Kecewa

Bumi tengah terlelap bersama Ibu. Aku sengaja tidak membangunkan beliau, karena malam tadi, Ibu baru bisa tidur saat menjelang shubuh. Semalaman Bumi rewel karena demam, dan hanya mau di gendong oleh sang Nenek.

Dengan hati-hati aku membuka pintu kamar, membersihkan diri lalu bersiap membuka warung pagi ini. Tak banyak yang ku jual, hanya gorengan beserta minuman teh dan kopi. Jika ditanya apakah cukup? Jelas tidak cukup. Namun, tak ada pekerjaan lain yang bisa aku kerjakan, karena latar pendidikanku yang hanya sampai SMP.

"Rengganis, kamu kok buka warung sih? Memangnya gak ke rumah mertua kamu?" 

Aku mengernyit, mencoba memahami maksud ucapan Bu Atun.

"Memangnya ada apa di rumah mertua saya, Bu?"

"Lah piye, kan hari ini Desi adiknya Hanan nikahan. Masa kamu gak di bilangin?"

Deg, Jantungku seperti ditimpa batu besar. Jika benar apa yang di ucapkan Bu Atun, kenapa Mertuaku tidak mengundang kami? Bukankah aku menantu beliau? Ini membuatku semakin berfikir aneh, karena memang sejak tiga bulan lalu aku melahirkan Bumi, Ibu mertua sekeluarga memang belum ada datang menjenguk. Hanya ucapan selamat via WhatsApp yang Desi sampaikan tanpa ada bubuhan undangan perkawinan. Padahal jarak rumah kami hanya sekitar dua puluh menit jika menggunakan sepeda motor, tetapi ternyata langkah mereka yang memang berat untuk sekedar menjenguk cucunya.

"Kenapa, Nduk? Kok mukanya masam gitu?" Ibu yang sedang menggendong Bumi, menghampiriku di warung.

"Hem, anu, Bu. Kata Bu Atun tadi, hari ini Desi adiknya Mas Hanan nikahan. Aku cuma mikir, kok kita gak dibilangin," ucapku, pelan.

"Oh."

"Memang Ibu tau?" Aku terkejut melihat ekspresi Ibu yang biasa saja.

"Iya tau, kapan hari pas Ibu ngambil cucian ke rumah Bu RT, gak sengaja ketemu Desi yang lagi ngantar undangan."

"Ibu gak dibilangin buat datang?"

"Ndak ada. Dia cuma bilang ngantar undangan terus pamit pulang. Ibu mikir, mungkin nanti mertua kamu yang kesini bilangin, tapi ternyata gak ada."

"Ibu, kok gak bilang sama Ganis?" 

"Buat apa? Ibu gak mau kamu kecewa. Mungkin mereka terlalu sibuk, jadi lupa. Sudah gak usah di ambil hati, nanti sore kamu kesana. Bawakan sembako, biarpun nilainya gak seberapa."

"Tapi, Bu." Dadaku terasa sesak, ada perasaan kecewa dan marah yang bercampur jadi satu.

"Meski Nak Hanan sudah Ndak ada, tapi Bumi kan tetap cucu mereka. Kelak Bumi berhak tau, siapa keluarga Ayahnya. Terlepas dari sikap mereka, jangan sampai kamu malah ikut-ikutan menjauhkan diri."

Aku hanya diam, tak meng iyakan ucapan Ibu tetapi juga tidak membantahnya. Mungkin ada benarnya apa yang Ibu katakan, mau bagaimana pun Bumi tetap bagian dari mereka. 

***

Suasana halaman rumah mertuaku tampak ramai, beberapa orang pria terlihat sibuk memasang tenda. Sedangkan di sisi lain para Ibu-ibu sedang memasak untuk acara. Melihat banyaknya tenda dan adanya panggung untuk acara hiburan, sepertinya resepsi adik Mas Hanan di adakan secara besar-besaran. Berbeda dengan pernikahanku dahulu dengan Mas Hanan, yang di gelar sederhana tanpa resepsi. Kami menikah di KUA, dengan dihadiri orang tua dan beberapa orang saksi. 

Aku sempat mendengar selentingan para tetangga yang bergosip, jika mertuaku pernah berucap,"Untuk apa mengadakan resepsi, toh wanitanya Londo. Dua kali malah."

Aku hanya tersenyum masam mendengar ucapan Bu Atun kala itu, mengingat beliau memang tukang gosip aku pikir pasti sedikit banyak akan dilebihkan jika bercerita. Tetapi kini aku paham, mungkin benar gosip dahulu.

Jika di nilai dari materi, orang tua Mas Hanan termasuk orang berada di kampung. Ayahnya seorang pegawai dan memiliki usaha ternak kambing yang cukup besar. Jadi wajar jika acara pernikahan Desi di gelar besar-besaran, ditambah Desi satu-satunya adik Mas Hanan.

Dengan langkah yang sedikit berat, kuberani kan diri untuk masuk ke dalam rumah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum sallam."

"Masuk, Mbak." Desi yang sedang sesi foto sedikit terkejut melihat kehadiranku. 

"Maaf ya cuma bisa ngasih kamu ini." Aku menyerahkan kado yang di dalamnya berisikan seprai.

"Terima kasih, Mbak. Itu Ibu ada di dapur sama Bapak." 

Aku mengangguk, mencoba memaklumi Desi yang tak mengajakku berbasa basi. Ia justru seolah-olah menginginkan aku pergi. Ku tinggalkan Desi dan suaminya yang kembali sibuk berfoto dengan beberapa tamu.

"Bu," ucapku singkat,saat bertemu dengan mertua, karena bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Ibu mertua hanya tersenyum datar tanpa menyapaku.

"Nak Ganis, sendiri aja tah?" Bapak mertua yang juga berada di dapur, lantas menghampiri diriku yang masih diam mematung. Dengan cepat aku meraih punggung tangan beliau lalu menciumnya. Tak lupa menyerahkan bungkusan plastik berisi sembako yang sedari tadi kubawa. Ya, aku juga membawakan beberapa kilo gula. Tak banyak memang. 

Sebenarnya aku hanya berniat memberi kado saja, mengingat keuangan kami yang terbatas. Tetapi Ibu menyuruhku membeli gula dengan uang hasil mencuci pakaian milik beliau. Biar pantes, ucap Ibu sebelum aku berangkat tadi.

"Iya, Pak. Ibu di rumah jaga cucu," sahutku, mencoba memancing percapakan. Berharap mereka tersindir.

"Oh, iya. Monggo disambi-sambi makan. Bapak mau keluar sebentar, nyari rokok buat bapak-bapak yang rewang." 

Bapak mertua lantas pergi berlalu. Ibu mertua yang sedari tadi tengah duduk sambil mengupas bawang seolah tak bergeming dengan kehadiranku.

Dengan perasaan tak enak hati, kuberanikan diri menghampiri Ibu mertua dan bertanya apakah ada yang bisa kubantu. Mungkin jika bukan karena para ibu-ibu yang juga berada di dapur, ibu Mertua sudah pasti tidak ingin meladeniku bicara.

Aku membantu Ibu mertua mengupas bawang, selama kami duduk berdampingan, kami banyak berbicara. Tepatnya akulah yang banyak bertanya. Tetapi lucunya, tak ada sedikitpun beliau bertanya soal Bumi. Bukankah Bumi cucunya? Padahal saat pemakaman Mas Hanan, kami menangis bersama dan saling menguatkan. lantas, kenapa sekarang seperti orang asing yang tak saling mengenal? 

Jam sudah menunjukan pukul delapan malam. Bu RT yang sedari tadi ikut membantu di dapur berpamitan pulang. Dengan terpogoh-pogoh Ibu mertua menyiapkan bungkusan berisi makanan untuk dibawa pulang oleh Bu RT dan beberapa Ibu-ibu yg juga ikut berpamitan. Akupun berniat untuk pulang. Aku lantas berpamitan dengan mertua dan adik ipar. Namun lagi-lagi aku dibuat kecewa. Jangankan bungkusan makanan, ucapan basa basi terima kasih dan undangan untuk datang saat acara resepsi hari Minggu nanti pun tak ada. 

Dengan langkah lunglai ku tinggalkan rumah mertua. Seperti ini kah rasanya kecewa? Bukan kecewa karena tidak diberi bungkusan makanan seperti Bu RT, atau kecewa karena tidak di ajak foto bersama mempelai. Tetapi kecewa karena aku dan Bumi kini benar-benar menjadi orang lain bagi mereka. 

Sepanjang perjalanan kubiarkan air mata ini tumpah. Berharap air mata ini habis saat nanti aku tiba di rumah. Aku ingin terlihat tegar dimata Ibu dan Bumi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!