy sambil mengerutkan keningnya.

"Ada apa? Lucy, kamu tidak harus menemaniku di sini. Pulanglah!"

Lucy mengangguk pelan.

"Kamu tahu? Aku merasa aneh dengan Dokter Stella. Saat kekasihnya meninggal, dia terlihat tenang dan yang lebih janggal, kesedihan yang tergambar dari raut wajahnya seolah palsu. Dia tidak benar-benar sedih karena kehilangan Dokter Dom."

Dom segera menoleh pada Lucy.

"Bagaimana kamu bisa tahu itu palsu?"

"Entahlah, aku seolah bisa membaca raut wajah Dokter Stella saat tadi memeriksamu." Sahut Lucy.

Dom menaikan alisnya, seolah menanyakan.

"Ya, sejak aku sering menemani mamaku ke psikolog, aku sedikit mulai bisa belajar melihat reaksi seseorang dari raut wajahnya."

"Mungkin itu bakat terpendammu." Tukas Dom sambil menggelengkan kepala.

"Aku ke toilet sebentar." Lucy bergegas ke luar ruangan.

Dom termenung memikir ucapan Lucy.

Dom juga merasakan hal yang sama saat melihat raut wajah Stella. Ketenangan Stella seolah dingin. Entah, Dom baru kali ini melihat Stella seperti ini.

"Mengapa dia berubah? Apa karena kehilangan diriku? Lalu, mengapa aku bisa masuk dalam tubuh bocah ini? Aarrgh...!" Dom mengacak rambutnya dengan kesal.

"Arthur, kamu kenapa?" Lucy berlari kecil mendekati lalu memeluk dan menjauhkan tangan yang tersambung infus dari kepala. Lalu Lucy memeriksa tubuh Dom dari ujung kepala hingga kaki.

"Ada apa Arthur?"

Dom hanya bisa menggeleng.

"Kamu pusing?"

Dom menggeleng.

"Kamu merasa tidak nyaman?" Lucy menatap Dom.

Dom mengangguk pelan.

"Aku akan memanggil perawat."

Lucy membalikkan tubuh, namun, dengan cepat Dom meraih lengan Lucy.

"Tidak perlu. Aku hanya ingin kamu menceritakan yang terjadi padaku, hingga aku sampai di sini."

Dom menatap Lucy dengan sungguh-sungguh. Dom meregangkan cengkeraman pada lengan Lucy, dan membiarkan gadis belia itu duduk.

Lucy menatap Dom, lalu mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara.

"Malam itu, aku terjebak tawuran pelajar sepulang sekolah. Aku tak tahu jika saat itu ada peristiwa itu. Beberapa pemuda mengikutiku, dan mereka hendak melakukan hal yang buruk padaku. Aku melawan, namun, jumlah mereka lebih banyak, dan dalam pengaruh rokok, obat terlarang atau alkohol atau semacamnya. Tiba-tiba kamu datang memukuli mereka dengan kayu. Tapi, lagi lagi, jumlah mereka lebih banyak, yang terjadi, mereka memukulimu hingga babak belur, dan kamu pingsan."

Lucy menatap Dom dengan wajah sendu, lalu memegang punggung tangan Dom yang terpasang infus.

"Aku pikir kamu meninggal saat itu, tubuhmu telah berlumur darah. Beruntung polisi datang meredakan tawuran, dan menangkap para berandal itu, lalu membawamu ke rumah sakit. Kamu sempat mengalami kritis saat itu, dan sepanjang malam aku terjaga untuk memeriksa keadaanmu. Aku takut mendengar alat itu berbunyi nyaring dengan tanda lurus. Aku berhutang padamu. Kondisimu stabil keesokannya, namun kamu belum sadarkan diri, dan baru sadar setelah tiga hari."

"Bagaimana keluargaku?"

"Aku mencoba mencari datamu di sekolah, namun, rumahmu kosong, dan bibimu yang selama ini menjadi walimu, sedang bekerja di luar kota. Aku sudah menghubunginya, dan dia seharusnya hari ini tiba. Namun, tadi dia menghubungi, mengalami delay karena badai, sehingga pesawatnya baru diberangkatkan besok pagi."

Terang Lucy sambil menatap Dom.

"Kamu tidak pulang?"

Lucy menjawab dengan menggelengkan kepala.

"Lucy? Mengapa kamu ada di sini?" Seorang dokter melangkah masuk menghampiri Lucy dan Dom.

Sosok itu adalah Erick, ayah Lucy yang bekerja sebagai dokter di rumah sakit.

"Papa. Aku menemani temanku. Dia yang kemarin menolong, saat aku terjebak tawuran beberapa hari yang lalu."

