Bumi Mahesa

Malam ini warung tak terlalu ramai, aku baru saja ingin menutup warung, tetapi niatku terhenti karena kedatangan tiga orang lelaki. Sepertinya mereka supir truk yang sedang lewat, dan berniat melepas penat.

Rumah kami memang berada di pinggir jalan desa, dengan halaman yang cukup luas, aku menyulapnya menjadi warung kecil untuk menyokong kehidupan kami sehari-hari. Kebanyakan pembeli bukan dari kampung sini, tetapi juga para supir yang kebetulan lewat. Mungkin karena aku berjualan dan statusku yang janda, sehingga banyak gosip miring tentang diriku.

"Ada yang bilang. Katanya Mbak ini janda desa di sini ya?" Lelaki yang berumur sekitar lima puluhan itu menatap padaku dengan tatapan genit. Salah satu tangannya memegang cangkir kopi yang baru ia pesan, lalu menyeruputnya.

Aku hanya tersenyum kecil, tak ingin meladeni, agar mereka cepat pulang. Kulirik jam yang tergantung pada kayu penyangga warung. Jam sudah menunjukan pukul 21.00. Hatiku sedikit gelisah karena ini sudah lewat dari biasanya aku berjualan.

"Mbak, apa gak pingin nikah lagi? Nikah enak lho, mbaknya kan sudah pernah ngerasain tuh," ucap lelaki, yang dipanggil temannya dengan nama Aceng.

"Iya betul, nikah enak Mbak. Mbak nya gak perlu jualan malam-malam kaya gini. Tidur juga ada yang ngelonin." Salah satu lelaki yang perawakannya tampak lebih tua dibanding dua temannya, ikut menimpali. 

Aku mulai risih mendengar ucapan para leleki di depanku, ingin rasanya cepat tutup, tapi tak enak hati jika harus mengusir pembeli.

"Mbak, gimana kalau sama aku aja. Aku orangnya bertanggung jawab mbak." Lelaki yang terlihat berumur itu, menggodaku.

"Jangan mbak, dia punya istri. Cucunya mau tiga malah. Sama Abang Aceng aja, jamin gak nyesal."

Mereka bertiga lalu tertawa, merasa ucapan yang baru saja mereka lontarkan itu lucu. Namun tidak untukku. Ku tepiskan rasa tak enak hati untuk mengusir tiga pria kurang ajar ini. Aku sudah tak perduli mereka tersinggung dan tak ingin lagi mampir ke warungku. 

"Maaf ya, Pak. Ini sudah malam. Saya mau tutup." Aku lantas bangkit, mengambil minuman kemasan yang bergantung di dinding warung, lalu memasukannya ke dalam kardus mie instan. Berharap mereka mengerti, jika aku sudah ingin menutup warung.

"Wah, Mbak nya marah. Yo wes Piro semuanya ini mbak? Kopi tiga, gorengan lima," ucap Aceng, sambil memasukan tangannya ke dalam saku celana, lalu mengeluarkan dompet berwarna hitam dan mengambil selembar uang berwarna merah.

"Semua totalnya dua puluh lima ribu, Mas."

"Murah bener, Mbak. Kalau di lain secangkir kopi lima puluh ribu. Tapi mbak yang jualan harus mau dipangku." Aceng terkekeh pelan.

"Mbak, gimana kalau uangnya ta tambahin lima puluh ribu lagi. Tapi pegang dikit ya." Lelaki tua itu mencoba mencolek tanganku, namun dengan cepat aku menghindar, agar tak tersentuh olehnya.

"Bapak jangan kurang ajar ya, kalau macam-macam aku bisa teriak. Biar orang kampung pada kesini." Ancamku.

"Heleh nyolek dikit aja lho, sok suci kamu mbak. Janda aja lho bertingkah. Wes iki uange, ambil aja kembaliannya." Pria tua itu memberi isyarat pada kedua temannya agar segera pergi. 

Ketiga lelaki itu lantas pergi. Sedangkan aku, masih memandangi uang berwarna merah di atas meja dengan tatapan nanar, apakah harga diriku hanya sebesar uang ini? Apa karena statusku yang janda, hingga membuat mereka menilai diriku tak ubahnya wanita murahan yang bisa dipakai?

Dalam diam aku menangis, meronta, mencaci maki. Menumpahkan kekesalan dalam tangisan yang tak bersuara. Mengapa seseorang yang berstatus Janda selalu di cap tak baik. 

Apakah salah jika gagal dalam berumah tangga? Meski karena alasan memang sudah tidak bisa dipertahankan? Atau menjadi janda karena ditinggal pasangan untuk selamanya. Mengapa status janda seolah hina Dimata mereka. Mengapa orang selalu menilai pihak wanita lah yang bermasalah dalam setiap perpisahan? Mas Hanan, seandainya kamu masih ada, tak mungkin kamu membiarkan harga diri istrimu diinjak-injak seperti ini.

