Kehadiran Aa Yusuf mulai terasa di hati. Saat dia berkata ingin menemui Mama untuk melamarku. Perasaan diri tidak pantas itu muncul. Masih banyak perempuan yang berilmu agama di luar sana.
Takut keluarga baik-baik itu akan dikucilkan warga jika pernikahan itu terjadi. Mana mungkin aku bisa membiarkan orang sebaik mereka harus menanggung aib, anak laki-laki kebanggaannya menikahi anak seorang germo. Aku akan mencoba menjaga jarak, walaupun itu terasa berat.
"Ratu, ada cowok nyari, tuh. Cowok idaman banget. Dia berani langsung ngelamar lu ke mami," ucapan Kak Dinda mengejutkan.
Aku berlari ke lantai bawah. Ternyata benar, sudah ada Aa Yusuf di situ.
"Berani kamu datang kemari, cuma modal cinta? Anak saya ini sudah ada calonnya. Orang kaya raya, kamu dibandingkan dia, bukan apa-apa. Jangan pernah bermimpi bisa mendapatkan Ratu. Bawa ke sini uang seratus juta! Baru saya izinkan menikahi Ratu."
Kata-kata Mama membuatku sakit, ternyata di mata Mama aku hanya sebatas nominal.
Mama rela melihat anaknya menjadi istri simpanan yang penting punya menantu kaya raya. Hanya kalimat menyuruhnya pulang, yang sanggup keluar dari bibirku.
Aa Yusuf dipaksa keluar oleh orang-orang suruhan Mama. Sejak hari itu, Mama mulai mengekang. Tidak boleh lagi keluar rumah. Bahkan saat aku mandi, ponsel diambil Mama, lalu dipecahkannya.
Duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan TV. Memikirkan nasib, apakah selamanya harus di sini atau dengan menikahi Om Pras aku baru bisa bebas.
Oh, tidak. Mana mungkin menikah dengan lelaki yang sebaya dengan Mama. Kenapa Mama tidak pernah bersikap baik kepada diri ini? Dari kecil, aku belum pernah dipeluknya, apa lagi Papa. Tahu bagaimana wajah Papa saja, tidak. Terkadang aku menertawakan diri sendiri saat membayangkan nasib ini.
"Cowok yang kemarin cakep, ya," ucap Kak Dinda seraya menjatuhkan badannya di sofa merah.
"Siapa?"
"Sok lugu lu. Sudah cakep, berani. Wah, kalau jadi istri dia, gue nggak mau keluar kamar, dah."
"Mesum." Aku melempar bantal kursi ke muka Kak Dinda.
"Jangan bucin! Emang kamu bisa kenyang dengan cinta?" cerca Mama mengagetkan kami.
Karena cinta dia akan berusaha memenuhi kebutuhan pasangannya. Karena cinta dia berusaha membuat pasangannya bahagia. Perkataan itu mengalir begitu saja. Mengakibatkan satu tamparan mendarat perih di pipi kananku.
Kak Dinda yang masih berada di situ berusaha membela. Akan tetapi, dia juga dibentak Mama. Bagaimanapun Mama memperlakukanku, tidak ada lagi air mata yang menetes. Aku seakan tidak punya stok air mata.
***
Menemani Kak Dinda shopping itu sudah menjadi rutinitas jika dia dapat kiriman dari sugar daddy-nya.
Ucapan Aa tentang pakian juga selalu kuingat. Walaupun hanya punya celana jeans panjang dan memakai atasan tunik, setidaknya tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Sementara Kak Dinda menggunakan mini dress model baby doll di atas lutut.
Mobil melaju membelah keramaian jalan raya. Di dalam mobil, kukeluarkan jilbab pemberian Aa Yusuf. Ada rasa tenang saat memakainya. Aku rindu dengan orang yang memberi jilbab ini.
"Sudah berapa lama kalian nggak komunikasi?” tanya Kak Dinda memecahkan lamunanku.
"Ada dua bulanan, Kak."
"Masih ingat nomor ponselnya?"
Aku mengangguk, Kak Dinda mengambil ponsel dari dalam tas dan menyodorkannya kepadaku. Dua belas digit nomor ponsel Aa kutekan.
Hanya suara operator telepon seluler yang menjawab. Dengan nada lirih aku mengatakan bahwa nomor ponselnya tidak aktif. Saat itu Kak Dinda mengusap kepala inj dengan tangan kirinya.
Mobil kami masih berputar mencari tempat parkir kosong, mal terbesar di kota ini biasanya akan selalu ramai saat akhir pekan. Hampir setengah jam dihabiskan untuk mencari parkiran.
Saat memasuki mal, keadaan di dalam lebih padat. Kak Dinda langsung mengajakku ke toko pakaian dalam.
"Beli pakaian dinas dulu, biar uang tetap ngalir," kelakar Kak Dinda. Aku hanya tersenyum kecut.
"Lu mau beli apa? Biar kakak belikan."
Menolak tawaran Kak Dinda dengan halus karena aku tahu sumber uang itu dari meminta suami orang.
Setelah bertanya kepada salah seorang SPG tentang keramaian di lantai bawah, barulah kami tahu kenapa kepadatan mal ini berbeda.
Acara kompetisi para chef dalam bidang cake and bakery yang diadakan stasiun TV, hadiah utamanya cukup besar, seratus juta. Sudah dua bulan kompetisi ini dilaksanakan, sekarang hanya menyisihkan lima orang.
"Mungkin ada aa kamu di situ." Kak Dinda langsung menarik tanganku untuk berjalan ke arah lift.
Sesampainya di lantai bawah. Keadaan penuh sesak, dengan bersusah payah, kami menerobos penonton untuk sampai ke barisan depan. Sialnya, saat tiba di depan, para chef sudah meninggalkan panggung. Masa jeda bagi para chef Senior untuk memberi penilaian.
Kami tinggalkan tempat tersebut.
Berjalan menuju foodcourt. Setelah memesan makanan, Kak Dinda pamit ke toilet sebentar.
"Ra?"
Aku melihat siapa yang menyapa, ternyata lelaki berpakaian putih, dress code seorang chef.
"Boleh aa duduk di sini?" Sambungnya sambil menarik kursi.
Aa Yusuf duduk di depanku, menatap dengan penuh arti. Mungkin dia heran melihat diri ini sekarang sudah memakai jilbab. Aku hanya tertunduk malu sambil memainkan ujung jilbab.
Terdengar deheman Kak Dinda yang sudah kembali dari toilet.
"Kenalin, ini Kak Dinda," ucapku kepada Aa Yusuf.
"Panggil Dinda aja!" sahut Kak Dinda.
Aa Yusuf bertanya kenapa nomor ponsel tidak bisa dihubungi lagi, setelah memberi tahu bahwa ponsel dipecahkan Mama, dia memberikan ponsel miliknya dan katanya dia akan membeli ponsel yang baru, tetapi aku harus pandai menyimpannya jangan sampai ketahuan.
Aku melihat ke arah Kak Dinda. Kak Dinda berjanji tidak akan memberi tahu Mama perihal ponsel ini.
"Titip Ratu, ya, Din!" pinta Aa kepada Kak Dinda.
"Lu harus menangkan seratus juta! Gue nggak mau lama-lama lu titipin Ratu." Kak Dinda langsung menyeruput coffe ice pesanannya.
***
Aku mengira semua berjalan lancar, ternyata mengelabui Mama itu bukan mudah. Saat aku melaksanakan salat Isya, pintu kamar didobrak. Tetap berusaha khusuk, tetapi mukena ditarik dari belakang hingga terlepas.
"Kenapa juga kamu salat, anak haram?"
Teriakan Mama ini menyakitkan..
"Jangan sok suci, Allah itu tidak ada saat kamu susah, percuma saja taat." Mama menarik-narik rambutku.
Seperti itulah perlakuan yang sering aku terima semenjak kecil jika mencoba belajar agama.
"Kalau tidak mau diatur, pergi cari ayahmu! Jangan bisanya menghamili dan tidak mau tanggung jawab. Sudah syukur saya lahirkan kamu. Tahu begini, dulu saya bunuh saja saat masih di dalam perut. Ingat, kamu harus membalas semua kebaikan saya!"
Mama tidak henti memaki. Aku hanya bisa duduk memeluk lutut di sudut kamar. Sedih itu pasti, tetapi jangan berharap aku mengeluarkan air mata.
Drrrttt!
Ponsel di dalam lemari pakaianku bergetar. Mama membuka lemari dan menemukan ponsel tersebut, secepat kilat Mama melempar ponsel ke lantai dan beranjak keluar kamar.
Terdengar suara Mama menelepon Om Toni untuk menculik Salma.
Cepat kuambil ponsel yang dilempar tadi. Bersyukur masih bisa hidup. Menekan nomor Aa Yusuf, untuk memberi tahu apa yang aku dengar, tetapi panggilanku tidak dijawab.
Kak Dinda berteriak, agar aku menyalakan TV. Ya Allah, benar. Betapa Allah sudah mempermudah segala urusan. Aa Yusuf berhasil menjadi juara. Walaupun dia berhasil mendapatkan uang seperti yang Mama minta, Mama mungkin tidak akan menepati janjinya. Mama itu licik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments
Nuranita
sumpah ikut kesel sama mamax
2022-10-13
0