"Pasien Dokter Stella?"

"Ya." Lucy menjawab sambil tersenyum pada Erick.

Dom terkejut, kala mengetahui Lucy adalah putri Erick, salah satu rekan dokter bedahnya.

"Mengapa kamu tidak pulang?" Erick menatap puterinya.

"Di rumah tidak ada orang, Pa. Mama sedang konsultasi, dan baru pulang besok. Papa bekerja. Jadi, aku ingin di sini. Lagi pula, bibinya Arthur baru kembali besok karena pesawatnya delay."

"Dia hanya temanmu?" Erick melirik ke arah tubuh Arthur.

Dom yang sempat mendengar hanya diam, pura-pura tak mendengar, namun penasaran ada hubungan apa Lucy dan Arthur ini. Bocah yang tubuhnya dimasuki oleh Dom.

"Serius, Pa. Arthur hanya teman. Dia sekelas, tapi, aku juga tidak pernah bertegur sapa. Dia kebetulan menolongku kemarin. Apa papa tidak kasihan padanya? Dia hanya memiliki bibi, dan keadaannya seperti itu." Lucy berargumen pada Erick.

Sekali lagi Erick melirik ke arah bocah yang tergeletak di ranjang rumah sakit.

"Baiklah, pakai jaketmu, dan pulanglah besok. Temanmu itu juga sudah boleh pulang besok, bukan?"

Lucy mengangguk sambil tersenyum lebar dan memeluk papanya.

"Terima kasih, Pa! Oya, apakah aku boleh ikut menghadiri upacara pemakaman Dokter Dom?" Tanya Lucy sambil mendongak menatap Erick.

"Ya."

Erick mengangguk sambil membelai rambut puterinya.

"Terima kasih, Pa!" Lucy memeluk erat papanya.

Erick meregangkan pelukannya pada Lucy.

"Papa harus kembali bekerja, besok pagi upacara pemakaman pukul sepuluh. Jangan lupa kenakan jaketmu!"

"Baik, Pa. Selamat bekerja!"

Erick meninggalkan Lucy dan Dom, Lucy melambaikan tangan pada papanya.

Dom membalikkan tubuh menatap Lucy.

"Kenapa? Ada yang aneh?"

Lucy menghampiri Dom dan duduk di kursi di sisi ranjang.

"Kamu dekat dengan orang tuamu?"

"Ya. Aku dekat dengan mereka. Mamaku mengalami depresi usai keguguran dua tahun silam. Itulah yang membuatku semakin berusaha untuk peduli pada orang tuaku."

"Mengapa kamu masih di sini? Bukankah, di rumah ada mamamu?"

"Mamaku sedang berobat, dia sedang konsultasi dan terapi di sebuah klinik psikiater. Besok baru kembali. Di rumah aku sendiri."

"Kamu takut sendiri?"

Tanya Dom sambil tersenyum mengejek.

Lucy membulatkan matanya, melotot ke arah Dom.

"Heh, aku bukan anak penakut, ya! Aku hanya merasa sepi saja di rumah. Itulah mengapa aku menyibukkan diri dengan menghabiskan waktu di lab sekolah. Selain untuk olimpiade penelitian, juga untuk kestabilan mentalku."

"Jadi begitu mengapa kamu bisa terjebak malam itu?"

Lucy mengangguk.

"Maaf, membuatmu seperti ini."

"Tidak masalah. Lagi pula, aku akan sembuh dalam beberapa hari lagi."

"Sombong! Tidak sebentar, ya, luka di kepalamu cukup dalam, semoga tidak menimbulkan efek samping untukmu."

Lucy berdiri sambil memeriksa luka yang ada di kepala Dom.

Dom menatap Lucy sambil tersenyum.

"Heh, kenapa senyum senyum? Kamu suka padaku?" Tembak Lucy sambil menatap wajah Dom dengan tajam.

Dom terkekeh mendengar pertanyaan Lucy.

"Kamu terlalu percaya diri, Nona. Aku hanya sedang memperhatikanmu saja. Lagi pula kamu bukan tipeku." Elak Dom.

"Baguslah jika begitu. Lagipula aku juga sudah punya pacar." Ungkap Lucy.

"Oh ya? Siapakah gerangan pemuda itu, Nona?"

Dom pura-pura memasang raut wajah terkejutnya.

"Heh, nggak usah memasang tampang seperti itu! Jangan sok tua!" Lucy memukuk punggung Dom dengan keras.

Dom terkekeh sambil meringis menahan sakit.

Lucy ikut tertawa dan mereka saling bercanda sesaat.

"Lucy, apakah aku boleh ikut ke acara pemakaman?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!