Takdir

Mobil ambulans yang membawa jenazah Mas Hanan baru saja meninggalkan halaman, suara sirene yang menyayat hati terdengar perlahan menjauh. Para pelayatpun sudah berdatangan. Kudekati tubuh terbujur kaku itu dengan langkah bergetar. Berkali-kali aku meyakinkan diri jika ini hanyalah mimpi, tetapi jika mimpi kenapa begitu nyata dan menyakitkan.

"Sabar, Nduk. Ikhlaskan Mas mu." Ibu mertua merangkul bahuku tanda menguatkan, tetapi aku sendiri yakin jika ia pun sebenarnya merasa sangat kehilangan. Semua tergambar jelas dari wajah sembab yang masih basah oleh air mata.

Rasa sakit yang tercipta tak bisa tergambarkan. Aku tau jika semua mahkluk hidup pasti akan mengalami kematian, tetapi mengapa kepergian Mas Hanan begitu cepat? Bahkan di usia pernikahan kami yang masih sangat baru, terlebih saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami.

Kenapa takdir begitu kejam? Bukan hanya padaku, tetapi juga pada anak dalam rahim ini. Belum sempat ia melihat seperti apa sosok Ayahnya tapi Tuhan sudah mengambilnya. Aku hancur, bahkan sangat hancur.

"Jadi janda lagi..." 

"Iya, kasian. Masih muda sudah janda tiga kali."

Samar-samar aku mendengar suara beberapa pelayat yang tengah berbisik sambil menatap ke arahku. Aku memilih tidak memperdulikan, kehilangan Mas Hanan saja sudah membuatku sakit apalagi jika harus mendengarkan ucapan orang lain.

Para pelayat satu persatu telah pulang, hanya tinggal aku seorang diri yang masih terpekur menatap gundukan tanah merah bertabur bunga. Dalam lirih aku terus memanggil namanya. Meski aku tau, sekeras apapun aku memanggil, dia tak akan pernah kembali hadir.

***

Dalam kebisuan malam, suara tangis bayi menggema. Seolah mengatakan pada dunia, jika ia telah siap untuk merasakan pahit dan manisnya kehidupan. Ku peluk erat tubuh mungil yang masih merah itu dengan derai air mata. Menguatkan hati bahwa mulai detik ini, aku bukan hanya menjadi Ibu, tetapi juga menjadi sosok Ayah untuk bayi laki-laki yang kuberi nama Bumi. Bumi yang bermakna kehidupan. Ya, kehidupan. Kehidupan baru untuk aku yang sudah kehilangan segala alasan untuk tetap hidup.

***

Ibu baru saja pulang dari rumah tetangga, tampak di kedua tangannya membawa bungkusan plastik berisi pakaian yang harus di cuci dan setrika. Ada perasaan letih, tersirat dari raut wajah yang kini tampak menua itu. Namun, semua ia sembunyikan dengan senyum tulus yang tak bisa aku jabarkan. 

"Bumi rewel gak, Nduk?"

"Engga Bu, itu lagi tidur di kamar."

"Ini, Ibu tadi beli rawon kesukaanmu. Kamu pasti belum makan siang kan?" Di letakkan nya bungkusan berisi pakaian di atas kursi, tubuh ringkih itu lalu melangkah menuju dapur.

Aku hanya mematung, berusaha sekuat hati menyembunyikan kristal bening yang ingin meluncur. Tak ingin terlihat rapuh di depan beliau. Meski kenyataannya di dalam terasa babak belur. Entah dengan apa aku harus membayar semua ini. Ibu, meski dengan keadaan susah seperti ini, beliau masih tetap ingat dengan kesukaanku, bahkan tanpa mengeluh, beliau rela bekerja menjadi tukang cuci untuk anak dan cucunya. 

 

Sudah satu bulan ini sejak aku melahirkan Ibu bekerja menjadi buruh cuci dari pintu ke pintu. Tak banyak rupiah yang di dapat, karena situasi dan kondisi di kampung membuat tidak semua rumah tangga memerlukan buruh cuci. Sebagian dari mereka juga hidup juga pas-pas an. Di bandingkan harus menggunakan jasa buruh cuci, mengerjakan sendiri justru akan lebih hemat dan uang nya bisa digunakan untuk keperluan lain, begitulah pikir mereka.

"Banyak Bu cucian hari ini?"

"Lumayan lah, Nduk. Dapat dari Bu RT, anak mantunya yang di kota pada datang. Jadi itu cucian milik anak mantunya," ucap Ibu sambil menyuap nasi ke mulut.

Tanpa Ibu sadari, aku terus memperhatikan beliau yang tengah makan. Ibu begitu menikmati makanannya, terbukti dari suapan demi suapan yang ia makan dengan lahap. Air mata yang sedari tadi telah susah payah ku bendung akhirnya luruh. Bukan tanpa alasan, sosok renta itu hanya makan nasi dengan kuah rawon, tanpa ada satu potongpun daging yang ikut di piringnya. Aku tau, jika Ibu sengaja menyisihkan daging rawon untukku. Ia pasti berfikir jika anaknya ini perlu makanan yang baik agar bisa memberikan asi untuk cucunya. 

Tak ingin Ibu melihat anaknya yang cengeng ini menangis, aku memilih kembali ke kamar. Meninggalkan Ibu yang masih makan dengan kuah rawon nya. Ah Ibu, sehatlah selalu agar kelak engkau melihat. Jika anak semata wayang mu ini nanti akan sangat mampu membelikan rawon untukmu. 

***

"Bu, gimana kalau kita pindah saja." Aku memberanikan diri menyampaikan apa yang selama ini ingin aku lakukan.

"Pindah kemana?" Jemarinya yang tengah sibuk memotong bawang mendadak berhenti. 

"Kita pindah ke kota saja, Bu. Di sana lapangan pekerjaan lebih banyak di bandingkan di desa." 

"Mau di desa atau kota sama saja, Nduk. Gak ada tempat untuk orang kecil kaya kita."

"Lah terus Ibu mau terus terusan seperti ini? Mengharapkan pekerjaan yang gak pasti? Di tambah omongan tetangga yang gak ngenakin ati," ucapanku tertahan, jantung seakan bergetar hebat saat mengingat hal tidak mengenakan yang tadi pagi aku alami. Saat duo tukang gosip itu mampir ke warung dan menyudutkanku dengan ucapan-ucapan yang tak masuk akal.

"Ya sudah, Ibu manut aja. Yang penting kita bertiga tetap sama-sama. Ibu gak mau kalau harus tinggal di sini sendirian. Cuma kamu sama Bumi yang Ibu miliki saat ini." Suara Ibu terdengar bergetar, seolah mempertegas jika ia sendiripun sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Kupeluk tubuh ringkih Ibu, berharap menemukan kekuatan agar tetap kuat menjalani hari esok yang entah akan seperti apa. Aku sendiri pun tak yakin dengan keputusan yang ku tawarkan. Apakah pindah menjadi salah satu pilihan terbaik atau justru membuat semua semakin runyam. 

***

"Mba Rengganis, katanya mau pindah ya?" Bu RT yang baru pulang dari pasar mampir ke warung ku.

"Iya, Bu. Rencananya sih gitu."

"Memang mau pindah kemana?"

"Belum tau Bu, yang jelas ke Jakarta," ucapku gamang.

"Gini aja, kemarin mantu Ibu bilang. Di kantornya ada lowongan untuk OB tapi pendidikan minimal SMA. Tapi nanti coba Ibu tanyakan sama Nak Rama ya, siapa tau kamu bisa masuk. Kebetulan Mantu Ibu HRD di sana."

Seperti mendapat angin segar, aku segera mengangguk senang tanpa bisa menjawab ucapan Bu RT. 

***

Jam sudah menunjukan pukul 10.00. Hujan yang turun sedari malam tadi tak jua menunjukan tanda akan segera reda. Tak ada satu orangpun pengunjung yang datang ke warung. Entah harus dengan cara apa agar aku bisa menghasilkan uang untuk bisa membeli popok Bumi yang tinggal dua lembar. Samar dari jauh sosok Ibu RT berjalan  melewati hujan dengan payung ditangannya.

Dengan sedikit berlari ia berjalan ke arahku.

"Nak Gendis, Maaf ya sebelumnya. Ibu sudah tanya sama Nak Rama soal lowongan OB. Ternyata posisi itu sudah di isi," ucap Bu RT hati-hati.

Seperti suara kaca yang jatuh ke lantai, di dalam sini. Harapan untuk merubah nasib kini pupus sudah. Entah harus bagaimana kujalani hari esok, sepertinya nasib tengah mempermainkan diriku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!