Terhitung sudah satu minggu pertengkaran Raline dan juga Adnan. Keesokan paginya setelah perdebatan mereka, Adnan menghubungi kekasihnya jika ia akan pergi menemui klien di luar kota.
Saat Raline sibuk berpikir akan melanjutkan atau mengakhiri hubungannya, ponselnya berdering tanda panggilan masuk.
Setelah melihat nama si penelepon, Raline menggeser tombol hijau. "Ada apa, Mas?" tanyanya.
"Aku mau ngabarin, kayaknya aku gak jadi pulang hari ini," jawab si penelpon yang tak lain merupakan Adnan.
Mendengar hal itu, ekspresi Raline tampak sedikit murung. "Gak papa, Mas," balas gadis itu.
"Maaf ya, soalnya gak ada yang bisa aku suruh buat gantiin," lirih Adnan. Semalam, pria itu sudah berjanji untuk mengajak Raline pergi keliling pusat kota.
"Tenang aja, Mas. Kita masih bisa pergi setelah kamu menyelesaikan pekerjaanmu," Raline memaklumi hal itu karena memang kekasihnya itu anak tunggal.
"Sekali lagi aku minta maaf ya," ucap Adnan dengan penuh sesak.
"Iya, Mas. Cepat selesaikan urusan kamu, biar bisa segera pulang."
Mereka mengobrol cukup lama, saling menyalurkan rindu karena sudah satu minggu tidak bertemu.
Tetapi setelah sambungan telepon mati, Raline menghela napasnya dengan kasar. Adnan adalah satu-satunya laki-laki yang mau menerima dirinya apa adanya.
Sebelumnya memang ada beberapa laki-laki yang mendekatinya, tapi mereka semua tiba-tiba menghilang begitu saja ketika Raline mengatakan jika dirinya bekerja sebagai seorang kasir.
Begitulah manusia, mereka hanya ingin yang terbaik untuk dirinya.
Hari ini Raline tidak bekerja karena memang jadwalnya untuk libur. Waktu liburnya hanya ia habiskan untuk bersih-bersih rumah yang luasnya tidak seberapa itu. Tetapi terasa begitu nyaman untuk ditinggali.
Setelah semuanya selesai, Raline bersiap untuk pergi berbelanja. Dia akan berbelanja di dekat rumahnya, dengan mengayuh sepedanya.
Raline kembali ke rumah setelah mendapatkan apa yang ingin ia beli. Ketika dia hampir sampai di depan rumahnya, ada mobil mewah yang terparkir di sana.
Gadis itu hanya mengedipkan bahunya, mungkin mobil tamu tetangga sebelah rumahnya, pikirnya.
Tetapi saat ia hendak memarkirkan sepedanya di teras rumahnya, ada seseorang yang berbicara di belakangnya.
"Hey kamu."
Dia segera menoleh, dan begitu terkejut melihat siapa yang berbicara padanya. Di hadapannya sekarang, berdiri Ibu dari kekasihnya dengan begitu angkuh. Ternyata mobil yang terparkir itu adalah milik wanita tua itu.
"Iya, ada yang bisa saya bantu,?" tanya Raline dengan sopan.
"Darimana aja kamu, saya udah nunggu dari tadi!"
Sepertinya kedatangan wanita ini bukan pertanda hal bagus, batinnya. "Maaf, Bu. Saya baru selesai berbelanja."
Bagaimanapun, wanita itu adalah Ibu dari kekasihnya. Ia harus berperilaku dengan baik di depannya. "Mari masuk Bu. Maaf, rumah saya kecil," ucap Raline dan segera membuka pintu rumahnya.
Dengan tampang yang terlihat enggan, wanita tua itu tetap melangkahkan kakinya di belakang Raline. Ada yang harus wanita itu lakukan!
"Ibu mau minum apa? Biar saya ambilkan," tawar Raline. Mau diterima atau tidak, yang penting dia sudah menawari. Itu adalah salah satu bentuk kesopanan terhadap tamu.
"Gak usah! Palingan punyamu cuma air putih," tolaknya, seperti yang sudah di bayangkan oleh Raline.
Gadis itu masih tetap pada posisi berdiri di dekat Ibu Adnan yang duduk di sofa usang miliknya. Untuk informasi, wanita itu sudah melapisi sofa dengan sapu tangan yang ia bawa.
"Jika saya boleh tau, ada keperluan apa sehingga ibu jauh-jauh datang kemari?"
Dia tidak perlu bertanya darimana wanita itu mendapatkan alamat rumahnya. Bagi orang kaya, ini hanyalah masalah sepele.
"Kenapa kamu gak nolak waktu diajak pacaran sama Adnan! Kamu pasti pake pelet, kan?!" tuduhnya dengan garang.
Serendah itukah, dirinya?
"Maaf, saya tidak segila itu. Sedari awal saya sudah menolak, tetapi anak Anda selalu datang setiap hari untuk merusuh di tempat kerja saya. Dia tidak akan berhenti sebelum saya menerimanya. Apalagi yang bisa saya lakukan selain menerimanya?" jelas Raline dengan tenang.
Dari awal Raline sudah mengatakan jika Adnan sangat gigih untuk meluluhkan hatinya, bukan? Itulah yang dilakukan pria itu, membuat gaduh di minimarket seperti orang gila yang mana menganggu kenyamanan para pembeli.
"Alasan! Adnan itu laki-laki berpendidikan tinggi. Dari kecil sudah diajari agar selalu berwibawa. Tidak mungkin dia melakukan hal itu!"
Mendengar jawaban itu, Raline hanya bisa menghela napasnya pelan. "Terserah Ibu mau percaya atau tidak. Sekalipun saya menjelaskan sampai mulut saya berbusa, Ibu tidak akan pernah percaya sama saya."
"Adnan sering kesini?" tanya wanita itu mengalihkan pembicaraan.
Raline menganggukkan kepalanya. "Dia kesini pagi dan sore, buat mengantar jemput saya," jawabnya jujur.
Wanita itu menatap Raline dengan sinis. "Udah miskin, masih aja nyusahin anak orang!" cibirnya. "Asal kamu tahu! Dia di rumah diperlukan seperti pangeran, dan di sini kamu jadikan dia babu?!" lanjutnya.
Raline menggeleng keras. "Dia sendiri yang mau! Saya tidak pernah meminta maupun memaksa," belanya.
Dengusan kasar menggema di ruang tamu yang luasnya tak seberapa itu. "Heran! Apa yang di lihat dari wanita miskin harta dan ilmu kayak kamu ini!"
Di hina? Sudah biasa bagi Raline. "Kenapa Ibu tidak bertanya sendiri pada Mas Adnan?"
"Yang dia ceritakan cuma kebaikan, kebaikan, dan kebaikan yang kamu lakukan. Tidak ada yang bisa dibanggakan," jawabnya berterus terang.
Raline sama sekali tidak terkejut mendengar hal itu. Adnan memang sudah berkali-kali mengatakan padanya, jika ia bisa jatuh cinta pada Raline karena kebaikannya. Padahal dia tidak pernah merasa jika dirinya adalah orang baik.
"Kamu pasti sudah tau kan, kalau Adnan tidak jadi pulang hari ini?" tanyanya.
Raline mengangguk, "Iya. Mas Adnan sudah mengabari saya."
Wanita itu terlihat antusias mendengar jawaban Raline. " Bicara apa dia sama kamu?" tanyanya dengan raut penasaran yang sangat kentara.
"Ada masalah yang harus dia selesaikan sendiri."
Entah kenapa wanita tua itu tiba-tiba tertawa. "Kamu percaya?"
Dengan mantap Raline mengangguk. "Iya. Memangnya ada hal lain?" balasnya yang terdengar penasaran.
"Bodoh! Sangat bodoh!" ujar wanita itu.
Raline mengernyitkan dahinya bingung. Dari nada bicara dan juga wanita itu yang tiba-tiba tertawa, sepertinya memang ada yang tidak beres, batinnya.
Wanita itu berdehem pelan. "Adnan memang keluar kota selama satu minggu ini. Tapi bukan untuk mengurus pekerjaan. Dia pergi menemui gadis yang akan dijodohkan padanya," jelasnya dengan senyum miring.
Deg!
Jantung Raline langsung bekerja dengan keras. Meskipun ia sudah berpikir positif sedari tadi, itu masih tidak bekerja.
"Saya peringatkan kamu! Meskipun dia anak satu-satunya, bukan berarti apa yang dia inginkan akan selalu terpenuhi. Apalagi menyangkut pendampingnya, semoga setelah pertemuan ini dia berubah pikiran dan mau meninggalkan kamu!"
Rasa kecewa datang menyeruak begitu saja ketika mendengar kekasihmu sendiri pergi menemui wanita lain, lebih parahnya lagi sampai berbohong.
"Itu saja yang mau saya bicarakan sama kamu. Kamu itu tidak lebih seperti pungguk yang merindukan bulan!"
Setelah mengatakan itu, Wanita tua itu berdiri dari duduknya dan melirik Raline dengan sinis sebelum keluar.
Raline hanya mengikuti langkah wanita itu dari belakang tanpa berkata apapun. Setelah mobil melaju pergi, gadis itu duduk termenung di kursi teras.
Tak terasa matahari sudah berada di atas kepala. Raline mengambil belanjanya dan masuk ke dalam. Keinginan untuk memasak hilang seketika.
Gadis itu masuk ke dalam kamarnya untuk menghubungi kekasihnya. Panggilan pertama tidak ada jawaban, begitu panggilan kedua. Barulah ketika panggilan ketiga, laki-laki itu mengangkat panggilannya.
"Gimana, Sayang? Tumben telpon dulu, aku masih ditempat rapat," kata Adnan dengan napas yang terengah.
Raline menggelengkan kepalanya, meskipun kekasihnya itu tidak melihatnya. "Cuma mau telpon aja. Gak boleh ya?"
"Boleh kok, boleh banget. Tapi gak biasanya aja," suara kekehan Adnan terdengar. Saat Raline akan kembali bertanya, sebuah suara membungkam mulutnya seketika.
"Nannnn...kamu teleponan sama siapa sih kok lama banget?"
Suara seorang wanita yang terdengar begitu manja menggerutu kepada Adnan. Tanpa pikir panjang, Raline segera mematikan sambungan teleponnya.
Dadanya terasa begitu sesak, kekasihnya benar-benar berbohong kepadanya. Padahal dia hampir tidak percaya dengan perkataan Ibu Adnan, tetapi sekarang semuanya sudah jelas.
Ponsel Raline berdering berulangkali, sudah pasti itu dari kekasihnya. Tetapi dia sama sekali tidak berniat untuk mengangkatnya. Tak hanya panggilan, suara pesan masuk datang beruntun.
Raline memilih untuk mengganti ponselnya menjadi mode diam, dan dia memilih untuk tidur.
Bersambung
Nyambung ga sih chap ini?🥲
See you on the next chap
Thanks buat yang udah baca🤩
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments
Killspree
Nggak bisa bayangkan hidup tanpa cerita dan karakter dalam karya ini!
2023-08-30
1