Amira tersadar dari pingsannya, suasana sepi membuatnya menyadari bahwa dia sudah berpindah tempat. Dia melihat sekeliling ruangan, dan bertemu pandang dengan seorang lelaki paruh baya yang menggunakan baju kemeja rapi serta celana hitam panjang.
“Kamu sadar?”, Lelaki itu mendekati Amira, lalu kemudian mengambil selembar kertas dari atas meja di samping tempat tidur yang di tempati Amira.
“Siapa namamu?”, Lelaki itu melihat kertas di tangannya sembari bertanya kepada Amira.
“A.. Amira”, Amira menjawab pertanyaan dari lelaki itu.
“Apa ada yang tidak nyaman?”, Lelaki itu kembali bertanya.
Mendengar pertanyaan itu Amira menyadari posisinya yang sedang berbaring di atas kasur ranjang. Amira mencoba untuk duduk, namun rasa sakit dan ngilu menjalar di seluruh tubuhnya, hingga tanpa sadar Amira melenguh.
“Tentu saja kamu belum bisa banyak bergerak, karena hasil dari pemeriksaan tak ada kondisi yang perlu di khawatirkan, dan sepertinya kamu juga masih ingat namamu, kamu hanya perlu beristirahat selama sekitar dua minggu untuk pulih dan mulai bisa berjalan. Jadi bersabarlah”. Lelaki paruh baya itu menjelaskan sembari menekan-nekan sebuah tombol yang terpasang di sisi ranjang tempat Amira tidur.
“Tekan tombol ini saat kamu membutuhkan bantuan atau menginginkan sesuatu”, ucap lelaki itu sembari pandangannya tetap fokus pada lembaran kertas yang berada di tangannya.
“Tok!, tok”, suara ketukan pintu terdengar dari luar, seorang wanita paruh baya masuk mendorong troli makanan ke dalam ruangan.
“Pastikan makanannya lembut dan mudah di cerna untuk beberapa hari ini”, Jelas lelaki itu yang kemudian langsung di jawab anggukan sopan dari wanita itu.
Entah berapa hari Amira tinggal di ruangan itu, kini dia sudah bisa terduduk di atas kasurnya. Menatap kosong ke arah televisi yang menyala. Mata Amira kemudian beralih menatap bu Ida, suster yang merawatnya beberapa hari ini. Amira mendapati bu Ida memejamkan mata dengan kepala yang di sangga oleh tangannya sendiri, bu Ida duduk di sebuah kursi menghadap ke arah televisi.
Amira mencoba menggerakkan kakinya yang masih ngilu, namun sebenarnya sudah bisa di bawa berjalan beberapa kali ke kamar kecil.
Amira berjalan perlahan menghampiri pintu keluar, tangannya meraih tangkai pintu dan membukanya perlahan, cukup jelas mencoba agar tidak membangunkan bu Ida.
Amira berjalan melewati beberapa ruangan, dia mengamati setiap inci sudut ruangan, gaya furnitur yang simpel dan bernuansa gelap, tapi juga terasa mahal di saat yang sama. Amira bertanya-tanya berada di mana dia sebenarnya.
Beberapa hari yang lalu, Amira ingat dirinya di habisi salah seorang wanita di markas Under Hell hingga tak sadarkan diri. Namun saat sadar dia berada di sebuah ruangan, di pantau oleh seorang yang sepertinya dokter dan di rawat bu Ida. Namun setiap kali dia bertanya mengenai dimana dia, orang-orang itu tak menjawab dengan jelas. Terkadang bahkan dengan jelas tak menjawab pertanyaan Amira
Sayup Amira mendengar percakapan yang sepertinya berasal dari balik dinding ruangan dimana dia berada. Amira berjalan perlahan mengikuti sayup suara tersebut. Hingga dia membuka sebuah pintu. Hembusan angin merangkul tubuh lemah Amira. Suara percakapan pun terdengar lebih jelas dari sana. Amira berdiri menatap ke ujung sebuah kolam di hadapannya. Terlihat sebuah gajebo menampung 4 orang lelaki di sana. Mereka tampak mengobrol ringan dengan asap rokok mengelilingi mereka.
Amira menyipitkan kelopak matanya, mencoba mempertajam pandangannya, berharap dia mengenali salah seorang di antara orang-orang itu. Hingga Amira bertemu pandang dengan seorang lelaki, yang terlihat tak asing dari posturnya, Arthur menatap Amira beberapa saat sebelum kemudian kembali tak menghiraukan keberadaan Amira yang berdiri di ambang pintu.
“Nona Amira?”, suara bu Ida mengejutkan Amira.
“Kenapa tak membangunkan ibu kalau mau jalan-jalan?”, bu Ida memapah Amira ke taman yang berada di sisi lain rumah itu.
“Saya pikir, saya ingin pulang bu”, Amira berbicara sambil mencoba duduk di kursi taman.
“Dengan keadaan seperti ini?, nanti ibu bapakmu khawatir nak”. Jawaban bu Ida persis mirip seperti jawaban bu Ida beberapa hari yang lalu.
“Tapi saya pikir saya sudah sembuh, hanya tinggal ngilu-ngilu sedikit”, Amira mencoba meyakinkan bu Ida.
“Nanti saya tanya den Arthur terlebih dahulu ya”, jawab bu Ida singkat.
“Kenapa ibu gak bilang aja kalau saya ada di rumah Arthur waktu saya bertanya saya berada di mana?”, Amira bertanya-tanya.
“Saya ga tau, saya ngikutin kata pak dokter aja non”, ibu Ida beralasan sambil tertawa kecil.
Amira hanya ikut tersenyum, sambil tak habis pikir. Karena selama beberapa hari Amira merasa sedang di tawan dan di kurung di tempat tersembunyi. Namun dia baru sadar hari itu kalau ruangan itu tidak pernah terkunci, mungkin karena rasa lelah dan sakit badan yang memborgolnya agar tetap berada di atas kasur selama beberapa hari.
“Sudah mendingan?”, Suara Arthur membuat bu Ida terperanjat hingga refleks berdiri dari duduknya.
“A.. Ah iya kak?, pak?”, Amira terlihat gugup sembari mencoba berdiri karena melihat respon bu Ida yang terasa berlebihan, hingga membuat Amira memangil Arthur dengan pak, padahal umur mereka hanya berjarak enam tahun.
“Duduk lah”, Arthur menyuruh Amira sembari duduk di hadapan Amira. Sementara Amira mencoba duduk kembali sambil menatap bu Ida yang ternyata sudah berada di balik pintu, masuk kedalam rumah, sembari menutup pintunya perlahan.
“Kamu, terlalu lemah untuk berada di Under Hell”, Arthur menyesap rokoknya.
“Mungkin akan baik-baik saja kalau di The Hell pada umumnya, tapi tidak di Under Hell, kamu harus bisa mempertahankan posisimu”, jelas Arthur sambil mematikan puntung rokok ke asbak yang memang sudah tersedia di meja taman.
“A.. Saya tidak berpikir saya mengerti tentang apa yang anda ucapkan”, Amira berbicara dengan gagap yang sangat jelas.
“Panggil saja aku Arthur”, Arthur menyadari kalau Amira bingung memanggilnya apa.
“Under Hell itu seperti kelompok inti di The Hell, kuota anggotanya terbatas, hanya ada 100 orang tidak kurang dan tidak lebih. Anggota The hell bisa masuk ke Under Hell biasanya harus dengan cara menantang dan mengalahkan anggota Under Hell. Dan anggota Under Hell akan tersingkir jika sampai kalah dari anggota baru ini”. Jelas Arthur singkat.
“Kamu cukup beruntung karena ada 2 kuota kosong yang di tinggalkan oleh dua orang yang pensiun dari pergengan ini”, Lanjut Arthur menerangkan sambil tertawa ringan.
“Tapi saya pikir, saya hanya di pindahkan ke cabang The Hell lain”, Amira bingung, karena sebenarnya dia tidak terlalu tertarik dengan di mana posisinya di geng tersebut.
“Kemudian kamu akan mendapat masalah serupa lagi?”, Arthur menyela Amira yang masih mencoba merangkai pertanyaan dari kebingungannya.
“Jika kau tak bisa bertahan di Under Hell, maka lebih baik keluar sekalian saja Amira. Kamu mungkin berpikir kelompok ini hanya permainan semata, tapi tak ada jaminan kamu bisa berlindung di balik hukum negara jika kamu mendapat masalah di dalamnya”.
Amira menatap wajah Arthur yang terlihat begitu serius kala itu.
“Sa…, saya ..”, Amira memalingkan pandangannya ke sembarang arah, tidak yakin tentang apa yang hendak dia ucapkan.
“Yah tak masalah, kamu bisa datang kesini setiap hari di sore hari besok, kamu bisa ikut berlatih dasar bela diri denganku disini”. Arthur beranjak dari duduknya sambil tertawa renyah.
Amira hanya terdiam bingung di tempat duduknya, menatap lekat punggung Arthur yang mulai menjauh, terhalang pojokan dinding belakang rumah.
Amira melipatkan kedua tangannya sembari menyandarkan diri di bangku taman. Pandangan matanya terpusat pada satu titik, entah kegundahan apa yang ada di kepala Amira saat itu, bukan hal penting sebenarnya dia tetap berada di The Hell ataupun keluar sepenuhnya, karena sebenarnya dia berharap bisa tetap di The Hell hanya agar tak merasa kalah oleh Ryan. Tapi hatinya memaksanya untuk bertahan sedikit lebih lama, seolah mengharapkan akan adanya hal menarik yang menunggunya di sana.
“Amira, kamu kemana aja?”, Rani menepuk pundak Amira sembari duduk di sampingnya.
“Loh, kok kamu disini?”, Amira bingung karena biasanya Nadia lah yang duduk di sampingnya.
“Nadia pindah ke depan, dan karena di sini kosong jadi gue pindah aja”. Jelas Rani.
“kamu kemana seminggu kemarin gak masuk?”, Tanya Rani untuk yang kedua kalinya.
“Aku gak enak badan”, Jawab Amira sembari menatap punggung Nadia yang terlihat anteng berceloteh dengan temannya yang lain.
“Minta maaf aja duluan, nanti juga dia balik baik lagi sama kamu ”, celetuk Rani saat menyadari Amira menatap Nadia.
Tanpa mengindahkan ucapan Rani, Amira kemudian menelungkup di mejanya, memeluk tasnya seperti bantal.
“Amira masuk?”, seorang guru wanita menatap Amira.
“Datang ke meja pak Ruslan sekarang”. Pinta guru wanita itu sembari menata barang bawaannya di meja guru.
Amira mengikuti perintah guru tersebut, dan kemudian keluar dari kelas.
“Pak?”, Amira mengintip gugup dari ambang pintu ruang guru. Karena saat itu adalah jam kegiatan belajar mengajar, hanya ada sekitar tiga orang guru yang duduk di meja masing-masing. Pak Ruslan yang merupakan guru wali kelas Amira menatap Amira beberapa saat, sebelum kemudian menggerakkan tangannya, memberi isyarat kepada Amira agar mendekat.
“Kemana saja kamu?”, tanya pak Ruslan.
“Saya tidak enak badan pak”, Amira menjawab dengan kegugupan yang terukir jelas di nada suaranya.
“Tapi ayahmu bilang kamu bahkan tidak pulang”, pak Ruslan bertanya kembali.
“Sa.. saya tinggal di rumah saudara, dan lupa mengabari ayah”, Amira memperlancar kebiasaannya berbohong.
“Hahh, entah bagaimana ayahmu mendidik mu sampai bahkan kamu menginap di rumah saudara tapi dia tidak tahu”. Pak Ruslan membuang nafasnya panjang.
“Amira cukup satu orang yang di keluarkan dari sekolah di kelasku, kumohon kamu sekolahlah dengan benar”. Pinta pak Ruslan yang sepertinya lebih ke memohon. Namun Amira malah berpikir di benaknya tentang ‘pantas saja ada bangku kosong di depan kelasnya, yang membuat Nadia bisa pindah ke bangku lain’.
“Ada yang bisa bapak bantu Amira?”, pertanyaan pak Ruslan memecahkan lamunan Amira.
“Ap.. bantu apa pak?”, Amira yang tak begitu mengerti dengan pertanyaan pak Ruslan balik bertanya.
“Apa kamu punya masalah yang perlu bapak bantu?”, pak Ruslan kembali memperjelas pertanyaannya.
“Ti.. tidak ada pak”, Amira tersenyum sembari menarik baju bawahnya, seolah mencoba menutupi sesuatu yang dia sembunyikan. Tepatnya menyembunyikan memar-memar baru, yang di buat sang ayah kemarin malam, karena dia baru pulang setelah hampir dua minggu lamanya dari rumah Arthur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments