"Maaf, Bu. Ganis datang ke sini gak ngabarin. Bumi sudah tiga hari dirawat karena sakit demam berdarah."
Aku menghela nafas, merasakan irama jantung yang berdebar kencang. Saat ini aku seperti seorang tersangka yang tengah duduk di sebuah bangku penghakiman.
"Hari ini Bumi boleh pulang, tapi uang buat bayar administrasi kurang. Ganis, rencananya mau pinjam uang sama Ibu. Ganis janji, secepatnya akan Ganis kembalikan," pintaku, dengan penuh pengharapan.
"Kamu perlu berapa?" Ayah Mertua yang duduk di samping Ibu, berucap.
"Kalau boleh, Ganis mau pinjam dua juta."
"Hahhh? Dua juta? Banyak banget. Gimana cara kamu ngembalikannya?" Ibu terbelalak kaget, Ayah yang ingin menjawab ucapanku mendadak diam tak berkutik.
"Tapi memang Ganis perlu uang segitu,Bu. Kali ini aja tolongin Ganis. Kalau Ibu gak suka sama Ganis gak papa. Tapi Bumi, Bumi kan cucu Ibu." Aku meremas ujung hijab lusuh yang kukenakan, mencoba menahan sekuat hati agar air mata ini tidak tumpah.
"Kamu kan tau, beberapa bulan lalu kami baru punya gawe. Ditambah kemarin Ibu habis belikan Desi rumah. Jadi Ibu gak bisa minjemin kamu uang."
"Kali ini aja, Bu. Ganis gak minta. Ganis pinjam dan akan Ganis kembalikan." Air mata yang susah payah aku tahan akhirnya tumpah. Tak kuasa aku menahan rasa sakit. Jika bukan karena Bumi, aku tak ingin mengemis pada keluarga ini.
"Harusnya kamu tau diri, kamu datang ke sini pas cuma perlu. Kamu kira kami Bank yang bisa pinjamin kamu uang?"
"Bu, tolong. Sekali ini aja, Ganis sangat perlu uang buat bayar rumah sakit. Ganis pinjam, bukan minta."
"Gak ada, sudah. Lebih baik kamu cepat pulang. Ibu sama Bapak mau ke rumah Desi," ucap Ibu, dengan nada ketus.
"Demi Bumi, Bu. Cucu Ibu."
"Cucu? Ibu gak yakin Bumi..." Ayah menyenggol lengan Ibu. Wanita itu menghentikan ucapannya, mengalihkan pandangannya dariku lalu membuang napas dengan kasar.
Ayah memberi isyarat agar aku segera pergi, dengan berlinang air mata, aku keluar. Meninggalkan orang tua yang dahulu sangat aku hormati itu dengan perasaan marah dan kecewa. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu tega dengan Bumi.
Baru saja ingin menghidupkan sepeda motor, seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, menatap ke arah suara dengan wajah yang basah.
"Nis, Maafin Bapak gak bisa bantu banyak. Ini buat kamu. Gak usah diganti." Ayah memberikan gulungan uang berwarna merah dengan tergesa. Belum sempat aku berterima kasih, Ayah sudah kembali ke dalam rumah. Seolah takut jika Ibu mengetahuinya.
Air mataku jatuh, bagaimana mungkin ibu mertua tega dengan bumi. Padahal bumi cucunya. Namun yang tidak aku habis pikir, tadi ia hampir keceplosan mengatakan jika bumi bukanlah darah dagingas Hanan.
Seandainya aku memiliki uang berlebih, ingin rasanya aku melakukan tes DNA, lalu hasilnya aku laminating dan ku serahkan pada ibu mertua, agar ia tak ada alasan untuk menolak bumi.
***
"Tagihan atas nama Bumi Mahesa sudah lunas, Bu," ucap pegawai Administrasi.
Mataku membulat, mengamati kertas putih dengan stampel bertuliskan 'Lunas' di pojok kanan bawah. Bagaimana mungkin tagihan Bumi bisa lunas, sedangkan aku baru ingin membayarnya.
"Coba dicek lagi, Mbak. Saya baru mau bayar," pintaku, memastikan.
"Iya, benar. Sudah dibayar lunas," ucap pegawai Administrasi, sambill mengamati layar komputer di depannya.
"Siapa yang bayar, Mbak? Takutnya salah orang."
"Sudah, Bu. Disini tertera, Dokter Berlian yang membayar lunas tagihan milik Ibu." petugas menunjuk sebuah nama di sisi kanan nota tagihan.
"A-apa? Dokter Berlian?"
Pegawai Administrasi itu mengangguk mantab. Lalu memintaku untuk menepi karena masih banyak antrian yang menunggu di belakang. Kuamati kertas tagihan itu dengan seksama.
Disitu memang benar bertuliskan nama Dokter Berlian yang sudah membayar lunas tagihanku. Tetapi, mengapa beliau begitu berbaik hati, padahal kami berbicarapun hanya sebatas masalah sakit yang diderita Bumi.
Tak membuang waktu, dengan cepat aku berjalan ke arah ruangan Dokter. Berharap bisa menemukan Dokter Berlian.
"Assalamualaikum." Aku mengetuk pintu yang tidak ditutup itu dengan hati-hati.
"Waalaikum sallam," sahut seorang perempuan yang tengah merapikan ruangan. Tampak beberapa kotak makanan dan kue tart kecil berada di meja, mungkin mereka baru saja mengadakan sebuah acara, batinku.
"Maaf, Dokter Berliannya ada?"
"Dokter Berlian? Beliau baru saja pergi," sahut Dokter Wanita, yang baru saja masuk.
"Kalau boleh tau, kapan Beliau kembali ke ruangannya?"
"Wah, sepertinya gak kembali, Bu. Soalnya hari ini Beliau terakhir dinas di sini. Mulai besok Dokter Berlian, dinas di Rumah sakit Jakarta medica."
Aku terdiam sesaat, masih memikirkan cara agar bisa berterima kasih dengan Dokter Berlian.
"Bu, Ibu punya nomor handphone Dokter Berlian?"
"Ada, tapi maaf, saya gak berani ngasih tanpa izin beliau."
"Eemmm... Engga, saya gak minta nomor handphone nya. Saya cuma mau minta tolong buat sampein ke Dokter Berlian, Terima kasih sudah membayar tagihan atas nama Bumi Mahesa, anak saya."
"Baik, nanti akan saya sampaikan." Wanita berparas ayu itu tersenyum kecil.
Aku lantas pamit, kembali ke ruangan Bumi dengan beban yang telah terlepas. Ternyata, di kehidupan yang keras ini, masih ada orang mau peduli dengan kesulitan orang lain. Dokter Berlian, dimanapun kamu berada, semoga Tuhan mengganti apa yang kamu berikan dengan kebahagiaan, doaku dalam hati.
****
Bumi adalah penyemangat dalam hidupku. Ia satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan sejauh ini. Aku bahkan pernah berada di fase ingin mengakhiri semua penderitaan ini. Tetapi, semua berganti dengan rasa bersalah saat melihat melihat senyum tulusnya.
Bayi kecil yang tak pernah sama sekali merasakan, kasih sayang dari figur seorang Ayah kini sudah menginjak usia dua tahun. Selama itu pula keluarga dari Mas Hanan tak pernah menginjakan kaki ke rumah.
Bahkan untuk sekedar menanyakan kabar Bumi pun tak ada. Aku pernah berharap, ketika dahulu Ayah mertua memberiku uang, untuk membayar biaya rumah sakit Bumi. Ia akan datang menjenguk, tetapi nyatanya Ia terlalu takut dengan Ibu, hingga ikut lupa dengan cucunya.
Sikap mereka membuatku terbiasa, terbiasa untuk tak perduli lagi dan enggan jika harus bersikap baik. Karena bagi mereka mungkin aku hanya seorang pengemis yang bertemeng pada Bumi.
***
Bumi sedang bermain mobil-mobilan di teras, tak berapa lama, aku yang tengah menyapu di dalam rumah dibuat terkejut karena teriakan Bumi yang memanggil manggilku.
Kuhampiri putra semata wayangku itu dengan langkah terpogoh, takut jika ia terjatuh atau terluka.
"Kenapa sayang, kok teriak-teriak?"
Langkahku terhenti di depan pintu. Aku nyaris tidak percaya ketika melihat dua orang yang pernah menggoreskan luka kini berada tepat di depanku.
"Ibu? Bapak?"
"Assalamualaikum, Nis," ucap Bapak.
"Bumi, Bumi sekarang ke dapur dulu ya temuin Nenek. Nenek lagi masak ayam goreng banyak."
"Ayam goleng, Mah?"
"Huum. Ayo ke dapur dulu," dengan sedikit memaksa aku membantu Bumi berdiri.
"Yee...Ayam goleng..." Bumi berlari ke dalam rumah, meninggalkan dua orang tamu yang masih terpaku menatap tingkahnya.
"Ada apa Ibu sama Bapak ke sini?" Kutatap sepasang orang tua di depanku ini dengan penuh tanda tanya, bahkan tanpa menyuruh mereka untuk masuk terlebih dahulu.
"Kami mau ketemu sama Bumi?"
"Apa? Bumi?"
"Lah kok ada tamu gak disuruh masuk dulu to, Nduk," ucap Ibu, yang tiba-tiba keluar sembari menggendong Bumi.
"Assalamualaikum Bu Yati." Ayah mengucap salam. Sementara Ibu mertua yang berdiri di samping Ayah, hanya diam sambil tersenyum datar.
"Walaikumsallam, ayo masuk dulu, Pak, Bu."
Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, dan aku mengekor di belakang.
"Maaf, baru datang sekarang," ucap Ayah hati-hati.
"Ndak papa. Gimana kabarnya sekeluarga?"
"Alhamdulillah. Bumi sekarang sudah besar ya. Sini, Le. Kakek punya hadiah buat Bumi." Ayah mengeluarkan sesuatu dari dalam plastik yang dari tadi beliau tenteng.
Aku melirik sekilas, sebuah mobil mainan yang cukup besar, dilengkapi dengan remote control. Mobil mainan berwarna merah itu sukses membuat Bumi, tersenyum sumringah dari pangkuan sang nenek, meski ia masih enggan untuk mendekati dua orang asing di depannya.
"Tumben Bapak sama Ibu kesini, ada apa ya?"ucapku, tak ingin berbasa basi.
"Kami cuma pengen jenguk Bumi, biar gimanapun Bumi kan cucu kami." Ibu mertua yang sedari tadi diam kini mulai bersuara.
"Apa? Cucu Ibu? Gak ingat..,"
"Sstttt, Ganis." Ibu memotong ucapanku.
"Hissh," Aku mendengus kesal.
"Alhamdulillah, Bumi sekarang sudah dua tahun. Anaknya makin pinter, aktif, gak bisa diem. Diemnya pas tidur aja." Ibu membanggakan cucunya.
"Nanti kapan-kapan Bumi ikut main ke rumah Nenek ya, nanti kita beli mainan yang banyak."
Aku baru ingin menimpali, tetapi Ibu sudah menatap ke arahku dengan mata setengah melotot. Seolah tau jika anaknya ini sedang emosi.
Akhirnya sepanjang obrolan aku memilih diam, sambil memasang wajah masam. Aku tak bisa berpura-pura menjadi ramah, dan menyembunyikan rasa kecewaku di depan mereka. Karena bagiku, mereka adalah luka lama, yang bahkan belum mengering hingga detik ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments