Kartu Remi, My Love

“Apa-apaan ini, Cin?!” Toni bertanya dengan nada tinggi sampai semua orang mengabaikan mangkuk bakso masing-masing, dan sibuk menonton.

Susi berdiri tegak di samping Bang Ipul dengan tangan kiri memegang mangkuk kosong untuk berjaga kalau diperlukan aksi kekerasan. Bang Ipul yang terlihat gagah saat mengamati penangkapan, kini menonton dengan gugup. Tampaknya, masalah pertengkaran cinta bukan bagian modul pembelajaran intel.

Setelah mengumpulkan segala keberanian, Cindy akhirnya menjawab, “Ini alasan sebenarnya aku minta putus.”

Tama yang dari tadi khawatir kalau Cindy tak mau bekerja sama, segera bernapas lega. Dhita memicingkan mata ke arah Cindy dan menggeleng tak percaya.

“Kamu lebih milih wanita seperti dia dibanding aku?” tanya Dhita dengan nada meremehkan. Perkataan itu membuat Cindy tenggelam dalam lautan penyesalan. Kalau saja Cindy tahu hari ini dirinya akan dibandingkan dengan wanita cantik high class yang memakai gaun hitam mahal, dia jelas tak akan hanya memakai jeans dan kemeja.

“Dia jauh lebih baik daripada kamu yang nggak setia. Setia itu mahal. Yang murah itu kamu.” Jawaban Tama secara mengejutkan mengundang tepuk tangan meriah dari Bang Ipul.

Saat sadar kalau hanya dirinya yang bertepuk tangan, abang bakso berbadan tinggi besar itu menempelkan kedua tangannya, dan membungkuk untuk meminta maaf karena sudah merusak situasi. Perhatian para penonton pun kembali pada pemain utama.

“Setia? Tapi dia selingkuh dari aku….mmhhh..mmhh….” Sanggahan Toni terpotong karena mulutnya dibekap oleh Susi dari belakang. Dengan segala kekuatan yang dimiliki, Susi menarik Toni berdiri dan membawanya menghilang dari panggung sandiwara yang sedang terjadi.

“Kampungan.” Dhita menyeringai, dan memberi tatapan tajam ke arah Tama. “Sekarang kita impas. Silahkan hidup dengan wanita seperti dia dan dibenci keluargamu. Awas saja kalau kamu masih bilang kita pacaran ke Bu Riyanti.”

Wanita berambut panjang itu lalu berjalan menuju mobil Tama untuk mengambil handphone sebelum pergi menjauh. Para pelanggan bakso yang sadar kalau pertunjukan sudah selesai, kembali melanjutkan hidup dan melahap bakso masing-masing. Bang Ipul juga kembali sibuk dengan walkie talkie seraya mengamati dua insan yang tersisa di meja khusus.

“Nama aku Tama.” Si pria dengan dandanan klimis memulai pembicaraan dengan dua tangan yang terlipat di dadanya.

“Aku Cindy.” Wanita berambut sebahu itu mengulurkan tangan untuk menunjukkan keramahan ala orang Indonesia.

Tama mengernyitkan dahi seolah menganalisa arti dari uluran tangan Cindy. Setelah pertimbangan singkat, dia membiarkan tangan kanannya menyambut dan menggenggam tangan mungil yang tadinya menganggur. Genggamannya memang tak lama, tapi mencipta setitik cahaya kebahagiaan di hati Cindy.

“500 juta, cukup?” Tama bertanya tanpa basa basi setelah melepas genggaman.

Dalam keadaan biasa, Cindy akan merasa terintimidasi dengan penampilan orang seperti Tama dan pertanyaan anehnya. Dirinya bahkan mungkin akan berpikir kalau otaknya tak sampai karena tak mengerti arti dari pertanyaan Tama. Anehnya, Cindy justru merasa percaya diri di dekat pria yang baru ditemuinya itu.

Oleh karena itu, dia memilih untuk tak menghiraukan pertanyaan yang barusan dilempar, dan malah menarik satu mangkuk bakso di depannya. Cindy lalu menatap tempat sendok dan garpu di samping Tama. Tangannya bersiap meraih, tapi kalah dengan kesigapan tangan Tama yang langsung mengambil sendok dan garpu dan mengelapnya dengan tisu.

Tangan yang tertutup kemeja hitam itu lalu meletakkan alat makan yang dicari Cindy di mangkuknya. Cindy bertanya-tanya dalam hati tentang hubungan pertanyaan 500 juta tadi dengan perilaku manis yang baru didapat.

Setelah itu, wanita yang baru putus itu makan dalam diam, sementara Tama konsisten menatapnya tanpa ekspresi. Saking heningnya mereka berdua, sampai Cindy menyadari ada suara misterius yang beberapa kali terdengar. Cindy berusaha mengabaikannya dan mengalihkan perhatian pada percakapan Bang Ipul yang sibuk melayani pelanggan.

“Bang Ipul, katanya nggak boleh merokok di sini, ya?” tanya seorang pria berusia 30-an. Tangan kanannya menjepit sebatang rokok yang belum dinyalakan. Pertanyaannya hanya dijawab dengan anggukan Bang Ipul yang sibuk menyiapkan pesanan.

“Masa nggak boleh sih, Bang? Lain kali sediain dong, area untuk yang merokok dan nggak merokok. Kalo semua pelanggan Bang Ipul suka merokok seperti saya, nanti usahanya bisa bangkrut.” Pria tersebut masih gigih memperjuangkan haknya untuk merokok, dan akhirnya ditanggapi Bang Ipul dengan berhenti beraktivitas.

Mata abang bakso itu melirik rokok di tangan lawan bicaranya, dan mulai mengeluarkan suara serak, “Ada kok, Mas.”

Informasi itu membuat senyum lebar terulas di wajah si penanya, tetapi berakhir dengan cemberut karena sambungannya. “Area tidak merokok di sekitar sini. Area merokok di rumah masing-masing.”

Cindy terkekeh mendengar jawaban Bang Ipul, tetapi buru-buru memasang wajah tanpa ekspresi saat sadar masih ditatap Tama.

“500 juta untuk jadi pacar aku. Aku janji akan memperlakukanmu dengan baik. Oke?” Tama mengulurkan tangan ke arah Cindy seolah ingin menutup deal dengan klien. Cindy mengernyitkan dahi dan mendorong tangan Tama untuk menolak.

Ini adalah hal paling jauh yang pernah dilakukannya dengan orang lain. Jangankan menolak uluran tangan, dirinya hampir tak pernah berkata tidak kalau dimintai sesuatu. Cindy mengangkat telunjuknya agar Tama menunggu. Tangan kanannya membuka tas dan sibuk mencari-cari sesuatu. Setelah yang dicarinya ketemu, Cindy meletakkan satu pak kartu remi di tengah meja.

“Kamu mau main judi?” Tatapan Tama beralih sebentar ke kartu remi, tapi segera dikembalikan ke Cindy. Cindy menggeleng.

“Ada 52 kartu dalam 1 pak. Aku ambil 26, dan kamu simpan sisanya. Setiap orang berhak menggunakan 1 kartu untuk 1 permintaan. Kalau ada yang menolak permintaan, perjanjian otomatis batal.”

Wanita 26 tahun itu menjelaskan seraya membuka boks kartu remi dan mengeluarkan 26 kartu. Tangannya mendorong boks berisi sisa kartu pada Tama, tetapi segera didorong balik oleh Tama.

“Jangan serakah. Aku tahu rencana licik kamu. Kamu mau minta 500 juta sebanyak 26 kali, kan?” Pertanyaan pria 29 tahun itu membuat Cindy merengut.

“Dilarang meminta uang. Puas?”

Cindy mendorong kembali boks kartu remi pada Tama. Pikiran CEO perusahaan produsen makanan itu mulai dipenuhi berbagai skenario kalau rakyat jelata di depannya sedang merencanakan penipuan. Walau khawatir, dia harus menerima fakta kalau kehadiran Cindy penting untuk membuat Dhita marah.

“Oke. Aku setuju dengan tambahan syarat : dilarang jatuh cinta. Gimana?” Tama memegang boks kartu remi dan mengangkat alisnya untuk bertanya, sekaligus menantang Cindy. Cindy mengangguk, dan Tama segera mengambil boks kartu remi untuk mengeluarkan satu kartu.

“Kamu masih dengar suara itu?” Tama menjepit kartu joker hitam dengan jari jempol dan telunjuknya. Sungguh kartu yang sesuai untuk menertawakan kejadian sinting di antara mereka berdua.

“Kamu juga dengar suara aneh itu?” Cindy lega karena ternyata suara itu bukan hanya khayalannya saja. Tama mengangguk dan mendekatkan dirinya.

“Kamu mau ketemu dengan sumber suara itu?”

Suara apa yang sebenarnya didengar Cindy? Yuk coba ditebak di kolom komentar.

Jangan lupa like, vote, subscribe dan share untuk mendukung author ya ❤

Terpopuler

Comments

Yu Ti

Yu Ti

Terima kasih🙏

2023-09-30

1

Yu Ti

Yu Ti

sudah Sampai Sini Saja

2023-09-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!