Jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sadar jika ia sudah tertidur cukup lama, Raline segera beranjak dari atas kasur dan melangkah menuju dapur.
Rasa malas masih menyelimutinya, tetapi cacing-cacing di perut sudah meronta meminta asupan. Sayur yang ia beli tadi pagi tidak ia sentuh sama sekali. Mie instan menjadi opsi terbaik di saat seperti ini.
Semangkuk Mie rebus yang masih mengepulkan asap panas ia bawa menuju teras. Terlihat beberapa anak yang sedang bermain di jalanan sore yang sepi.
Dengan kaki yang di naikkan ke atas kursi yang terbuat dari rotan, isi pikiran Raline kembali melalang buana memikirkan banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika dia melanjutkan hubungannya bersama sang kekasih.
Cukup lama ia merenung, hingga tidak menyadari jika langit sudah menggelap. Raline memutuskan untuk masuk ke dalam dan mandi setelah mencuci peralatan makan yang kotor.
Di saat ia sudah bersiap untuk tidur, Raline mendengar pintu rumahnya di ketuk berulangkali. Rasa takut dan penasaran berkumpul menjadi satu. Dia tidak memiliki sanak saudara yang mungkin saja akan bertamu di rumahnya.
Gadis itu berjalan keluar dengan mengendap-endap dan menyingkap tirai jendela untuk melihat pelaku yang mengetuk pintu rumahnya malam-malam.
Kedua netranya membulat sempurna. Di depan sana, ia bisa melihat dengan jelas siapa yang bertamu ke rumahnya. Seseorang yang sampai saat ini masih mengisi otaknya.
Dengan tergesa, Raline membuka pintu rumahnya yang sudah ia kunci. "Mas?!" panggilnya dengan raut bingung.
Di hadapannya sekarang, Adnan sang kekasih berdiri dengan penampilan yang tidak bisa di katakan baik-baik saja. Bulir-bulir keringat memenuhi wajah tampannya.
"Akhirnya," gumam pria itu dengan napas yang belum beraturan.
"Katanya gak jadi pulang?" tanya Raline. Tangan kecilnya terulur untuk mengelap keringat kekasihnya.
"Aku khawatir. Aku khawatir karena kamu tiba-tiba matiin telepon gitu aja. Aku telepon balik gak kamu angkat, aku chat gak kamu balas," jawab pria itu.
"Hanya karena itu?" balas Raline dengan nada tak percaya. Gadis itu menghela napas pelan, "Maaf ya Mas, aku ketiduran tadi," lanjutnya.
Adnan meraih kedua tangan Raline dan mengelusnya pelan. "Lain kali jangan diulangi ya. Aku takut kamu kenapa-kenapa, apalagi posisinya aku lagi di luar kota," kata pria itu.
Entah kenapa Raline lebih memilih untuk berbohong. Dia tidak akan menanyakan apa yang sebenarnya dilakukan oleh kekasihnya di sana. Biarkan pria itu yang menjelaskan sendiri jika masih menganggapnya kekasih.
"Duduk dulu Mas. Aku ambilkan air dulu," perintahnya dan langsung masuk ke dalam setelah melihat Adnan menuruti perkataannya.
Setelah beberapa saat, Raline kembali keluar dengan membawa segelas air putih. Adnan menghabiskan air tersebut dalam sekali teguk.
"Aku mau ngomong hal penting sama kamu," ucap pria itu setelah terdiam cukup lama. "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Semoga kamu tidak keberatan untuk menerimanya," tambahnya.
Setelah kedatangan Ibu dari kekasihnya ini, pikiran buruk selalu menghantui gadis itu. "Hal penting apa?" tanyanya dengan mencoba menetralkan ekspresi wajahnya.
"Kita akan menikah satu minggu lagi!" ucap Adnan dengan tegas.
Tanpa sadar, Raline memukul pegangan kursi yang ia duduki. "Maksud kamu apa! Apakah sekarang hobimu adalah mengejutkanku?"
"Bukankah kamu menyuruhku untuk memikirkannya? Lagi dan lagi kamu membuat keputusan sepihak!" marah Raline.
"Maaf! Aku benar-benar minta maaf," balas Adnan sembari mengatupkan kedua tangannya. Pria itu berdiri dari duduknya dan tanpa ragu berlutut di depan Raline.
"Aku sudah tidak bisa menunggu terlalu lama. Tentang kedua orang tuaku, tenang saja. Mereka sudah menerima kamu dengan tangan terbuka," jelasnya dengan lirih.
"Dengan tangan terbuka? Tadi pagi Ibu kamu datang ke sini dan ngomong beliau berharap kamu menikah dengan wanita itu."
"Ibu tadi kesini?!" tanya Adnan dengan ekspresi terkejut.
Terlalu terkejut membuat Raline keceplosan. "Iya, tadi pagi Ibu ke sini," gumamnya. Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang perlu di tutup-tutupi lagi.
"Untuk apa Ibu ke sini?! Dia gak ngapa-ngapain kamu, kan?" suara Adnan meninggi saat menanyakan hal tersebut.
Sudah terbongkar, langsung saja Raline akan membahas hal ini. "Kata beliau kamu gak jadi pulang bukan karena pekerjaan. Tetapi karena kamu lagi ketemuan sama wanita yang mau dijodohin sama kamu."
Adnan terkejut dan kembali mengucapkan kata maaf berulangkali. Matanya memerah, " Maaf, aku benar-benar minta maaf. Aku gak bermaksud untuk berbohong sama kamu. Jangan tinggalin aku," ucapnya dengan terisak.
"Berdiri, Mas! Jangan seperti ini," ucap Raline lalu menuntun kekasihnya agar kembali duduk. "Kita bicarakan ini dengan kepala dingin," lanjutnya.
"Jika boleh jujur, aku kecewa sama kamu, Mas! Kenapa aku harus dengar hal ini dari orang lain?! Jika kamu mau ngomong jujur, aku akan mengijinkan kamu menemui wanita itu."
Adnan menatap kekasihnya tanpa ekspresi. "Kamu masih ingat saat aku bilang akan berbicara pada mereka lagi, bukan?"
"Aku sudah berbicara kembali dengan mereka. Ibu memberikan syarat agar aku ketemu dulu dengan wanita yang akan dijodohkan denganku. Jika aku merasa tidak cocok, mereka akan menerima kamu dengan tangan terbuka," jelas Adnan.
Hening melanda keduanya, Raline terlalu bingung ingin bereaksi seperti apa. "Kenap kamu gak cerita dari awal?" tanyanya setelah berperang dengan isi pikirannya.
Adnan menundukkan kepalanya. "Aku takut kamu akan marah. Ini juga bentuk perjuanganku untuk kamu di depan kedua orangtuaku sendiri," jawabnya pelan.
"Kamu jangan berpikiran negatif dulu. Kamu pasti tau seberapa kerasnya usahaku untuk mendapatkan kamu, kan? Aku tidak mungkin melepaskanmu begitu saja hanya demi wanita seperti itu."
"Jantungku hanya berdetak dengan cepat saat bersamamu," ujarnya sembari membawa tanganku menuju di mana letak jantungnya berada.
Raline menatap kedua mata kekasihnya, tidak ada jejak kebohongan di sana. Dia juga bisa merasakan jantung Adnan yang berdetak dengan kencang.
Kini Raline merasa sepertinya ialah pihak yang salah. Dia seperti tidak menghargai bagaimana perjuangan kekasihnya di depan orang tuanya yang jelas-jelas menentangnya.
Kali ini, dengan penuh keyakinan, Raline akan egois untuk masalah ini. Dia sudah terlalu lelah jika harus menanggungnya terlalu lama. Dia sudah tidak peduli dengan tanggapan dari calon kedua mertuanya. Lagipula yang akan menjalankan pernikahan ini adalah dirinya dan juga Adnan.
"Ayo! Aku mau nikah Minggu depan!" ucap Raline di iringi senyum manis.
"Bener! Kamu gak bohong, kan? Aku gak lagi mimpi, kan?" balas Adnan dengan heboh. Pria itu menepuk-nepuk kedua pipinya.
Raline terkekeh pelan dan menangkup kedua pipi kekasihnya. "Kamu gak lagi mimpi. Ayo kita nikah minggu depan. Ayo kita jalin rumah tangga bersama."
"Sekarang aku sudah yakin bahwa kamu akan membawaku menuju kebahagiaan," tambah gadis itu
Semoga pilihan yang ia pilih tidak salah, dan semoga bisa menjadi awal baru dan lebih baik untuk mereka berdua.
Bersambung
Konflik tipis-tipis aja😁 See you on the next chap 🥰
Update tiap hari ya, tapi jamnya ga nentu😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments