“Memangnya, suara apa itu? suara hantu?” tanya Cindy dengan mengelus kedua lengan atasnya seperti sedang kedinginan.
Dirinya mulai lupa dengan karakter dingin yang harus dimainkan. Tama menepuk dahi dan menggeleng seolah tak percaya pacar kontraknya adalah penggemar takhayul, lain halnya dengan Bang Ipul yang menatap Cindy dengan sedih.
“Bakso abang laris karena enak, Neng. 100% bukan karena pakai tuyul.”
Entah bagaimana caranya Bang Ipul bisa selalu update dengan pembicaraan mereka berdua. Mungkin ini salah satu bagian penting dari pelatihan intel.
“Nggak kok, Bang. Saya percaya Bang Ipul nggak pake tuyul. Kalau pakai juga nggak apa- apa. Tuyul kan juga berhak mendapatkan pekerjaan dan dilindungi negara.” Perkataan Cindy mulai kacau dan semakin jauh dari karakter yang ingin dia ciptakan.
“Kamu akrab ya, sama si abang bakso?” tanya Tama penasaran.
“Dari mana kamu tahu?” Cindy balas bertanya sebelum meminum air mineral di samping mangkuk. Dirinya menatap mangkuk yang hanya berisi sisa kuah. Di sekitarnya, masih ada beberapa mangkuk lain yang menunggu digarap gara-gara bantingan mangkuk Susi.
“Kamu hangat banget ke si abang. Beda waktu ke aku,” Tama menjawab dengan tenang. Tak ada ekspresi tertentu di wajah si manusia kulkas, tapi Cindy mendengar sedikit nada merajuk dan merasa itu sangat imut.
“Kalau begitu, kamu juga harus jualan bakso.” Tak ada tanda-tanda senyum di bibir Tama, dan Cindy berusaha untuk tak peduli. “Nggak usah bahas Bang Ipul lagi. Mari bahas asal suara misterius," sambungnya.
Tama mengangguk. “Itu jepretan kamera dari orang suruhan mamaku. Sekarang sudah tak terdengar lagi. Pasti laporan tentang kita sudah sampai di telinga mama.”
Tama menjelaskan sembari mengambil tisu dan menyerahkannya pada Cindy yang kebingungan. “Pakai ini untuk mengelap.”
Cindy mengambilnya dan mengelap meja. Tama yang tak sabar langsung mengambil lagi dua lembar tisu, dan mengelap wajah Cindy yang berkeringat. Situasi langsung jadi canggung, tapi kembali cair saat Tama kembali bicara.
“Kamu sudah selesai makan, kan?”
Tama mendekatkan diri dan membisikkan permintaan kartu pertamanya pada Cindy. Walau terkejut dengan permintaan Tama, dia terpaksa mengangguk.
“Kita belum bisa pergi. Ada banyak bakso yang belum habis.” Wajah Cindy mendadak muram saat melihat mangkuk-mangkuk tak berdosa yang menunggu dihabiskan. Tama menarik tangan Cindy untuk berjalan menuju Bang Ipul. Di depan mereka, ada satu wanita yang bersiap membayar.
“Bang, baksonya satu. Nggak pakai kerupuk, nggak pakai minum,” jelas si pelanggan yang terheran dengan Bang Ipul yang memakai kalkulator untuk menghitung 15.000x1. Hitungan Bang Ipul terhenti saat mendengar perkataan Tama.
“Bang, saya bayar semua pesanan hari ini, termasuk punya mbak yang ini.”
Tama menunjuk wanita di depannya. Air mata segera menggenang di pelupuk mata Bang Ipul dan si wanita. “Hitung saja semuanya. Nanti dibagi-bagi ke yang membutuhkan.”
Kini, Bang Ipul sudah mengelap air matanya dengan punggung tangan. Entah mengapa seorang intel bisa terharu seperti ini karena dagangannya laku. Mungkin, dia sudah terlalu melekat dengan penyamarannya.
“Bang, jangan nangis, dong. Saya lagi buru-buru. Kalau perlu, saya beli aja gerobaknya biar nggak perlu ada drama.” Cindy menyikut Tama ketika melihat tangisan Bang Ipul yang semakin menjadi. Untungnya, Bang Ipul bisa kembali profesional, dan segera memproses pembayaran Tama.
***
Tama dan Cindy berdiri di depan Rumah Eropa Klasik berwarna putih dan dilengkapi dengan pilar tinggi. “Nggak ada larangan untuk mengubah permintaan. Kamu masih punya waktu untuk meminta yang lain.”
Cindy berusaha membujuk Tama agar tak menciptakan masalah dengan sang calon mertua kontrak. Sayangnya, Tama menolak mentah-mentah dan tetap teguh dengan apa yang dia mau.
Di ruang makan, ada meja panjang dengan kursi yang diduduki mama dan adik Tama. Di dekat meja, ada seorang pria berseragam hitam yang berdiri tegak menunggu perintah. Kedatangan Cindy dan Tama mengalihkan perhatian mereka berdua. Tama menarik lembut tangan kanan Cindy dan memimpinnya berjalan menuju meja.
“Jangan duduk di situ.” Calon mertua kontrak bernama Bu Riyanti berkata pelan tapi dingin saat Cindy akan duduk di kursi yang berhadapan dengannya. “Kursi itu hanya untuk wanita yang cocok dengan Tama.”
Walau hubungan mereka hanya pura-pura, perkataan Bu Riyanti seperti pisau yang mengiris hati Cindy, dan membuka luka lama yang berusaha dia pendam. Dirinya juga sedikit kecewa karena Tama bahkan tak membela dan malah menarik kursi di samping kursi sebelumnya untuk Cindy.
“Papa mana, Ma?” tanya Tama saat mengambil ikan dari begitu banyak menu udang yang tersedia di meja.
“Kerja,” Bu Riyanti menjawab singkat tanpa melepas tatapan dari Cindy.
“Mama pikir, kamu berpisah dengan Dhita karena bertemu dengan yang lebih cantik.” Wanita berusia 51 tahun itu menusuk udang dengan garpu lalu tersenyum mengejek. “Dari dulu, kamu selalu saja bermasalah. Sejauh ini, Dhita adalah satu-satunya hal yang kamu lakukan dengan
baik. Sayang, itu pun berakhir kacau. Bagaimana nanti kita mengekspor produk dengan sukses tanpa bantuan keluarga Dhita?”
Seperti anaknya yang tak menunjukan ekspresi, Bu Riyanti juga sama. Hanya sang adik yang sesekali tersenyum ke arah Tama dan Cindy.
“Tama akan berusaha mencari koneksi lain untuk ekspor.” Tama terdengar gugup dan hal itu membuat Cindy bertanya-tanya mengapa dia meminta dirinya melakukan hal yang sudah pasti tak disukai mamanya.
“Jangan omong kosong. Menjaga satu wanita saja kamu tak bisa. Untung kami masih punya Nathan.” Bu Riyanti menatap Nathan dengan bangga. “Hari ini, Nathan juara umum di sekolah. Menurut gurunya, Nathan juga akan diikutkan olimpiade matematika. Nathan pintar di sekolah
dan akan lebih baik dari kamu. Karena itu, hari ini kita rayakan keberhasilan Nathan dengan menu serba udang.”
Tama hanya menunduk dan tak berani membalas hinaan sang ibu. Cindy bisa melihat dua tangan Tama yang terkepal erat untuk menahan diri. Perhatian Bu Riyanti lalu beralih ke Cindy.
“Cindy, kamu pernah dengar cerita tentang wanita dan buaya?”
“Belum, Bu.” Tak seperti Tama, Cindy memberanikan diri menatap Bu Riyanti. Kalau tidak, dia tak akan bisa melakukan apa yang diminta Tama.
“Seorang wanita mendapat informasi tentang lokasi harta karun. Karena ingin cepat kaya, dia pun bergegas pergi ke sana. Sayang, tak semua wanita bisa mencapai lokasi harta karun. Sudah terdapat peringatan di depan kalau wanita tak terpilih yang memaksa masuk, akan bertemu dengan buaya penjaga harta karun. Sang wanita yang sudah terlanjur rakus, memilih untuk masuk walau sebenarnya tak pantas. Sesuai dengan peringatan, dirinya pun bertemu dengan buaya yang melihatnya dengan buas. Menurut kamu, bagaimana akhirnya?” tanya Bu Riyanti dengan senyum mengejek.
Cindy mengumpulkan semua keberanian dan menjawab, “Menurut saya, buaya tersebut membuka mulutnya besar-besar, dan bertanya pada sang wanita, ‘hai cantik, mau kemana nih?”
Tama memuncratkan air yang baru saja diminum saat mendengar jawaban Cindy. Bu Riyanti terlihat kesal, sementara Nathan memejamkan matanya erat-erat untuk menahan tawa. Tak ada yang menyangka kalau Cindy akan melihat buaya dalam cerita sebagai buaya darat.
Melihat ini, Cindy langsung mengambil kesempatan untuk melakukan permintaan Tama. Dirinya menyendok sedikit nasi dan mengarahkannya ke mulut Tama. “Aaaaaaa…..”
Tama yang masih terbatuk-batuk segera meminum air, menenangkan diri dan membuka mulutnya untuk menyambut sendok yang disuap Cindy. Bu Riyanti tak berkata apa-apa. Wanita elegan itu melanjutkan makan lalu berdiri setelah selesai makan dengan alasan pekerjaan.
Saat ada kesempatan, Nathan mendekati Cindy. “Nathan suka sama kak Cindy. Ternyata, kak Cindy lebih cantik dan keren dari kak Dhita.”
Remaja berusia 14 tahun itu tersenyum tulus dan menghangatkan hati Cindy. Semoga senyum ini tak hilang seiring berjalannya waktu.
“Memangnya Nathan baru lihat kak Cindy pas di rumah? Bukannya foto kakak dan kak Tama sudah sampai sebelumnya?” Nathan menjawab pertanyaan Cindy dengan gelengan kepala.
“Nathan dan mama nggak bisa melihat jelas wajah Kak Cindy, karena di semua foto ada punggung abang bakso yang menghalangi.” Cindy tersenyum mendengarnya. Bang Ipul memang tak ada duanya.
“Kak Cindy, mumpung kak Tama lagi nggak ada, Nathan mau kasih tahu rahasia penting tentang kak Tama.” Cindy mengangguk dan menutup mulutnya karena kaget mendengar rahasia itu. Mungkin, itu yang bikin Tama meminta disuapi saat makan. Rahasia itu pun memberi Cindy ide untuk permintaan pertamanya.
Menurut kamu, apa rahasia Tama? Yuk coba ditebak di kolom komentar.
Jangan lupa like, vote, subscribe dan share untuk mendukung author ya ❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments