“PLAKK!!!”, suara tamparan keras terdengar di ruang tamu rumah Amira. Amira yang baru melangkah 3 langkah dari ambang pintu, disambut layangan telapak tangan ayahnya.
“Kau sudah tak waras Amira?”, urat di leher ayahnya menegang, membuka lebar kelopak mata sang ayah.
“Ayah di hubungi wali kelasmu, katanya kamu seminggu ini sering bolos dari siang hari”. Teriakan dengan volume keras yang konsisten sejak awal memekak di telinga Amira.
“Salah makan apa kamu?, kamu ingin mempermalukan ayah?, haahh!?”. Rentetan kata-kata itu datang bersamaan dengan cengkraman tangan kiri ayah Amira ke dagu Amira.
Wajah Amira memerah menahan rasa sakit, keringat bercucuran bersamaan dengan mulai munculnya bibit-bibit kebiruan di sekujur tubuh Amira. Di banding menjawab apa yang dilontarkan mulut ayahnya, Amira hanya menangis. Sesekali matanya melihat kearah seorang wanita cukup muda dibanding ayahnya berdiri gugup di belakang ayahnya.
“Mas, sudah cukup”, suara wanita yang berusia sekitar 35 tahunan itu hampir senyap tak terdengar. Teredam suara keras dari pukulan ayah Amira ke tubuh anaknya.
Di tengah malam, Amira berbaring perlahan di tempat tidurnya. Dia menyalakan ponselnya dan menatap wajahnya dari layar ponsel.
“Untung saja wajahku tak kena banyak”, gumam Amira saat melihat pelipisnya yang agak membiru.
Tangan kanan Amira bergetar hebat, tak sanggup menopang ponsel untuk waktu yang lama. Rasa sakit di beberapa titik membuat Amira bahkan malas untuk memiringkan tubuhnya.
“Trak”, suara pintu di buka, Amira dengan reflek memejamkan matanya. Hembusan angin yang tipis, membuat Amira merasakan kehadiran seseorang. Beberapa saat kemudian, Amira merasakan baju bagian bawahnya di angkat perlahan.
“Apa yang anda lakukan?”, Amira bertanya, sembari tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan ramping yang berusaha menyibak pakaian Amira.
“I.. ini, kamu bisa melakukannya sendiri kan?”, ibu tirinya menyerahkan kantung kompresan es kepada Amira.
Amira hanya menerimanya, dan melihat ibu tirinya itu pergi sembari menutup kembali pintu kamarnya. Amira melirik kearah meja kecil di samping kasurnya. Segelas air, beberapa roti dan beberapa obat tergeletak bersamaan dalam sebuah nampan.
“Haaahh”, Amira menghembuskan nafasnya, sembari berbaring bersamaan melekatkan kantong kompres itu ke area perut dekat tulang rusuknya. Area itu adalah area yang paling banyak terkena pukulan.
“Drrrrtttt… Drrrrttt”, getaran dari ponsel Amira membuat Amira terbangun, dengan keringat memenuhi tubuhnya. Entah sejak kapan dia tertidur, tapi cahaya matahari yang ke orenan mengintip di antara celah gorden. Amira duduk dari tidurnya, menyadari es di kantung kompres sudah sepenuhnya mencair, bahkan cenderung bersuhu hangat yang berasal dari hangat tubuh Amira.
“Ya”?, Amira berbicara pada ponsel yang baru saja dia ambil dari meja.
“Kemana saja kamu?”, Suara Ryan terdengar dari ponsel itu di iringi oleh suara bising di belakangnya. Yang membuat Amira jelas tahu bahwa Ryan sedang nongkrong seperti biasa.
“Aku tidak enak badan kak”, suara serak Amira menjelaskan segalanya.
“Ya ampun, yasudah istirahat saja. Nanti besok kita ketemuan”. Ryan menutup panggilannya.
17:25, angka itu tampil di layar ponsel Amira. Saat keluar dari kamarnya dia melihat ibu tirinya yang sedang bersantai menonton TV. Amira melangkah ke dapur mengisi gelas kosong dengan air. Mereka berdua hanya saling diam tak menghiraukan satu sama lain.
“Drrt”, suara notifikasi chat terdengar dari ponsel Amira. Dia melihat sebuah chat dari Ryan di layar ponselnya.
“Yang aku kangen”, isi chat itu tak merubah mimik muka Amira sedikitpun. Perasaan tak nyaman setiap Ryan mulai mengatakan rindu atau sayang sudah mulai tertanam di alam bawah sadar Amira. Hal itu karena Amira harus berusaha sebaik mungkin mempertahankan kewarasannya.
