Aku Anak Germo

Aku Anak Germo

Pertemuan kembali

Tinggal di kompleks lokalisasi bukan hal bagus untuk anak perempuan yang telah berusia dua puluh tahun sepertiku. Pernah mencoba untuk sewa indekos menggunakan sedikit gaji yang diri ini terima dengan bekerja di sebuah toko roti, tetapi itu tidak berlangsung lama.

Setiap kali aku meninggalkan rumah, kaki tangan Mama menjemput paksa dan tidak jarang mereka membuatku malu.

Jika bersikeras tidak ingin pulang, mereka berkata tentang anak siapa aku, hal itu membuat diri ini dikucilkan teman-teman indekos. Kalau sudah begitu, dengan terpaksa pulang juga ke sarang setan itu.

Bagi gadis-gadis Mama, mereka memakai siang hari untuk istirahat dan malam hari untuk bekerja. Beruntung jika mendapat sif pagi dan pulang sore, setibanya di rumah, aku akan membawa semua keperluan seperti makanan dan minuman ke dalam kamar. Aku tidak ingin keluar kamar jika mereka sudah bekerja

Sialnya jika mendapat sif siang, pulang kerja malam pukul sepuluh dan sampai di rumah sudah pukul setengah sebelas. Aku akan melewati gadis-gadis berpakaian hanya sejengkal dari pangkal paha. Belum lagi mata-mata pria hidung belang menatap liar seakan ingin menerkam.

Malam ini benar-benar merasa bosan. Suara dentuman musik dan aroma alkohol selalu menemani. Segera mengambil jaket dan kunci motor, keluar rumah meninggalkan tempat ini, walau entah ke mana aku pun tidak tahu.

Tanpa disadari, kepergian ini diketahui Mama, orang-orang suruhannya sudah menghadang motor dan memaksa diri ini turun lalu ikut pulang bersama mobil mereka.

"Hei, lepaskan dia!" Suara laki-laki berteriak dan berlari ke arahku.

"Jangan ikut campur!"

Bug!

Satu pukulan mendarat di wajahnya.

"Sudah pergi saja! Mereka orang suruhan mama, saya nggak apa-apa." Hanya itu yang mampu aku ucapkan kepada lelaki itu.

Aku berhasil dibawa ke dalam mobil, melihat lelaki itu masih berdiri menatap ke arahku sambil mengelap sedikit darah di sudut bibirnya.

"Maaf!" teriakku.

***

Mama sudah menunggu di dalam kamar.

"Dari mana kamu, Ratu?"

"Cuma keluar bentar, mau cari makanan."

"Kamu jangan bohong, ya! Saya ini mama kamu, saya tahu itu bohong. Jangan coba-coba kabur dari rumah ini! Kalau berusaha kabur, kamu akan mama kurung selamanya. Mulai besok nggak usah kerja, uang saya banyak, berapa pun yang kamu butuhkan saya ada," ucap Mama seraya melangkah keluar kamar.

***

Pagi ini ada jadwal sif, dengan susah payah akhirnya bisa merayu Mama untuk mengizinkan berangkat kerja, tetapi dengan catatan aku harus diantar jemput oleh Om Toni—salah satu orang kepercayaannya.

Toko roti tempatku bekerja kedatangan koki baru, keahliannya membuat berbagai macam cake dan roti tidak diragukan lagi. Dengan sekejap, cake polos itu bisa diubahnya menjadi cake berharga ratusan ribu.

Jam istirahat makan siang, aku duduk sendiri di Rest area khusus karyawan, menikmati bekal sederhana yang kubawa dari rumah.

"Sendirian aja?" sapa koki baru tadi.

"Iya, Pak," jawabku bingung harus memanggil apa.

"Nggak usah manggil ‘Pak’, panggil saja saya Yusuf, Aa Yusuf!"

'

"A Yusuf orang Sunda, ya?" Aa Yusuf hanya menganggukkan kepalanya.

"Tadi malam, kamu nggak apa-apa?"

"Tadi malam?" Aku balik bertanya sambil memikirkan maksud pertanyaan Aa Yusuf.

"O ... Aa yang tadi malam mau nolongin saya, ya? Maaf, A, bagaimana lukanya? Kalau saya tidak apa-apa." Refleks tanganku ingin menyentuh bekas lukanya.

Aa Yusuf menghindar. "Maaf, jangan!"

Aku pun menarik lagi tanganku.

"Mana dia mengerti itu, A. Di rumahnya aja laki-laki dan perempuan bisa tidur sekamar."

Mendengar perkataan mereka, membuat aku sangat malu, malu sekali. Ingin marah, tetapi yang dikatakannya itu benar.

"Permisi, A." Aku pun pamit menyudahi makan. Berjalan ke loker untuk menyimpan kotak bekal.

"Darah pelacur mah gitu, lihat yang cakep aja langsung ngeluarin rayuan."

Sakit mendengarnya, karena aku bukan pelacur.

Aku tidak mempunyai teman, mereka takut berteman dengan diri ini, takut akan ada bau busuk yang menempel jika dekat-dekat dengan sampah.

Aku selalu berusaha menghindari Aa Yusuf, bukannya sombong, tetapi aku takut dengan laki-laki. Selama ini lelaki yang aku lihat hanya butuh wanita untuk nafsunya saja. Aku tidak tahu apa rasanya jatuh cinta dan terlalu menutup diri untuk lawan jenis.

Hanya mendengar cerita cinta itu dari gadis-gadis Mama, mereka bilang mencintai suami orang, dibelikan ini itu oleh suami orang. Ah, dasar pelakor, kisah cinta apa yang bisa kuambil dari pelakor-pelakor itu.

***

Peraturan baru di toko tempat aku bekerja, satu Minggu sekali akan mengadakan pengajian di malam Jumat. Karyawan yang mendapat sif pagi di hari Kamis, langsung disambung dengan pengajian sehabis jam kerja. Cuma aku karyawan wanita di sini yang tidak menggunakan jilbab, mendengar info mendadak seperti itu, diri ini langsung panik, apa aku harus keluar dulu membeli jilbab?

Jaket kupasang, bergegas mencari toko terdekat untuk membeli selembar jilbab, saat akan menutup loker, ternyata Aa Yusuf sudah berdiri di samping tubuh ini.

"Ini, pakai!" Aa Yusuf menyodorkan selembar kain.

"Apa ini, A?" tanyaku heran dan segan jika terlihat oleh mereka kami sedang berdua.

"Jilbab, sudah disiapkan untuk kamu. Ambil saja! nggak usah susah-susah mencari keluar lagi." Sedikit ragu aku mengambil jilbab di tangannya.

Loker kubuka kembali untuk berkaca saat mengenakan jilbab. Air mata menetes, baru kali ini aku temui lelaki yang menyuruh diri ini menutup aurat.

Pengajian diisi ceramah dan sebelumnya dibuka dengan pembacaan ayat suci Al-Quran yang dibacakan oleh Aa Yusuf. Semua mata teman-teman memandang kagum kepadanya, sedangkan aku hanya tertunduk malu, merasa hina, tidak pantas berada di tempat sesuci ini.

Azan Magrib berkumandang, para peserta pengajian bergantian mengambil air wudu, salat Magrib berjamaah akan dilaksanakan.

Aku tidak punya mukena. Malu rasanya, tidak pernah dibolehkan salat dari kecil.

"Nggak ada gunanya salat, kalau darah pelacur dan uang haram ngalir di badan kamu." Begitulah hardikkan Mama.

Aku memang cantik, tetapi buta agama.

"Kamu nggak salat, Ra?" Pertanyaan Aa Yusuf mengagetkanku.

"S–saya lagi datang bulan," jawabku terbata-bata.

"Dia mana pernah salat, A."

Kembali pernyataan dari teman sekerja itu membuat malu, sudah tidak ada muka lagi dibikin mereka.

"Aa salat dulu, tunggu sampai selesai!" Pinta Aa Yusuf kepadaku.

Lelaki sempurna, sudah tampan dan pintar ilmu agama. Saat mendengar ayat-ayat yang dibacanya sebagai imam salat Magrib ini, hatiku sangat iba, merasa tidak pantas ada di antara mereka. Aku pergi dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini--Aku resign.

Mobil yang menjemput sudah menunggu di parkiran toko, jilbab pemberian Aa Yusuf kubuka dan menyimpannya di dalam tas.

Terpopuler

Comments

momnaz

momnaz

Bagus bagus karya kak othorrr realistis...suka banget...

2023-02-24

0

Nuranita

Nuranita

peetama baca dah falling in love sama ceritax dan cara penulisanx yg bagus👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻❤❤❤❤❤

2022-10-13

0

Nurlaila Ginting

Nurlaila Ginting

aku bc ini yg kedua setelah Abang Samy dan nisa membuat aku Baper

2022-02-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!