Janda Muda

Janda Muda

Status

"Beneran ini cuma warung kopi biasa, Nis?"

Ibu Atun yang sedari tadi duduk di salah satu kursi mulai bersua. Aku menghentikan gerakan tangan yang tengah mengelap meja, menatap ke arah wanita bertubuh sedikit tambun itu dengan sorot mata penuh tanya, apa maksud dari ucapan beliau.

"Biasanya nih ya, kalau yang punya warung itu statusnya janda, bisa jadi antara dua. Antara beneran jualan makanan atau jualan anu. haha ... paham kan Bu Rani maksud ucapan saya." 

"Lah paham lah, orang yang beli biasanya laki-laki semua. Mana ada pembelinya ibu-ibu kaya kita." 

Darahku seakan mendidih mendengar ucapan dari dua orang ibu-ibu yang memang terkenal julid di kampung ini. Aku sudah biasa mendengar ucapan yang memojokkan tentang status jandaku, tapi kali ini rasanya sungguh keterlaluan. Hanya karena aku seorang janda, bukan berarti mereka bebas memberi lebel serendah itu.

Ku lempar kain yang berada di tangan, hatiku memanas menahan marah yang sedari tadi ku tahan.

"Bu, memang apa salahnya kalau saya janda? Saya gak ngelakukan hal yang salah. Saya jualan buat menuhin kehidupan saya, jangan karena status saya janda ibu bisa bilang gitu."

"Kalau engga terbukti gak usah marah to mbak Rengganis. Kami kan cuma bilang, kebanyakan faktanya seperti itu. Kalau Mbak nya gak merasa ya sudah santai saja. Ayo Bu Rani, kita pulang aja." Bu Atun lantas berdiri, menatap ke arahku sekilas lalu membuang muka dengan ekspresi tidak suka.

Bukan hanya mereka, tetapi juga banyak warga lainnya yang menilai status janda dengan berlebihan. Akupun sebenarnya tak ingin hidup dipandang hina, tetapi takdir dan keadaan sudah merubah segalanya.

Di usia yang baru menginjak 22 tahun aku sudah menyandang status janda tiga kali. Tiga kali pernikahanku tak ada yang bertahan lama, semua hanya bertahan tak lebih dari seumur jagung. 

Dahulu aku memiliki kehidupan yang normal, hidup sebagai anak sekolah yang juga punya mimpi dan cita-cita. Tetapi semua kandas ketika Ayah menjodohkan ku dengan anak sahabatnya yang umurnya terpaut lima belas tahun denganku, disitulah kehancuran hidupku dimulai.

Lelaki itu bernama Yusri, seorang duda tanpa anak. Ayah Mas Yusri adalah rekan bisnis Ayah. Mereka berdua menjalankan usaha jual beli motor bekas. Entah apa yang terpikirkan oleh ayah saat itu hingga tega menjodohkanku dengan lelaki yang usianya terpaut cukup jauh denganku, hingga aku harus berhenti sekolah.

Mas Yusri terlihat baik dan pendiam, ia seperti layaknya sosok mantu idaman. Bekerja  sebagai pegawai di salah satu instansi pemerintah, sudah memiliki rumah dan mobil pribadi. Sayangnya, yang terlihat baik di depan berbanding terbalik dengan kenyataan. Mas Yusri sangat pelit, bahkan seminggu setelah menikah ia sama sekali tak memberiku uang belanja keperluan dapur.

Bukan hanya itu. Jika aku melakukan kesalahan sedikit saja dalam mengurus rumah tangga, maka segala macam cacian jenis hewan kebun binatang keluar dari mulutnya.

Pernikahan kami hanya bertahan dua bulan, aku memutuskan kembali ke rumah orang tua, karena sudah tidak tahan dengan sikapnya.

Bukannya merasa bersalah dengan pilihannya yang menghancurkan hidupku, Ayah kembali menjodohkanku dengan anak temannya. Enam bulan pasca bercerai aku kembali menikah dengan lelaki seumuranku. 

Namanya Rio, dia cukup tampan dan ramah. Berbeda dengan Mas Yusri, Rio sangat baik dan perhatian. Tiga bulan kami menikah tak ada yang aneh dengan sikap Rio. Namun serapat apapun bangkai di sembunyikan, baunya pasti akan tercium juga. Rio sosok suami yang baik di mataku ternyata tukang selingkuh.

Bukan hanya sebatas selingkuh via handphone, tetapi Rio sampai berani memboking hotel kelas melati untuk mereka menginap.

Alasan itulah yang membuatku untuk kembali ke rumah orang tua. Melihat anaknya gagal membina rumah tangga hingga dua kali, ditambah usaha jual beli motor bekas Ayah yang mengalami kerugian membuat kondisi kesehatannya menurun. Tepat lima bulan setelah aku kembali ke rumah, Ayah harus pergi untuk selamanya setelah berjuang melawan penyakit jantung dan komplikasi.

Kepergian Ayah membuatku menjadi tulang punggung keluarga, dengan berbekal ijazah SMP aku kesana kemari mencari pekerjaan. Namun minimnya lapangan pekerjaan di kampung dan ditambah ijazah yang rendah, membuatku tak ada pilihan lain. Dengan bermodalkan halaman yang tidak begitu luas aku membuka usaha warung kopi dan gorengan. Meski pendapatan tak seberapa tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidupku dengan ibu.

Dua kali menikah karena perjodohan membuatku sedikit trauma. Aku lebih hati-hati jika ada lelaki yang berniat mendekatiku. Aku takut jika mereka seperti yang sudah-sudah, terlihat baik di depan tetapi jauh berbeda di belakang.

Satu tahun menyandang status janda, aku yang awalnya tak terpikirkan untuk menikah lagi merasa goyah saat bertemu dengan lelaki bernama Hanan. Aku memang sudah dua kali menikah, tetapi karena perjodohan bukan karena pilihan hatiku. 

Aku yang awalnya tak mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta hanya tersipu malu saat pertama kali bertemu dengan Hanan. Lelaki yang usianya delapan tahun lebih tua dariku. Lewat pertemuan tidak sengaja.

Sore itu hujan baru saja turun dengan derasnya, aku yang tengah termenung menatap butiran bening, sedikit terkejut saat lelaki dengan sepeda motor berplat merah berhenti tepat di depan warung.

Dengan cepat ia turun dari motornya lalu berlari kecil masuk ke dalam warung sederhana milikku sambil mengibas-ngibaskan air yang membasahi seragamnya.

"Kopi manis satu, Mbak," ucapnya kala itu, tanpa menatap ke arahku. Aku hanya mengangguk pelan lalu dengan cepat meracik kopi pesanannya sambil sesekali mencuri pandang.

Tak ada yang istimewa dari pertemuan kami saat itu, tetapi lelaki bernama Hanan itu semakin sering singgah ke warung kopi sederhana milikku, selepas ia pulang kerja. 

Cinta datang karena terbiasa, seperti itulah mungkin yang sedang aku rasakan. Aku terbiasa dengan sosok Hanan, terbiasa dengan suara deru motornya, terbiasa membuatkan kopi manis sambil menatap wajah teduhnya.

****

"Saya terima nikah dan kawinnya Rengganis Binti Maslan dengan seperangkat alat sholat dan mahar seratus ribu rupiah dibayar tunai."

"Sah...?"

"Sahhh..."

Aku mencium punggung telapak tangan lelaki yang baru saja menghalalkanku dengan perasaan penuh haru. Meski ini bukan kali pertama aku menikah, tetapi terasa sangat berbeda. Mungkin karena aku mencintai Mas Hanan begitupula sebaliknya.

Aku sempat minder, karena seorang janda sepertiku menikah dengan lelaki perjaka. Terlebih mas Hanan termasuk orang berada di kampungnya.

Sebelum aku memutuskan menikah dengannya, banyak selentingan yang membuat hatiku terluka. Dari hinaan karena statusku yang janda dua kali, hingga tudingan yang mengatakan diriku menikah dengan mas Hanan hanya karena melihat materi. Tetapi, ketulusan hati mas Hanan membuatku yakin dan akhirnya memutuskan untuk mencoba kembali semua bersama dirinya.

***

"Terima kasih sudah menerimaku apa adanya, Mas."

"Lupakan masa lalu mu, Dek. Sekarang saatnya menyusun hidup kita bersama." Mas Hanan mengelus pelan rambutku, lalu menarik tubuhku dalam dekap hangatnya. 

Aku terharu, tak mampu berkata-kata. Dia yang masih lajang dengan wajah yang lumayan dan pekerjaan yang bagus seharusnya bisa mendapatkan seorang istri yang lebih dariku. Tetapi nyatanya ia justru menerimaku yang berstatus janda dua kali, dan pendidikan yang hanya sebatas SMP. Terkadang aku berfikir rasanya tak ada yang istimewa dalam diriku yang bisa membuatnya jatuh cinta. Tetapi garis takdir tak ada yang tau, nyatanya hari ini kami sudah terikat dalam janji suci pernikahan.

***

Sudah empat bulan setelah kami menikah aku tak lagi membuka warung kopi di halaman rumah, Mas Hanan memintaku untuk fokus mengurus rumah tangga dan masalah nafkah menjadi tanggung jawabnya. Ia sangat ingin aku segera hamil, karena alasan itu ia melarangku berjualan.

"Mas, yakin cuma bawa kemeja dua lembar sama kaos oblong ini?" Aku memasukan beberapa potong pakaian ke dalam koper yang akan ia bawa untuk pergi dinas ke luar kota.

Mas Hanan akan pergi dinas ke luar kota beberapa hari, namun hatiku begitu berat untuk melepasnya.

"Ia sayang, kemejanya dua lembar cukup. Rapat cuma dua hari aja. Kalau banyak-banyak nanti dikira minggat ke rumah istri muda." Mas Hanan mencubit gemas hidungku.

"Iya juga sih, tapi beneran dinas kerjaan kan, Mas?"

Mas Hanan tak menjawab, mungkin ia mengerti rasa trauma yang pernah kualami. Ia justru mendekatkan tubuhnya, mengecup hangat pucuk kepalaku membuat segala gundah ini lenyap entah kemana.

Ia selalu begitu, berusaha membuatku yakin dengan ketulusannya, namun terkadang karena rasa minder yang begitu besar sering kali membuatku tak yakin dengan perasaan nya.

****

Deru suara mobil yang menjemput Mas Hanan perlahan terdengar mulai menjauh. Pagi-pagi sekali ia sudah harus berangkat karena jadwal pesawat penerbangan pertama. Baru beberapa menit ia meninggalkan rumah rasa rindu terasa sudah menghantui. Membayangkan dua hari tanpa kehadirannya terasa sangat sepi

Aku kembali ke kamar, meraih benda pipih kecil yang berada di dalam nakas. Benda yang kemarin sengaja kubeli dari apotik tanpa sepengetahuan Mas Hanan. Sebenarnya sudah satu Minggu aku terlambat haid, tetapi baru hari ini aku berani untuk melakukan tes kehamilan. Aku takut jika terlalu dini memberi tau Mas Hanan ia nanti akan sangat berharap.

"Alhamdulillah." Aku berkali-kali mengucap syukur dan menatap lekat benda pipih di tanganku. Dua garis merah muncul dengan terangnya. Terbayang sudah saat Mas Hanan kembali nanti ia pasti akan sangat senang dengan kejutan yang akan aku berikan ini.

Aku lantas segera menyimpan tes pack berwana biru itu kedalam kotak kecil yang sudah kusiapkan. Berkali-kali mengulum senyum sambil mengelus perut yang saat ini berpenghuni.

Aku ingin memberikan benda kecil ini setalah ia kembali pulang dari perjalanan dinas. Surprise kecil yang pasti membuat ia begitu senang nanti.

"Nis...nis... Rengganis..." Suara ibu dari balik pintu kamar mandi terdengar berkali-kali memanggil namaku.

Aku bergegas keluar, nampak ibu tengah berdiri di depan pintu dengan ekspresi cemas.

"Ada apa, Bu?"

"Itu di depan ada Pak Anton."

"Pak Anton? Pak Anton tetangga kita?"

"Sudah, ayo kamu keluar dulu."

Ibu yang masih terlihat panik segera berjalan menuju ruang tamu dengan langkah tergesa. Aku hanya mengekor di belakangnya dengan raut bingung. 

"Mba Rengganis, ayo buruan ikut Bapak. Bapak kesini mau ngasih kabar." Kalimat itu menggantung di udara, wajah Pak Anton menyiratkan sesuatu sedang terjadi.

"Anu apa, Pak?"

"Itu Mobil rombongan Nak Hanan kecelakaan dekat bunderan."

Deg, jantungku seakan meloncat keluar mendengar ucapan Pak Anton. Rasanya seakan tidak percaya, baru tiga puluh menit yang lalu Mas Hanan dan dua temannya berpamitan pergi, kini justru kembali membawa kabar yang mengejutkan sekaligus meyakitkan.

Tanpa berganti pakaian aku segera mengikuti Pak Anton untuk naik ke motornya, menuju tempat kejadian yang diceritakan beliau dengan perasaan yang entah. Bening-bening kristal tak mampu lagi kutahan, ia meluncur deras bersamaan dengan bait-bait doa yang tiada henti aku panjatkan. Berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada Mas Hanan, Lelaki yang baru beberapa bulan menjadi pelindungku.

Aku berharap mas Hanan tidak kenapa-kenapa, aku berharap jika pak Anton salah memberi kabar. Sepanjang jalan hatiku sudah tak karuan, aku takut. Takut jika kehilangan mas Hanan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!