"Maksud ibu ?"
"Uang sepuluh juta kamu ibu depositkan di bank."
"Lalu gimana, Bu ? Masa gak bisa ? Bagas lagi butuh buat usaha. Kalau penghasilan Bagas banyak kan juga buat ibu."
"Gak bisa, Bagas."
"Wah, jangan-jangan uangnya habis." Mulutku sudah gatal dari tadi diam.
"Enak aja ! Suudzon kamu, Ayu ! Uangnya ada, tapi....."
"Tapi apa, Bu ?"
"Bukan di ibu. Ada di mbak kamu."
"Lha, kok uang Bagas bisa di mbak Dita ?"
"Mbak mu pinjam buat bangun rumah."
"Maksudnya buat bangun rumah Mbak Dita setahun yang lalu ?"
Ibu mertuaku mengangguk.
Ku lihat wajah suamiku sangat kecewa. Dengan kasar di tendangnya meja yang berada di depannya.
"Jangan kasar sama orang tua, Bagas."
"Bagas kesel sama ibu. Itu uang Bagas, kenapa gak bilang dulu sama Bagas ? Bilang doang, apa susahnya Bu ?"
"Pas itu Mbak mu kekurangan uang buat nerusin bangun rumah. Kalau bilang kamu, takutnya kamu gak kasih. Kan kasihan Mbak kamu. Malu kalau di omongin tetangga bangun rumah gak jadi."
"Tapi ibu gak malu kalau aku gak jadi nikah sama Ayu."
"Bukan gitu. Toh, kamu juga tetep nikah sama Ayu."
Mas Bagas tidak menjawab ucapan ibu mertuaku lagi. Kulihat suamiku mengepalkan kedua tangannya, berusaha meredam amarah. Lalu, langsung masuk ke kamar.
Sekarang tinggal aku dan ibu mertua.
"Bu... Bu... Walaupun itu uang anak, tetap amanah toh, Bu. Masa minjemin gak izin dulu sama yang punya. Untung aja aku menantu ibu yang siap siaga, sabar dan ikhlas luar biasa. Kalau gak, bisa-bisa anak ibu gak jadi nikah."
"Gak usah ikut campur kamu. Sini ganti uang ibu. Gara-gara kamu uang lima puluh ribu ibu melayang."
"Melayang kemana ? Dibawa burung ? Orang makanannya masuk perut ibu. Itu namanya bukan melayang, Bu. Tapi di timbun di perut. Hahaha."
Aku bergegas menyusul suamiku ke kamar sebelum mertuaku kumat.
Aku usap punggung suamiku agar dia tenang. Kasihan, dia terlihat sangat frustasi.
Aku juga kesal, tapi mau bagaimana lagi. Dari dulu memang sudah curiga, apalagi karakter kakak ipar ku yang tidak mau kalah dan iri hati.
"Percuma kamu ngambek kayak gini, Mas. Gak bakalan bisa merubah waktu, ataupun merubah sikap ibu kamu. Mending kita telpon aja Mbak kamu. Minta dia ganti uangnya sekarang."
Mbak Dita memang punya rumah disini, tapi dia lebih sering pergi ke kota menemani suaminya yang kerja disana.
"Mas malas berurusan sama Mbak Dita. Dia itu egois."
"Ya, dari pada uangnya ludes. Kalau di deposit ke bank uang berbunga banyak. Coba Mas hubungi."
Suamiku mencoba menghubungi kakaknya berkali-kali namun panggilan tak dijawab.
"Nanti di coba lagi lain kali, Mas. Kamu istirahat dulu, pasti capek. Gak usah di pikirin, Mbak Dita biar aku yang nagih."
"Makasih sayang, maaf ya... hampir enam bulan pernikahan tapi aku belum bisa membuat kamu bahagia. Malah membuat kamu semakin merasakan sikap orang tua ku yang pilih kasih."
"Santai, Mas. Yang penting bukan kamu yang egois. Bisa kena serangan asam lambung aku kalo kamu yang kayak gitu. Kalo ibu sama keluarga kamu mah, tenang. Kita lawan sama-sama, hehehe. Udah kayak kamu perang aja, canda. Maksudnya kita hadapi sama-sama. Namanya juga hidup, pasti ada aja masalahnya. Kalau gak mau ada masalah, ya cuma di alam kubur."
"Hehehe, bisa aja sayang. Ya sudah, Mas mandi dulu."
Sebagai seorang istri sudah sepatutnya aku mendukung dan memberi ketenangan pada suami. Kalau aku juga menyalahkannya, mau kemana dia mencari rumah untuk meneduhkan hatinya ?
"Mas, makan yuk..."
"Kamu duluan aja, sayang. Mas belum lapar."
"Bohong. Ini udah jam delapan malam lho, Mas. Masa gak lapar ?"
"Iya, nanti Mas makan."
Suamiku pasti malas keluar kamar. Tidak mau bertemu ibu dan bapaknya yang ujung-ujungnya pasti malah berdebat. Oke, sebagai istri yang baik aku harus tetap menjaga kesehatan suami.
Diam-diam aku mengendap ke dapur. Jangan sampai ketahuan ibu mertua, karena pasti akan di ceramahi panjang kali lebar karena gak memberikan uang belanja.
"Enak nih, ayam goreng sambal geprek."
Aku ambil nasi dan lauk di rantang, sengaja biar muatnya banyak. Kan porsinya berdua sama suami tercinta.
"Hayo, ketahuan kamu mau rampok makanan ibu."
"Astaga ibu, aku pikir penampakan mbak Kunti." ujarku pura-pura kaget sambil memeluk rantang yang sudah di tutup.
"Sembarangan, ibu ini manusia kamu bilang setan. Makanya tuh mata melek !"
"Udah melek, Bu. Ayu mau ke kamar dulu, Bu."
Ibu mertua malah menghalangi jalan keluar dari dapur.
"Enak aja, mana ibu lihat kamu makan pakai apa ? Harusnya kamu sadar diri, udah gak kasih uang belanja, makan tuh tahu sama tempe."
"Dih, emang makannya pakai tahu tempe doang. Di meja juga adanya itu doang. Ibu sih, pasti lupa nutup tudung saji nya. Tadi tuh ada kucing. Untung aku cepat kesini, jadi masih sisa tuh tempe sama sayur."
"Ah, masa ?"
"Iya, ibu lihat aja tuh."
Ibu tak lagi menghalangi jalan keluar dari dapur. Dia panik segera mengecek makanannya. Kesempatan itu aku gunakan untuk kabur.
"Ayu !!!" Teriak Ibu mertua setelah aku masuk kamar. Pasti dia syok, masakannya sudah habis. Aku sih santai, paham betul ibu tak akan berani mengetuk pintu kamar kami, takut berdebat sama suamiku. Bisa-bisa disinggung lagi soal uang.
"Ibu kenapa manggil kamu, sayang ?"
"Salah panggil kali, Mas. Udah, ini ayo makan. Enak banget nih, aku suapin ya..." Suamiku tersenyum dan mengangguk. Dia memang manja, tapi aku suka. Kami makan dengan nuansa romantis, saling suap-suapan. Meskipun di luar mertuaku pasti sedang mencak-mencak karena kesal.
Aku sih bodoh amat. Tak mau ambil pusing. Toh, selama ini ikut iuran juga buat kebutuhan rumah sama dapur. Atau gak tinggal potong aja dari uang suamiku. Bukannya hitung-hitungan, tapi di usia pernikahan kami yang belum setahun memang terasa seret urusan ekonomi.
Namanya juga masih baru memulai.
"Mas, kita pindah aja yuk ke rumah bapak." Usulku setelah selesai makan.
"Kamu yakin sayang ? Disana kan ada ibu tiri kamu. Mas gak mau kamu malah makin gak nyaman."
"Iya juga sih. Ya udah, kita merantau aja ke Jakarta, gimana ? Ikut mama kandungku."
"Tapi, Mas belum ada uang untuk merantau, sayang. Maafin Mas ya."
"Ya sudah, deh." Aku tarik selimut bersiap untuk tidur saja. Kadang kesal juga saat suami sulit sekali diajak keluar dari rumah orang tuanya. Padahal demi kebaikan dia juga. Ya sudah, kita lihat saja sampai kapan dia tahan dengan sikap keluarganya yang seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments