"Apa yang terjadi padaku?" Ulang Dom lirih sambil menatap Lucy.
Lucy hanya diam, lalu dia berbalik badan, dan berlari ke arah luar.
Dom bingung. Lalu, dengan sudah payah, Dom turun dari tempat tidurnya, menenteng infus, menuju ke arah luar, mengikuti Lucy.
Dom mengintip dari ambang pintu, terlihat Lucy duduk di bangku, tertunduk, sambil menutup wajah dengan dua tangannya.
"Dia menangis?" Dom mengerutkan keningnya heran.
Lalu, kembali ke tempatnya lagi sambil menunggu Lucy.
Sekitar sepuluh menit, Lucy akhirnya kembali. Meski telah mencuci wajahnya, namun, matanya masih terlihat memerah.
Dom pura-pura tak peduli, dia duduk sambil menatap ke arah luar melalui jendela, saat Lucy masuk dan duduk di samping Dom.
"Maaf. Oh ya, bagaimana kacamatanya? Apakah nyaman dipakai?"
Lucy menatap Dom sambil memperhatikan kacamata yang dikenakannya.
Dom mencoba menatap sekeliling sambil mengedipkan matanya, berusaha beradaptasi. Selama ini Dom memiliki mata yang tajam, dan tak terbiasa memakai kacamata, namun kenyataannya saat ini dia bangun dengan tubuh yang berbeda, memakai kacamata, dan terlihat sangat menyedihkan.
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" Dom bertanya dengan suara sedikit keras, menatap tajam pada lucy.
Lucy menghela napas dalam-dalam.
"Kamu benar-benar tidak ingat?" Lucy terlihat sedih.
Dom menggeleng pelan.
"Maafkan aku." Ucap Lucy dengan kepala tertunduk.
Dom hanya diam. Saat ini dia pun tak tahu harus berkata apa pada Lucy. Mengakui dia sebenarnya bukan Arthur, dan mengatakan bahwa dirinya adalah Dom, Dominic Luther. Pasti Lucu Lucy akan mengatakan dirinya gila. Terlebih kenyataan kepalanya terluka lumayan parah, dan ada bekas jahitan yang masih belum kering berbalut perban pada kepalanya.
Dom masih diam, menunggu Lucy menceritakan kejadian yang menimpa Arthur.
"Lucy? Kamu masih di sini?" Sebuah suara menegur Lucy, suara yang sangat dikenal oleh Dom. Stella.
Dom menoleh, ada rasa rindu dalam dadanya saat melihat Stella.
"Ya, aku akan menemaninya dulu, hingga keluarganya datang." sahut Lucy sambil tersenyum pada Stella.
Stella mengangguk. Lalu, menghampiri Dom, yang saat ini dalam wujud Arthur.
Stella memeriksa jahitan bekas luka, lalu perawat memeriksa dan mencatat tensi, suhu tubuh, dan kondisi Arthur kala itu.
"Beruntung, Lucy membawamu tepat waktu. Lukamu mulai mengering, dan kondisi tubuh normal. Menurut laporan rontgen luka di kepalamu, kamu tidak mengalami luka yang fatal. Tapi, kami akan terus memantau keadaanmu dalam tiga hari ke depan secara intensif. Jika kamu merasa pusing, mual, atau tak nyaman, kamu bisa segera katakan, supaya dapat diperiksa ulang lagi. Apa kamu masih suka merasa pusing? Atau tidak nyaman?" Stella bertanya sambil menatap Dom.
Dom hanya bisa melongo. Selalu terpesona dengan Stella, yang dapat membuatnya merasa menjadi lelaki istimewa. Suara renyah Stella membius Dom. Rasa rindu menyusup, seakan mendorongnya untuk memeluk Stella.
"Arthur? Arthur? Apa kamu baik-baik saja?" Lucy membuyarkan lamunan Dom, dan menyadarkan kembali, bahwa saat ini fisiknya bukannya Dom.
Saat ini, dirinya terjebak dalam tubuh bocah remaja berkacamata bernama Arthur.
Dom hanya bisa menggeleng pelan membalas pertanyaan Stella.
"Baiklah, jika kamu tidak ada keluhan saat ini. Sebaiknya kamu harus banyak istirahat, supaya lekas pulih, dan lukamu semakin cepat kering."
Stella tersenyum pada Dom. Dom hanya bisa diam.
"Dokter Stella, apakah luka Arthur tidak memiliki efek?" tanya Lucy.
"Sejauh ini menurut hasil rontgen, luka pada kepala tidak terlalu fatal. Namun, jika Arthur mengalami pusing, mual, atau efek samping lain, dia bisa berkonsultasi lagi, dan kami akan periksa ulang kembali secara menyeluruh."
"Tapi, sepertinya, Arthur mengalami hilang ingatan." Lucy berkata pelan dengan nada takut.
Stella mengerutkan keningnya, lalu mengambil berkas hasil rontgen milik Arthur, dan memeriksa kembali sejenak.
"Baiklah. Hubungi saja aku, jika temanmu merasakan sesuatu hal yang tak nyaman akibat luka lukanya itu." Tukas Stella sambil tersenyum pada Lucy.
Lucy mengangguk.
"Apa dia akan baik-baik saja?" Lucy masih terlihat khawatir.
"Dia akan baik-baik saja. Tenang saja, Lucy. Kami akan merawat temanmu dengan baik. Sebaiknya, kamu juga harus menjaga kesehatanmu sendiri juga."
Lucy mengangguk kembali.
"Sebaiknya, kamu pulang dan beristirahat di rumah, supaya ayah ibumu tidak mencemaskanmu."
"Ya, aku akan menunggu bibi Arthur dulu."
"Baiklah, apakah kamu mau menanyakan hal lain? Jika tidak ada lagi, aku akan melanjutkan pekerjaanku kembali. " Stella berpamitan hendak pergi memeriksa pasien yang lain.
"Dokter Stella." Panggil Lucy.
Stella menoleh.
"Aku turut berduka tentang Dokter Dom." Ucap Lucy lirih pada Stella.
Stella diam dengan raut wajah tenangnya, sejenak Dom yang terkejut menatap Lucy dan Stella bergantian, mencoba memahami dan mencerna yang baru saja dia dengar dari Lucy.
'Berduka tentang Dokter Dom.' ucapan Lucy terus terngiang di telinga Dom.
Dom menatap Stella, seolah memindai reaksi kekasihnya saat ini.
Stella dengan raut wajah tenang seolah tak ingin terbaca emosinya, membuat Dom mengerutkan keningnya.
Selama ini, Stella sangat peduli akan hal-hal yang terjadi di sekelilingnya. Namun, saat ini, Dom melihat Stella tidak seperti itu.
Stella mengangguk, lalu berlalu dari kamar perawatan.
Lucy menghela napas kuat, hingga menarik perhatian Dom.
"Ada apa?"
Lucy menggeleng, lalu duduk di sisi ranjang.
"Kamu ingin makan?" Tanya Lucy.
Dom menggeleng.
"Bodoh! Dengar, ya, jangan membuatku semakin bersalah, jika keadaanmu semakin memburuk karena tidak makan." Omel Lucy dengan bibirnya berkomat kamit karena kesal.
Dom tersenyum kecil, melihat tingkah Lucy.
"Gadis ini, lucu juga." Batin Dom sambil meraih piring berisi makanan yang disediakan dari rumah sakit.
Dom menyuapkan sendok pada mulutnya perlahan, tanpa menoleh pada Lucy, seolah menikmati makanannya.
"Terima kasih, telah menolongku malam itu. Aku sangat takut sekali malam itu, aku tak dapat membayangkan yang terjadi, jika seandainya kamu tak ada malam itu. Kamu dengan berani melawan mereka, bahkan nyaris kehilangan nyawamu karena menolongku."
Dom menghentikan makannya, menoleh pada Lucy.
"Kamu tak sadarkan diri selama tiga hari. Maaf, aku harus membongkar tasmu, untuk menghubungi keluargamu. Namun, aku hanya bisa menghubungi bibimu yang sedang bekerja di luar kota. Hari ini, dia bilang akan kembali dan kemari. Itu ponselmu." Lucy menunjuk ke atas meja.
Dom mengangguk.
"Apa maksudmu berduka tentang Dokter Dom tadi pada Dokter Stella?" Tanya Dom, yang tak dapat menahan lagi rasa penasarannya.
"Dokter Dom meninggal."
"Hah?!" Dom meletakkan piringnya ke meja, dan melotot ke arah Lucy.
"Arthur, ada apa?" Lucy bingung dengan reaksi Dom saat ini.
"Dokter Dom meninggal? Bagaimana bisa?"
Lucy mengerutkan keningnya menatap Dom dengan bingung.
"Kecelakaan, mobilnya terbakar, dan tubuhnya nyaris tak dikenal karena terbakar semua, mobilnya meledak. Forensik sudah mengidentifikasi bahwa itu memang Dokter Dom. Pihak kepolisian sudah menetap korban Dokter Dom, dan sedang menyelidiki kematian Dokter Dom."
Dom terhenyak. Terkejut, mengetahui kenyataan yang menimpa dirinya saat ini.
"Lalu, siapa Arthur? Mengapa aku berada pada tubuh bocah ini?"
Dom mendengus kesal ketika pertanyaan pertanyaan berputar dalam kepalanya saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Nurul Hikmah
sadis.... rupanya dibakar menghilang kan jejak
2023-11-13
1