“PAP dong!”, susulan pesan dari Ryan membuat Amira merengut. Karna tentu saja tak cukup hanya dengan photo selfi biasa.
Amira berdiri menghadap jendela. Cahaya orange redup dari luar menyinari Amira,”cklikk” satu buah photo selfie berhasil di jepret. Tak lama satu buah photo selfie itu berhasil di kirim ke Ryan.
“Kamu gak gerah ngancingin baju sampai ke leher seperti itu?”, jawaban pesan dari Ryan di ikuti emotikon tertawa.
“Satu lagi dong sayang”, pinta Ryan.
Amira kembali berdiri sambil menarik nafas dalam, jelas dia melihat lehernya terbuka tanpa ada yang menghalangi, tapi karena Ryan sepertinya tak cukup dengan hal itu, Amira mulai membuka dua kancing atas baju kemejanya. Memperlihatkan gundukan daging yang menyembul mengintip malu dari celah bajunya.
Amira mengirimkan photo itu, dan kemudian memasukan ponselnya kedalam laci. Suara getaran ponselnya terdengar kembali, namun Amira hanya mengabaikannya. Dan memilih berusaha menenangkan rasa hina diri yang mulai naik ke ubun-ubun.
Dua hari kemudian, Amira duduk di tempat duduknya di dalam kelas. Mencoret-coret buku dengan tulisan-tulisan atau gambaran tak jelas. Hanya untuk menghilangkan rasa bosannya. Sedangkan di sampingnya Nadia terus menatap ponselnya dalam diam, terlihat jelas bahwa dia berusaha mengabaikan Amira.
“Amira, kak Ryan nunggu di depan kelas”, seorang siswi memanggil Amira dari ambang pintu.
Amira beranjak dari duduknya dan menghampiri Ryan.
“Besok kita pawai, kamu sudah sembuh kan?”, Ryan mengusap rambut Amira perlahan.
“Iya”, Amira tersenyum selebar mungkin menjawab pertanyaan Ryan.
“Tapi, kenapa kamu mengabaikan semua chat dan panggilanku?”, Ryan menarik keras sehelai rambut Amira. Yang membuat Amira mengusap-usap kepalanya karena merasakan perih bercampur gatal karena rambut yang tercabut itu.
“Aku lupa menaruh ponselku”, Jelas Amira.
“Ke kantin yuk kak”, Amira menarik lengan Ryan dengan manja, berusaha menenangkan Ryan yang terlihat agak marah. Sedang sekelilingnya menatap ke arah Amira dengan tatapan jijik karena melihat tingkah Amira.
Malam minggu tiba, malam itu Amira menaiki sepeda motor Ryan sembari memeluk Ryan erat dari belakang. Ratusan motor dengan suara bising berdengung di sepanjang jalan raya, dengan klakson yang di bunyikan berkali-kali bak suara terompet yang bernyanyi.
Angin malam terasa berusaha menyeruak melalui celah sempit baju Amira, padahal malam itu Amira mengenakan jaket yang cukup tebal.
Suasana ramai dan euforia aneh menarik bibir Amira, membuatnya tanpa sadar tersenyum sambil beberapa kali tertawa dan berteriak.
“Wooooo..”, “Yooo”, Suara sahut menyahut tanpa arti itu seolah saling mengantarkan perasaan semangat malam itu. Mengesampingkan asap knalpot yang menerpa mereka semua.
“Loh, kenapa?”, Amira bertanya saat menyadari Ryan keluar dari rombongan dan menepi.
“Ke kamar kecil bentar”, Ryan menarik Amira untuk mengikutinya ke sebuah kamar mandi umum tanpa penjagaan.
“Bentaran aja”, Ryan menahan Amira ke dinding wc umum yang sudah di kunci dari dalam.
“Apa?, kita bakalan ketinggalan rombong..”, namun sebelum Amira menyelesaikan ucapannya, mulutnya terbungkam bibir Ryan yang terasa tergesa.
Mereka berdua beradu lidah, menghembuskan nafas dengan tergesa, sehingga menghasilkan suara aneh.
Perlahan lengan Ryan mencoba meraih dada Amira, namun dengan refleks Amira menahan tangan Ryan, dan hal itu membuat Ryan berhenti menciumi Amira.
“Hahh!, yang benar saja!”, Ryan mendengus sembari menatap tajam ke arah Amira yang berusaha memalingkan pandangan.
Beberapa saat kemudian Ryan keluar dari kamar mandi sembari membanting pintu. Amira yang berusaha tenang mengikuti Ryan dari belakang. Seorang wanita paruh baya yang berpapasan dengan Amira menatap Amira aneh, jelas karena menyadari Ryan dan Amira keluar dari bilik kamar mandi yang sama.
Amira menaiki motor Ryan dengan tergesa tanpa di minta, gerungan motor Ryan membawa Amira melesat dalam kecepatan yang cukup diluar kendali. Jantung Amira berdetak kencang, menahan perasaan takut mengalami kecelakaan lalulintas, karena cara membawa motor Ryan yang menggambarkan Emosi Ryan.
Beberapa kali Ryan mencoba mengajak Amira melakukan hal yang tak seharusnya di lakukan sepasang kekasih yang belum cukup umur, namun Amira tak kehilangan cara untuk menolaknya, membatasinya sampai pada bercumbu. Karena bagaimanapun Amira jelas tahu, kalau Ryan bukanlah tipe orang yang bertanggung jawab.
Kala itu Amira dan Ryan ketinggalan rombongan, karena sejak awal mereka berada di barisan belakang, di tambah mereka berhenti beberapa saat, dan hal itu membuat mereka ketinggalan cukup jauh.
Jam 3 subuh, Amira dan Ryan menyusuri jalanan sepi. Dari arah belakang terdengar beberapa motor mengikuti mereka. Amira mengira mereka adalah anggota The Hell yang ketinggalan rombongan sama seperti Ryan dan dirinya. Tapi semakin dekat, motor-motor itu jelas memepet motor Ryan, hingga mau tak mau Ryan harus menepi.
“Kalian The Hell ya”, seorang lelaki seumuran mereka tersenyum cengengesan sambil menendang-nendang kecil ban motor depan milik Ryan.
“Bu,bukan”, Ryan menjawab gugup.
“Gue yakin, mereka tadi keluar dari rombongan buat ke kamar mandi di persimpangan tadi” seorang lain menimpali jawaban Ryan.
“Sini lo!”, kerah baju Ryan di tarik oleh seorang dari mereka, menjauh dari tempat Amira berdiri.
“Sekitar 5 orang mengelilingi Ryan, dan 4 orang lain berada di sekitar Amira, berdiri dalam diam sembari menghisap rokok mereka.
Amira menatap sekeliling, mencari sesuatu yang bisa di pakai untuk memukul, bila saja pukulan pertama mendarat ke Ryan di hadapannya.
Amira melihat Ryan yang terlihat agak membungkuk, seperti memohon untuk di lepaskan. Beberapa saat kemudian Amira menyadari beberapa orang di sekitar Ryan termasuk Ryan melihat kearahnya beberapa detik, sebelum kemudian kembali saling berbicara.
Perasaan lega dengan sedikit waspada menghampiri Amira, saat melihat Ryan berjalan ke arahnya. Amira yang melihat Ryan menaiki motor di sampingnya, membuat Amira bersiap untuk ikut menaiki motor juga.
“Santai dong dek, jangan buru-buru. Cowokmu mau beli dulu minuman sebentar”. Tangan salah seorang yang berbicara dengan Ryan tadi menarik lengan Amira. Saat melihat kembali kearah Ryan,Amira melihat Ryan sudah melesat menggunakan motornya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan Amira sendirian.
Tatapan kosong amira terpaku ke ambang kosong, menatap punggung Ryan yang mulai tak jelas karena jarak yang semakin merenggang.
Kengerian merambat dengan cepat, saat seseorang melingkarkan tangannya pada pinggang Amira, Amira di tarik hingga tak bisa menapak, di bawa ke pojokan gang buntu yang cukup gelap.
“Aakkkkhh!!”, Amira berteriak sekencang mungkin berkali-kali, berharap ada seseorang yang akan menolongnya.
“Kumohon lepas!”, permohonan yang hanya di jawab oleh tawaan orang-orang itu membuat Amira tak bisa menahan air matanya.
Rasa mual beberapa kali menyumbat tenggorokannya, setiap kali tubuh Amira merasakan rabaan yang membuatnya merasa jijik.
“AAkkkhh”, suara teriakan yang bukan keluar dari mulut Amira membuat semua orang di sana terdiam.
“Memangnya apa yang membuat kalian berani menyentuh anggota The Hell?”, Suara yang terasa tak asing itu membuat Amira merasakan kelegaan di sekitar tubuhnya. Orang-orang yang berusaha merebut pakaian Amira jelas menjauh dari Amira.
Di sana Amira hanya terdiam meringkuk, mendengarkan suara pukulan dan rintihan yang tersamarkan oleh rasa takut yang berdengung di kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Deni Anggraini
kasian Amira, ceritanya bagus
2023-10-05
1