Sebenarnya resign bukan pilihan yang tepat, tetapi aku terlalu malu oleh perkataan teman-taman yang mencari perhatian Aa Yusuf.
Seminggu sudah aku di rumah tanpa aktivitas berarti. Mencari-cari lowongan pekerjaan di internet, mengantar lamaran ke sana ke mari.
"Zaman sekarang susah nyari kerja, Neng. Wajah cantik, kulit putih bersih, kamu sudah punya modal, tuh," ucap preman depan kompleksku.
Aku mengerti maksud ucapan mereka. Memiliki fisik seperti itu, bisa saja aku mengikuti jejak Mama
***
Kuhentikan motor matic di sebuah warung bakso tepi jalan. Mengisi perut yang kosong. Memesan semangkok mie ayam bakso dan segelas es jeruk peras, lalu memilih duduk di pojokkan.
Saat itu, aku melihat pria dan wanita memasuki warung bakso ini, mungkin mereka sepasang suami istri. Sang wanita memakai pakaian syar'i begitu indah terlihat.
"Ratu." Ternyata lelaki itu Aa Yusuf.
Aa Yusuf melangkah ke arahku, meninggalkan wanita berpakaian syar'i yang sedang memesan bakso.
"Assalamualaikum, Ra." Ra? Belum ada yang memanggil namaku dengan singkatan begitu, mungkin karena aku juga tidak punya teman akrab.
"Minta nomor HP kamu!"
Aku menyebutkan dua belas digit nomor teleponku. Aa Yusuf segera permisi karena wanita berpakaian syar'i itu sudah selesai dengan pesanannya.
kulihat diri ini, rambut berponi yang terkuncir dengan setelan celana panjang dengan baju kemeja pas bodi. Ah, sangat jauh penampilan dengan wanita itu.
***
"Dari mana kamu seharian, Ratu?" tanya Mama yang sudah menungguku di ruang tamu.
"Melamar pekerjaan, Ma," jawabku sambil mencium tangannya.
Aku meninggalkan ruang tamu yang sudah dipenuhi gadis-gadis Mama.
Ponselku berdering, ada panggilan masuk dari nomor baru. Ternyata panggilan dari Aa Yusuf.
"Aa mau nanya, kenapa kamu tidak menunggu aa selesai salat dan tidak datang-datang lagi?"
"Maaf," ucapku.
"Ra ...." Terdengar suara panggilan dari seberang sebelum tombol merah di ponsel kutekan.
***
Aku sudah lupa kapan terakhir kali bisa tidur nyenyak, tanpa dentuman musik yang baru mati saat azan Subuh berkumandang.
Baru saja akan memejamkan mata, pintu kamar kembali digedor.
"Ratu, bangun!"
Dengan malasnya aku turun dari tempat tidur, saat pintu kamar dibuka, seseorang langsung menarik tanganku.
"Apa-apaan ini, Om?"
Ternyata tempat ini dirazia. Sudah hampir lima tahun tidak pernah ada razia, kenapa sekarang ada razia lagi.
"Tunggu, Om, ambil HP dulu." Aku segera meraih ponsel di atas meja.
Sesampainya di pintu belakang, ternyata sudah ramai orang. Mereka menyelamatkan diri masing-masing.
Di tengah malam begini, aku harus ke mana? tidak punya sahabat yang bisa kudatangi. Menginap di hotel, tidak punya uang. Hanya mencoba menekan nomor ponsel Mama.
"Ratu, mama lagi di kantor polisi, jangan hubungi dulu!" bisik Mama.
Jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. Aku hanya menggunakan piama selutut, dinginnya angin malam terasa menusuk ke dalam tulang, yang terpikir setelah Mama, hanya Aa Yusuf. Ingin menghubunginya, tetapi takut bila istrinya marah.
Aku sudah berada di luar kompleks, melewati pemukiman warga, tanpa alas kaki, terkadang telapak kaki ini menginjak batu yang terasa sakit menusuk.
Tampak sebuah musala kecil berada di ujung jalan, melangkahkan kaki ke sana, semoga malam ini dapat beristirahat sebentar walau hanya untuk menyandarkan badan.
"Bangun, hei bangun!" Sayup suara yang kudengar.
Mencoba membuka mata walaupun terasa berat, ada dua orang yang menggunakan mukena seperti ingin melaksanakan salat Subuh.
"Maaf, Bu, saya tertidur di sini," ucapku.
Warga-warga sudah mulai berdatangan, sepertinya waktu Subuh sudah dekat.
Para peronda pun telah selesai melaksanakan tugasnya.
Melihat orang-orang berkumpul di teras musala, mereka langsung menghampiri.
"Ada apa ini?" tanya salah seorang dari mereka.
Aku merasa terpojok, bingung harus berkata dan menjelaskan apa.
"Dia itu, orang kompleks depan. Tadi malam di kompleks itu ada razia, kabur dia itu."
Begitulah ucapan mereka, aku sudah tidak tahu lagi siapa yang berkata.
"Pelacur ini, sudah pergi kamu, berani-beraninya menginjakkan kaki di kampung kami!"
Ibu-ibu itu mendorong, menyuruhku pergi dari tempat ini.
"Ra," sapa Aa Yusuf yang mungkin heran melihatku subuh-subuh begini sudah berkeliaran di sini.
"Kamu kenal dia, Yusuf?" tanya ibu-ibu bermukena putih itu.
"Dia teman kerja saya," jawab Aa Yusuf sambil membuka jaket yang dia pakai, lalu memberinya kepadaku.
"Jangan kamu dekat-dekat dengan perempuan itu, Yusuf! Dia pasti pelacur juga," teriak salah satu warga.
Aa Yusuf menoleh ke arahku, aku hanya menggelengkan kepala tanpa ada kata yang bisa terucap. Menangis? Sudah tidak bisa mata ini mengeluarkan air mata.
"Tunggu aa sampai selesai salat, Ra! Aa mohon."
Aa Yusuf menyuruh warga bubar dan segera melaksanakan salat Subuh berjamaah. Lima belas menit kemudian, salat selesai. Aku masih duduk di teras musala menunggunya.
Aa Yusuf mengajak ke rumahnya agar diri ini bisa beristirahat dan sarapan. Aku menolak karena segan dengan wanita di warung bakso itu, takut bila istrinya akan marah.
Setelah mendengar penjelasannya, ternyata wanita itu adalah adiknya. Akhirnya aku mau ikut walau ada rasa takut, takut orang tuanya akan marah. Sesampainya di rumah, semua ketakutanku sirna, Ibu dan Adik ternyata sangat baik.
"Nak Ratu, mandi dulu! Bersihkan badannya biar segar, baru kita sarapan bersama," ucap ibunya.
"Pakai baju Salma aja, Kak!"
Aku melihat ke arah Aa Yusuf, dia hanya mengangguk sambil tersenyum. Selesai mandi, di atas tempat tidur sudah tersedia baju yang akan kupakai. Keluarga Aa Yusuf sudah menunggu untuk sarapan. Selesai sarapan aku membantu Salma mencuci piring.
"Kak, Kakak cantik pakai baju syar'i seperti ini."
"Tapi kakak nggak punya," jawabku malu.
"Kamu nggak harus langsung berpakaian syar'i, Ra! Bisa dulu berpakaian yang panjang dan longgar, menutupi aurat," sambung Aa Yusuf yang ternyata dari tadi mendengar pembicaraan kami.
Salma meninggalkan kami, aku masih dengan cucian piring dan Aa Yusuf masih berdiri di depan pintu.
"A ...," ucapku ragu.
"Kenapa, Ra?"
"Ajari Ratu salat, bisa?"
"Alhamdulillah, tentu bisa, tetapi kamu biar ibu yang mengajarkan."
Tiba-tiba ponsel berdering, ada panggilan masuk dari Mama. Mama menelepon menanyakan keberadaanku, meminta share lokasi karena dia akan menjemput.
Lima belas menit setelah itu terdengar suara klakson mobil, aku segera pamit menyalami Ibu. Aa Yusuf mengantar sampai ke depan rumah.
"Terima kasih, A, atas pertolongannya."
"Ratu buruan!" bentak Mama.
Terlihat di wajah Mama bahwa dia tidak senang dengan Aa Yusuf.
Setelah aku masuk ke dalam mobil, Mama bertanya kenapa aku berteman dengan lelaki miskin seperti itu.
"Ini apaan lagi, baju seperti ini, kuno banget."
Mama mengangkat ujung bajuku. Aku hanya diam, tidak menjawab satu kata pun.
Mobil mengarah ke sebuah apartemen, salah satu punya Mama. Di dalam kamar sudah ada paper bag berisi pakaianku. Mama meminta untuk mengganti pakaian.
Aku pilih baju yang setidaknya menutup aurat, walaupun tidak ada yang longgar seperti yang dikatakan Aa Yusuf.
Mama mengajak ke toko roti tempat diri ini bekerja kemarin. Sepertinya Mama marah dengan perkataan mereka. Kenapa Mama harus marah? Padahal yang dibilang mereka semunya benar.
Sesampainya di toko roti, Mama memborong semua kue yang sudah terpajang.
"Biar mereka tahu, mama punya banyak uang, bisa membeli mulut-mulut mereka yang sok suci," ucap Mama dengan sombongnya.
Aku hanya diam, tidak berani melawan Mama. Ia kembali menatap Aa Yusuf dengan tajam yang berada di situ. Setelah puas membuat kegaduhan dan pamer harta, Mama mengajakku pergi.
"Jangan kamu berteman lagi dengan laki-laki itu, mama akan nikahkan kamu dengan Om Pras!" ancam Mama.
Om Pras lelaki kaya sudah beristri, yang dari dulu ingin menikahiku.
Aku mengatakan kepada Mama bahwa sudah mendapatkan pekerjaan, padahal setiap hari keluar rumah hanya untuk belajar mengaji dan salat dengan ibunya Aa Yusuf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nuranita
mana episodex pendek bnget y
2022-10-13
0
Nuranita
aq ga ragu buat ngasih vote
2022-10-13
0
Septi Msi Yogyakarta
ini kisah nyata bukan sih kak thor
2020-12-14
4