Aku keluar untuk mengambil air minum yang sudah habis. Langkahku terhenti saat mendengar suara ibu dan kakak iparku di dapur. Aku bersembunyi di balik pintu ingin mendengar perbincangan ibu dan anak itu.
"Si Ayu mulai pelit."
"Ya sudah sih, Bu. Jangan kayak orang susah. Ibu belanja lagi aja di warung."
"Iya juga, Dit. Biar nanti ibu umpetin juga dagingnya."
"Nah, bener Bu. Sana beli daging, Bu. Dita juga ngiler pengen makan daging kayak si Ayu."
Ibu mertuaku menodongkan tangannya.
"Minta uang buat beli daging, Dit."
"Lha, kok minta sama Dita, Bu ? Aku ini tamu, jarang numpang makan disini. Harusnya ibu minta sama Bagas dan Ayu."
"Kamu kan tahu adikmu penghasilannya pas-pasan. Istrinya pelit lagi. Percuma minta sama Ayu, gak bakal dia ngasih duit. Yang ada dia malah mengerjai ibu. Lima puluh ribu aja, masa kamu gak ada sih, Dit ? Katanya Adit baru dapat bonus."
"Dapat bonus dari Hongkong ? Pulang aja seminggu sekali."
"Maksudnya gimana, Dit ?"
"Mas Adit ngasih duit pas-pasan, Bu. Terus kerjaannya sibuk banget. Sering lembur tapi gaji gak naik-naik. Aku yg kesini aja nekat karena habis ribut. Jual emas dulu biar punya ongkos."
"Lha, kok bisa gitu Dit ? Terus uang sepuluh juta Bagas gimana ? Bisa ngamuk dia."
"Ya mana Dita tahu. Lagian ibu segala bilang kalau uangnya aku yang pake. Kenapa gak bilang aja kalau ibu yang pake. Haduh, hutang bank aja belum lunas."
"Hutang bank ?" Ibu mertua memekik kaget. Bukan hanya ibu mertua, aku pun lebih kaget.
"Iya, Bu. Yang buat bangun rumah. Itu hasil hutang bank. Tapi ibu jangan bilang-bilang, malu aku, Bu."
"Astaghfirullah, Dita... Kok kamu baru cerita ?"
"Mas Adit ngelarang. Tapi gak usah pusing lah, Bu. Yang penting suamiku bayar hutang, ya meski jatahku yang kurang.
"Aduh, gimana dong ini ? Ibu gak enak sama adik kamu. Dia minta uangnya di balikin buat modal usaha."
"Gampang lah itu, Bu. Biar nanti Dita yang ngomong sama Bagas. Gak bakal dia nagih-nagih lagi."
Wah-wah, Mbak Dita tega banget. Udah tahu adiknya lagi butuh uang, malah seenak jidat ngomong kayak gitu. Padahal sudah hutang bank, tapi tetap hutang uang adiknya juga. Makanya kalau belum mampu ya di tahan dulu. Kalau begini kan bikin repot semua orang.
Aku masuk aja lagi ke kamar, biar nanti ngomong sama suami. Pokoknya mau tak mau Mbak Dita harus mengembalikan uang Mas Bagas.
***
"Mbak, Bagas mau ngomong."
"Mau ngomong apa ? Mbak capek mau istirahat."
"Pas itu gak jadi ngomong, jadi sekarang waktu yang pas."
"Ya udah, buruan ngomong."
Terpaksa Mbak Dita duduk lagi.
Aku dan suami sengaja mau membahas soal hutang saat ibu dan bapak tidak ada dirumah, agar tidak ada yang membela Mbak Dita.
"Bagas minta uang Bagas. Setidaknya lima juta dulu."
"Kamu kok perhitungan banget sih, Gas ? Mbak pasti bayar, tapi gak sekarang juga."
"Terus kapan, Mbak ? Nunggu Otan bisa masak, hah ? Katanya banyak duit. Kami gak minta lho, Mbak. Kami nagih uang kami."
"Emang duit Mbak banyak. Tapi duitnya Mbak deposito di bank. Lama pencairannya. Tunggulah sebulan."
"Duh, keburu kumisan aku, Mbak. Gini aja deh, telpon Mas Adit, tanya punya saldo berapa, langsung aja bayar." Ujarku tak mau bertele-tele. Dia pikir aku bisa di bohongi. Oh tidak, aku sudah dengar semuanya. Kakak iparku ini gaya selangit, ekonomi sulit.
"Kalian ini sama saudara sendiri perhitungan banget, matre ! Mbak juga gak bakal kabur. Noh, rumah Mbak aja ada di kampung ini. Lagian yah, motor yang kamu pakai sekarang, uang DP nya dari siapa, kalau bukan dari Mbak. Waktu Mbak masih kerja juga sering kasih uang belanja sama ibu buat makan kamu juga. Mbak baru hutang segitu aja udah di tagih terus."
"Kalau gak butuh juga gak bakal di tagih, Mbak."
"Iya, Mbak tahu. Tapi ya sabar."
"Sabar sampai kapan, Mbak ? Selama ini Bagas selalu ngalah sama Mbak. Gak untuk kali ini. Uang itu hak Bagas. Kalau Mbak mau perhitungan, catat berapa uang yang Bagas pakai, potong dari sepuluh juta itu."
"Kamu ini benar-benar perhitungan, Bagas !"
"Lha, Mbak yang perhitungan. Sampai semuanya di ungkit."
"Kamu !"
"Mbak !"
Hadeh, sampai subuh gak bakalan selesai perdebatan ini. Aku duduk saja menunggu duo kakak adik ini selesai adu mulut.
"Ada apa ini ?"
Bapak dan ibu mertuaku pulang.
"Bagas tuh, Pak, Bu. Perhitungan banget. Dia nagih terus."
"Mbak yang perhitungan. Semua yang di kasih ke Bagas di ungkit."
"Emang benar kok."
"Bagas juga benar mau nagih. Cepat kembalikan uang Bagas !"
"Diam kalian ! Udah besar bikin malu bapak saja. Masalahnya apa sih ?"
Ibu mertua angkat bicara. Dia menjelaskan duduk permasalahannya karena semua ini berawal dari sikapnya yang tidak amanah dan tidak adil pada salah satu anaknya.
"Bu, Bu... minjem duit anak kok gak izin dulu."
"Ya, maaf pak, namanya juga waktu itu buru-buru."
"Ya sudah, Dita berikan saja uang adikmu. Dua atau tiga juta saja dulu, sudah cukup buat buka usaha."
"Hhhmm, uangnya gak ada, Pak."
"Katanya dapat bonus ?" Suamiku mengernyitkan dahi. Aku memang belum cerita soal obrolan ibu dan Mbak Dita di dapur.
"Belum."
"Lha, terus uang Bagas bagaimana, Mbak ?"
"Ya, mana Mbak tahu. Percuma kamu nagih sama Mbak dan Mas Adit. Sampai mulut kamu berbusa pun, kami emang lagi gak ada uang. Mas Adit saja belum gajian."
"Ya udah, habis gajian, Mbak." Celetukku.
"Gak bisa juga."
"Terus kapan, Mbak ? Jangan seenaknya dong." Suamiku mulai emosi.
"Ya, Mbak gak tahu. Gaji Mas Adit juga paling sisa buat makan doang."
"Lho, kok bisa ?" Tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Nanya terus sih, gak bisa, ya gak bisa."
"Ya, gak bisa nya kenapa Mbak Dita yang cantik kayak anak itik. Astaga, emosi deh akoh." ujarku mengibas-ngibaskan kerudung, panas.
"Banyak nanya kamu, Yu." Mbak Dita hendak bergegas ke kamar namun Mas Bagas mencekal tangannya.
"Jawab, Mbak !"
"Ih, lepasin. Sakit, Bagas !"
"Bagas, jangan seperti itu pada Mbakmu."
"Jawab, Mbak !"
"Uangnya buat bayar hutang bank."
Akhirnya Mbak Dita ngaku sendiri. Wajahnya memerah karena kesal dan langsung pergi ke kamar. Mas Bagas tidak lagi menahannya.
"Bu, gimana dong ?"
"Ya, ibu gak tahu, Gas! Ibu mana punya uang sebanyak itu. Bapakmu aja kerjanya serabutan."
"Sudah, sabar aja, Gas. Tunggu Mbak mu punya uang."
Orang tua Mas Bagas malah berlalu begitu saja tanpa memberi solusi. Dia duduk di sofa dengan wajah frustasi. Aku tahu suamiku sedang menahan amarahnya.
Kasihan sekali suamiku, sejak kecil sudah di tinggal orang tuanya merantau, setelah mereka ada malah memperlakukan nya berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments