Sore itu Amira menatap ponselnya, dia melihat deretan nomor di grup chat The Hell D4. Matanya tertuju pada satu kontak, yaitu Admin. Sudah sekitar 30 menit Amira menatapnya dan hanya menaikan dan menurunkan halaman itu di layar ponselnya.
“Halo, saya Amira. Saya rasa saya ingin tetap berada di The Hell”. Tulis amira berharap mendapatkan respon dari admin grup.
Dua jam kemudian, Amira yang baru selesai mandi mengeringkan rambutnya dengan handuk. Dia beberapa kali mengecek layar ponselnya, berharap ada pesan masuk dari admin grup chat.
Dan setelah puluhan kali mengeceknya, Amira mendapati pesan dari admin yang membuatnya segera duduk dan fokus membaca pesan jawaban yang cukup panjang itu.
“Iya halo, saya sudah menanyakan tentang kamu dan permasalahan kamu kepada para pengurus inti The Hell. Mereka mengatakan kamu bisa tetap bergabung asalkan kamu membawa sepeda motor sendiri atau memiliki teman satu geng yang bisa kamu tumpangi. Dan di harapkan agar kamu berpindah ke Distrik 1 di area pusat ibu kota, untuk menghindari konflik berkelanjutan antara kamu dan anggota Ryan”. penjelasan padat itu membuat Amira berpikir sejenak. Beberapa saat kemudian dia melihat notifikasi dirinya di keluarkan dari Grup chat The Hell D4, dan di susul notifikasi grup chat baru dengan nama Grup Chat “Under Hell”.
“Wihh siapa nih?”, “kapan ada pertarungan?, kenapa tiba-tiba seseorang keluar dan seorang lain masuk?”, “Wooww, ada tambahan ceweknihh”. Pesan-pesan itu bermunculan cukup cepat di grup. Amira melihat jumlah anggota yang hanya ada 99 orang termasuk dirinya.
“Namanya bukan The Hell D1, dan anggotanya hanya ada 99?”, Itulah pertanyaan yang terus terulang dalam benak Amira.
“Ah terserah”, Amira memutuskan untuk mengabaikan pesan-pesan itu dan memutuskan untuk tidur.
“Mereka sedang berlibur, suasananya sangat nyaman”, Amira bergumam mengingat di rumah itu hanya ada dirinya sendirian.
“Ada masalah apa Amira?”, pak Ruslan bertanya perlahan kepada Amira yang berdiri di depan meja kerjanya. dan Amira terlihat hanya terdiam.
“Lihat ini, kamu bisa lihat tulisan Absen berjajar di buku para gurumu”, pak Ruslan memperlihatkan rekapan absensi Amira yang sepertinya di setorkan para guru kepada pak Ruslan, wali kelas Amira.
“Jadi jelas kan ke bapak, jika kamu punya masalah yang membuatmu jadi sering bolos, katakan pada bapak”, sorotan mata pak Ruslan membuat Amira menunduk.
“Maaf pak, saya salah”, dari pada memberikan alasan, Amira memilih melontarkan kata maaf tak berarti.
“Haahhh, bapak tak akan bisa menolong nilaimu kalau kamu menulis lebih banyak absen lagi kedepannya.
“Bapak harap kamu bisa memperbaiki kebiasaan barumu ini Amira, dan jika ada masalah, kamu benar-benar bisa mengatakannya ke bapak. Bapak akan berusaha membantu semampu bapak”, pak Ruslan memijat kepalanya perlahan, mungkin hari itu terasa menjadi hari melelahkan untuknya.
“Sudah, kau bisa pulang”. Pak Ruslan melanjutkan ucapannya setelah menunggu jawaban dari Amira yang tak kunjung terdengar.
Amira kemudian mengangguk dan keluar dari ruangan.
Di parkiran Amira menaiki motor yang dia bawa ke sekolah hari itu.
“Wih tumben bawa motor”, Rani menegur Amira.
“Iya”, Amira menjawab sembari tersenyum.
“Nebeng pulang dong!”. Rani berbasa-basi sembari menunggu temannya yang lain berkumpul.
“Aku sedang ada urusan”, Amira mulai memutar stang kanan motornya, dan melesat perlahan meninggalkan Rani.
“Menyerah sajalah Nad, sampai kapan kamu akan mengeraskan urat lehermu seperti itu setiap bertemu Amira”. Rani menepuk pundak Nadia yang sedang memainkan ponselnya mengabaikan Rani dan Amira. Nadia hanya menjawabnya dengan decakan dari mulutnya.
Amira beberapa kali menepi ke bahu jalan, sekedar memeriksa arah rute tempat berkumpul barunya yang di tunjukan GPS di layar ponselnya. Hingga dia sampai di sebuah bangunan yang cukup besar. Membuatnya beberapa kali mengecek ulang apakah lokasinya benar atau tidak. Karena tempat yang dia lihat berbeda dari yang Amira bayangkan sebelumnya. Tempat itu tidak kumuh apalagi kotor. Lebih seperti sebuah markas komunitas pecinta motor mahal.
Perlahan Amira memarkirkan motornya, dia sangat berhati-hati karena takut motornya menggores motor-motor mengkilap di area parkir itu.
“Kamu siapa?, ini bukan tempat yang bisa kamu kunjungi seenaknya hanya karena tertarik”. tiga orang lelaki menatap Amira dari kejauhan, ucapan tadi keluar dari salah satu di antara mereka bertiga.
“Emmm, ini benar kan?”, Amira menunjukan pesan link alamat yang dikirimkan admin grup Under Hell kepada 3 orang itu, setelah sebelumnya berjalan cepat menghampiri mereka.
Setelah menatap ponsel Amira, tiga orang itu saling tatap satu sama lain.
“Hahaha, ternyata kamu anggota baru itu?. sorry, aku agak syok karena berpikir rasanya tidak ada anggota Under Hell yang akan memakai motor bebek metik seperti itu”, seorang dari mereka berkata sembari tertawa renyah.
“Kau bisa masuk lewat pintu itu”, orang itu menambahkan, sembari menunjuk sebuah pintu masuk, sebelum kemudian mereka bertiga pergi meninggalkan Amira menuju parkiran untuk mengendarai motor dan meninggalkan tempat itu. Amira mematung menatap motornya yang memang sangat mencolok berada di tengah-tengah motor-motor yang terlihat mahal.
Amira berjalan mendekati pintu masuk, mulai terdengar suara musik dari dalam.
“Apa ini klub malam?”, Itulah yang Amira pikirkan saat memasuki gedung yang di dalamnya di sambut ruangan lapang dengan tiang-tiang yang menopang. Kerlap-kerlip cahaya lampu, suara musik yang kencang, dan seorang DJ terlihat beraksi di sebuah podium di pinggiran area.
“Wow”, itulah yang keluar dari mulut Amira.
“Kenapa ada anak SMA disini?”, Seorang lelaki bertanya kepada Amira.
“Ya?, oh saya anggota baru”. Dengan cepat Amira menjawab.
“Oooww, anggota barunya Anak SMA?”, seorang yang lain mengekspresikan rasa kagetnya.
“Heyy, tiga tahun yang lalu juga kalian berdua masih SMA”, bertambah lagi seorang yang lain bergabung dengan Amira.
Salah satu dari mereka menenteng segelas minuman beralkohol dengan tenang.
“Oh kamu Amira?”, seorang perempuan yang langka terlihat di tempat itu menyadari kehadiran Amira.
“I.. iya halo”, Amira menyapa dengan ramah walau gugup, namun juga senang karena melihat sesama anggota perempuan.
“Kak Angel!!!, Amira yang kau tanyakan ada disini!”, wanita itu berteriak ke arah sofa yang cukup jauh dari tempat Amira berdiri.
Terlihat ada dua orang wanita lain yang duduk di sana, salah satu dari mereka berjalan menghampiri Amira.
Amira mulai tersenyum dan berusaha menyapa ramah kepada wanita bernama Angel itu, namun wajah ramah Amira berubah seketika saat Angel menarik kerah baju Amira dengan sekuat tenaga. Angel menarik Amira berjalan menyusuri orang-orang yang mulai berteriak seperti bersemangat akan sesuatu.
“Woooo, Angel apa yang kau lakukan”, “Hahahaha, my queeeennn”, “Woooo”. Riuh suara dalam gedung itu terasa mengikuti Amira yang masih terseret oleh Angel.
“Brakk”, Amira di lempar ke dalam sebuah arena Octagon yang berdiri di tengah-tengah gedung luas itu.
“Pakai ini!”, Angel melemparkan sarung tinju dan pengaman kepala kepada Amira yang masih kebingungan.
“A.. ada ap..?”, Namun sebelum pertanyaan selesai, sebuah tendangan mendarat di tubuh Amira, membuat Amira tersungkur merintih.
“Sudah kubilang pakai!”, Angel berteriak sembari melemparkan pelindung kepala yang tergeletak ke arah Amira. Amira baru menyadari Angel sepertinya membuka pakaiannya dan hanya menggunakan semacam pakaian dalam untuk berolah raga.
“Bugh, brakk”. beberapa kali Amira tersungkur ke segala arah. Dari pada berusaha menyerang balik, Amira terlihat berusaha memakai pelindung kepala sambil berusaha melarikan diri keluar Octagon.
“Hei, kalau kau ingin aku berhenti memukulimu, kau harus bersedia keluar dari Under Hell!”. Ucap wanita itu pelan namun penuh dengan emosi.
Amira ingin segera mengatakan bersedia keluar dari Under Hell, namun nafasnya yang terengah-engah, serta pukulan bertubi-tubi dari Angel terus membuatnya terbungkam, tidak sanggup untuk berbicara.
Hingga bahkan sulit bagi Amira untuk berdiri. rasa ngeri untuk melihat langsung ke arah Angel membuat Amira mencoba untuk melihat ke arah lain. Sebuah kebiasaan yang Amira lakukan setiap mendapatkan pukulan dari ayahnya sepertinya Amira lakukan saat itu juga. Sembari berpikir mungkin saja hari itu hari terakhirnya melihat dunia.
Pandangan Amira yang mulai kabur, menatap sesosok yang familiar. Jelas sosok itu menatap Amira lekat, walau seperti tak berusaha untuk ikut campur atas apa yang terjadi, Arthur menatap Amira, sambil duduk dengan santai di sebuah sofa yang menghadap ke arah Octagon.
Pukulan yang lebih intens di banding pukulan dari ayahnya, membuat Amira tak bisa menahan perasaan lucu untuk hidupnya. Amira tertawa tipis karena berpikir akhirnya kehidupan yang melelahkan akan benar-benar berakhir. Sebelum kemudian kesadarannya menghilang, mengikuti pendengarannya yang memang sudah tak berfungsi beberapa saat sebelumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments