"Dominic bukan sekedar kekasih dan rekan kerja. Dia adalah orang yang hangat dan menyenangkan. Mungkin dia tidak memiliki banyak teman karena terlalu sibuk bekerja, tapi itu membuktikan bahwa dia adalah seorang pekerja keras, dan hasilnya dari beberapa obat obatan hasil penemuannya. Saya banyak belajar darinya. Terima kasih Dom. Beristirahatlah dalam damai. Kami semua mencintaimu."
Suara tepuk tangan terdengar usai Stella menyudahi ucapan penghormatan terakhir bagi Dom dalam aula kapel.
Dokter Henry Luther dan Dokter Hana Luther yang adalah orang tua Dom mengangguk pada Stella.
Terlihat Hana menyeka air matanya sambil menatap peti jenazah di depan altar. Peti tersebut sengaja telah tertutup, karena keadaan tubuh Dom yang telah hangus terbakar, nyaris tak dikenali. Ada fotonya terpampang di depan peti yang berisi tubuhnya.
Dom hanya berdiri terpaku menatap peti itu dalam wujud Arthur.
Dom melirik pada Lucy saat mendengar gadis itu terisak.
Dom menyodorkan sapu tangan yang ada dalam sakunya. Lucy menerimanya, lalu mulai membersihkan wajahnya dan menyeka sisa air mata.
Selesai upacara pemakaman dalam kapel, peti yang membawa tubuh Dom digotong dan dibawa ke pemakaman keluarga Luther tak jauh dari area kapel.
Dom mengikuti semua prosesi pemakaman dirinya dengan perasaan penuh tanda tanya. Dom berusaha mengingat kejadian malam itu, namun yang ada kepalanya langsung terasa sakit, dan ingatannya hanya sebatas saat Stella menghubunginya, mengabarkan tak dapat menemani ke acara ulang tahun Henry Luther, papanya.
Dom hanya diam, mendengar dan menatap semua keluarga dan temannya yang memberikan ucapan dan penghormatan terakhir baginya.
Dom menghela napas dalam-dalam, lalu sebutir air mata menetes dari matanya. Ada rasa belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya sudah tiada. Dom ingin sekali berlari memeluk ibunya yang duduk di samping peti sambil menyeka air matanya.
Dom dapat merasakan, ibu pasti sangat kehilangan dirinya. Tiba-tiba, sebuah tangan menggenggam jemarinya, dan meremas. Dom menoleh ke samping, tampak Lucy menangis sesegukan, sambil menggenggam tangan Dom sangat erat.
Dom merangkul bahu Lucy, dan membiarkan gadis belia itu menumpahkan kesedihan di dada Dom.
Dom hanya bisa tersenyum kecil melihat Lucy yang terlihat sangat sedih seolah kehilangan orang sangat dicintainya. Tiba-tiba, Dom tersadar dengan pemikiran dirinya saat itu.
Apakah Lucy mencintai dirinya? Mengapa aku tak pernah bertemu dengannya? Mengapa dia terlihat lebih sedih, seperti ibuku? Mengapa Stella terlihat biasa saja? Mengapa Stella berubah? Atau selama ini dia menyembunyikan sesuatu dariku?
Dom menatap ke arah Stella.
Usai upacara pemakaman, Lucy mendorong kursi roda yang dipakai oleh Dom kembali ke rumah sakit.
"Astaga Arthur! Apa yang terjadi denganmu, Nak? Lihatlah, astaga Arthur!" Sesampainya di lorong rumah sakit, seorang wanita berusia sekitar 40 tahun menyambut kedatangan Dom dan Lucy sambil berlari di Koridor menghampiri mereka dengan raut wajah khawatir.
"Apakah, Anda bibinya Arthur?" Tanya Lucy sambil tersenyum.
"Ya, aku bibinya, namaku Rea. Apakah kamu Lucy? Yang kemarin menghubungiku?"
"Ya, aku Lucy."
Rea dan Lucy berjabat tangan. Dom memperhatikan dengan seksama Rea, mencoba mengingat, siapa tahu, dia pernah bertemu sebelumnya.
"Astaga, Lucy, kamu sudah besar sekarang. Semakin cantik seperti mamamu."
Rea yang masih menjabat tangan Lucy, langsung memeluk gadis belia itu dengan erat, lalu menatapnya seolah takjub dan tak percaya.
"Apakah aku mengenalmu?" Lucy nyengir dengan perasaan tak enak, karena merasa tidak mengenal Rea.
"Dulu, aku sempat mengasuhmu, selama empat tahun. Mulai dari kamu masih bayi hingga berusia empat tahun. Mamamu sangat baik, dia memberiku pekerjaan, supaya aku bisa bersekolah kuliner. Lalu setelah aku lulus, dan mendapat pekerjaan di salah satu restoran berbintang, aku mengundurkan diri, dan mamamu memilih keluar dari pekerjaannya, untuk mengasuh dirimu. Apa kabar Nyonya Selena?"
Lucy yang masih terkejut, hanya bisa bengong, dan menatap Rea.
Rea tertawa kecil, lalu menanyakan ruangan Arthur untuk membereskan barang barangnya.
"Terima kasih telah menolong Arthur." Ucap Rea sambil melipat dan memasukkan beberapa potong pakaian Arthur.
"Aku yang seharusnya berterima kasih padanya. Arthur telah menyelamatkan aku dari para berandal itu." tukas Lucy.
"Oya? Astaga Arthur, Dewa apa yang telah merasukimu, sehingga kamu mempunyai keberanian untuk berkelahi seperti itu!?" Rea menatap Dom dalam rupa Arthur sambil memegang wajah bocah itu dengan gemas.
Dom yang merasa tak nyaman, segera menyingkirkan tangan bibir Arthur.
"Rasa kemanusiaan." Sahut Arthur singkat.
Rea menatap Dom dengan tatapan tak percaya.
"Aku bangga padamu keponakanku!" Rea menepuk pundak raga Arthur. Dom hanya tersenyum kecil sambil menaikan bahunya.
"Aku jadi merasa tidak enak, jika mengingat kejadian itu. Begitu bodohnya aku, memaksa melalui jalan itu saat sedang hujan hari itu." Lucy menatap Dom dengan raut wajah bersalah.
"Sudahlah, yang penting sekarang kalian baik baik saja. Aku rasa luka Arthur akan lekas pulih jika banyak memakan ikan kukus buatanku." Sela Rea.
"Oh ya, biaya rumah sakit Arthur telah lunas, Papa yang membantuku." Terang Lucy.
"Sekali lagi, Terima kasih."
Lucy mengangguk.
*
"Lucy, kamu masih di sini?"
Sebuah suara bas terdengar, menyapa lucy.
"Ya, Pa. Sebentar lagi, aku pulang."
"Dokter Erick, terima kasih. Maaf, telah merepotkan Anda dan keluarga."
Rea memyalami Erick dengan hormat. Erick mengangguk pelan.
"Saya akan memastikan Nona Lucy kembali ke rumah dengan selamat. Anda tak perlu cemas. Saya akan mengantar Lucy kembali ke rumah." Tegas Rea dengan raut sungguh-sungguh.
Erick mengangguk kembali.
"Baiklah. Lucy, kamu kembali bersama Rea. Papa masih harus bekerja dulu. Hari ini mamamu kembali."
Erick menepuk bahu Lucy.
"Baik, Pa."
Lucy meraih tas ranselnya, lalu menaruh pada punggungnya.
"Dokter Erick, kami permisi dulu."
Rea membawa tas Arthur, dan membimbing Arthur berjalan, bersama Lucy yang mengenakan tas ransel di bahunya.
Erick menatap mereka hingga pintu keluar, lalu bergegas melanjutkan pekerjaannya.
"Apa kabar Nyonya Selena?" Tanya Rea saat dalam perjalanan di dalam taksi.
Sejenak Lucy terdiam. Rea seolah paham, Rea mengusap lembut punggung Lucy.
"Mama mengalami depresi setelah mengalami keguguran dia tahun silam. Sekarang rutin menjalani perawatan dengan psikiater untuk menyembuhkan penyakit mentalnya."
Lucy bercerita sambil menundukkan kepala, suaranya parau menahan tangis.
Rea terkejut, namun, dia terlihat tenang, dan merangkul bahu Lucy. Kini, Lucy memeluk Rea dan meluapkan tangisnya dalam dekapan bibi Arthur.
Dom menatap adegan tersebut dari spion depan, dia hanya menghela napas dalam-dalam. Sekarang dia harus berusaha untuk menjadi Arthur, dan akan tinggal dengan orang-orang yang sama sekali tak pernah dikenalnya selama ini.
Dom mengambil ponsel dalam sakunya, dan menghidupkan kembali ponsel yang mungkin telah mati beberapa hari yang lalu karena kehabisan daya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Nurul Hikmah
lanjutkan thor 👌
2023-11-13
0