***

"Nduk, Bumi kok dari tadi pagi rewel ya? Badannya juga panas. Ibu khawatir." Ibu yang sedang menidurkan Bumi dalam gendongannya, menghampiriku di dapur. Kusentuh kening Bumi dengan telapak tangan.

"Iya, Bu, anget. Sudah Ibu beri obat penurun demam belum?"

"Belum, Ibu gak tau takarannya. Takutnya salah. Coba kamu kasih obat dulu, Nduk," perintah Ibu, dan segera ku iyakan.

Sudah dua hari suhu badan Bumi naik turun. Bumi menjadi rewel dan tak ingin lepas dari gendongan. Padahal sudah kuberi obat menurun panas, namun tak menunjukan perubahan. Aku panik, takut jika sesuatu menimpa Bumiku.

"Gimana ini, Buk? Apa kita bawa Bumi ke rumah sakit saja?" Ibu terlihat sedang berfikir, dahinya mengernyit beberapa kali.

"Boleh, Nduk. Ibu juga was-was jadinya. Ibu ta nyiapin bawaan, takutnya di suruh nginap," ucap Ibu, lalu segera mengambil tas di atas lemari dan memasukan beberapa potong pakaian.

Berbekal uang seadanya, kami menembus malam dengan menaiki motor Astrea peninggalan Ayah. Jantungku berdebar tak karuan, karena sepanjang jalan Bumi terus saja menangis.

****

"Gimana, Dokter?" Aku mendekati Dokter wanita, yang baru saja selesai memeriksa Bumi.

"Analisis saya sementara menunjukan anak Ibu terkena demam berdarah. Biar lebih pasti, kita cek darah dulu," ucap Dokter wanita yang berumur sekitar tiga puluhan.

"Baik, Bu Dokter. Yang penting cucu saya sehat." Ibu yang berada di sampingku ikut berucap. Wajar jika Ibu sangat khawatir dengan Bumi, karena hanya Bumi lah pelipur lara beliau ditengah beratnya beban kehidupan yang harus kami jalani.

Dengan sigap, Dokter muda itu menangani Bumi. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arah Dokter yang tak menyebutkan namanya. Namun, ia mengenakan jas putih dengan name tag bertuliskan Berlian Adriana. Ah, sungguh nama yang indah, batinku. Aku yakin jika wajah yang tersembunyi di balik masker medis itu, juga tak kalah indah seperti namanya.

***

Bumi positif terserang demam berdarah, Sudah tiga hari Bumi dirawat. Setiap pagi aku pulang ke rumah. Jarak rumah kami dengan Rumah sakit hanya sekitar  tiga puluh menit, sehingga aku bisa mencuci pakaian dan memasak, untuk makan aku dan Ibu selama menemani Bumi. 

Kami tidak memiliki BPJS atau sejenisnya, uang yang ada, kami prioritaskan untuk nanti membayar biaya rumah sakit. Kami bisa sedikit menahan lapar, namun tak bisa menahan perasaan saat melihat Bumi menangis kesakitan.Yang terpenting saat ini Bumi bisa kembali sehat dan cepat pulang.

"Bu, hari ini Dek Bumi sudah bisa pulang. Nanti Ibu ke bagian Administrasi dulu, ya," ucap Dokter Berlian saat visit nya pagi ini.

Ada perasaan bahagia luar biasa mendengar Anakku Bumi sudah boleh pulang, tetapi tak bisa ku pungkiri ada perasaan was-was ketika membayangkan berapa biaya yang harus kubayarkan.

Tiga juta dua ratus ribu rupiah, kubaca berkali-kali nominal yang tertera pada selembar kertas yang berisi tagihan biaya rawat inap Bumi. Pikiranku berkecamuk, harus dengan cara apa agar aku bisa menghasilkan uang untuk membayarnya.

"Gimana, Bu! Uang kita gak cukup buat bayar?" Aku memperlihatkan isi dompet, di dalamnya terdapat uang sebesar satu juta rupiah. Uang itu tentu tidak cukup. Mengingat kami masuk menggunakan jalur umum.

Wajah ibu terlihat muram, aku tau apa yang saat ini tengah beliau rasakan.

"Gimana ya, Nduk. Apa kita pinjam sama mertua kamu dulu? Kita pinjam bukan minta. Bumi kan cucu mereka juga."

Ku lempar pandangan jauh ke luar jendela, rasa sakit dan kecewa akan perlakuan mereka beberapa bulan lalu saja masih ada. Tetapi, aku tak punya pilihan lain.

Jika harus meminjam pada orang lain tentu tak akan ada yang mau meminjamkan. Tetapi, bagaimana jika keluarga Almarhum Mas Hanan juga menolak memberiku pinjaman? Dadaku terasa sesak, karena tangis yang susah payah kutahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!