Sudah pukul sebelas malam, tetapi Tari masih terjaga. Hatinya gundah, karena semua keluarganya saat ini masih rawat inap di rumah sakit. Dia hanya tinggal berdua dengan sang kakak ipar di rumah.
Sejak kejadian aneh siang tadi, Tari lebih banyak diam di kamarnya dengan dalih sibuk mengerjakan tugas. Dia hanya keluar sesekali untuk mengambil minum di dapur dan berberes rumah, rutinitas wajibnya setiap hari. Ketika makan malam pun dia mengaku masih kenyang.
Malam ini, Tari mengalihkan rasa gundahnya dengan menonton drama Korea melalui HP-nya. Rasa takutnya perlahan memudar melihat cerita kocak yang ditontonnya.
"Hahaha..."
Suara tawa sang tokoh utama membuat Tari hampir saja membuatnya ikut tertawa. Namun Tari mengingat saat ini sudah malam.
"Hahaha..."
Suara tawa itu terdengar lagi. Tapi kok kedengarannya beda? Terdengar lebih melengking dan sangat jelas.
Tari buru-buru membuka headshetnya. Benar saja, Tari masih bisa mendengar suara tawa itu, padahal adegan di dalam drama tersebut sudah berganti.
"Su-suaranya dari mana?" Tari mengusap tengkuknya yang merinding. Suara itu masih terdengar, namun semakin samar.
"Aku takut Pak, Bu. Kapan kalian pulang," batin Tari sambil bersembunyi di dalam selimut.
Padahal dulu dia bukanlah anak yang penakut. Bahkan ketua kelompok pramuka ini selalu lolos dalam kegiatan jurig malam. Tapi sejak pertemuannya dengan Laksmi, semuanya berubah. Tari mulai sering merasa merinding tanpa ada sebab yang jelas.
Syyuuu...
Angin dari luar menyeruak masuk melalui celah jendela. Tari menarik bantal guling ke dalam pelukannya. Masih dengan dada yang berdegup kencang, Tari memejamkan matanya lekat-lekat, berharap segera tidur dan menemui pagi.
"Hahaha..."
Tari tak bergerak lagi, kala suara tertawaan itu terdengar sangat lirih. Sepertinya dia tetidur, ditemani sesosok makhluk berwajah pucat yang menyeringai lebar di balik punggungnya.
...***...
Sret! Sret! Sret!
Tari terbangun karena mendengar suara ribut dari samping kamarnya. Suaranya terdengar jelas, layaknya seseorang yang sedang menyapu atau menarik sesuatu di atas dedaunan kering.
"Jam berapa ini?" gumamnya lirih, sambil meraih HP dari atas nakas di samping tempat tidur.
Ternyata masih pukul tiga pagi. Sontak bulu kuduk Tari meremang. Memangnya siapa yang menyapu halaman pukul tiga pagi?
"Tunggu! Jangan-jangan itu maling!"
Tari teringat pohon alpukat dan pohon durian mereka yang sedang berbuah lebat. Berusaha berpikir positif, dia pun menyibakkan kain gorden dan mengintip keluar.
Glek! Dalam hitungan detik, Tari pun menyesali keputusannya. Sesosok makhluk setinggi atap rumah dan mengenakan baju putih, tampak mondar-mandir di bawah pepohonan. Rambutnya yang menjuntai panjang, menyapu dedaunan kering.
"Makhluk apa itu?" Tari buru-buru menutup gorden dan bersembunyi di balik selimut. Napasnya memburu dan air matanya menetes. Seumur hidup, dia baru sekali melihat makhluk seperti itu.
Tiba-tiba ada tangan yang menyentuh pundak Tari dari belakang. Remaja itu menjerit dalam hati, sembari mempererat dekapan selimutnya. Jantungnya hampir melompat keluar.
"Si-siapa itu?"
Tari tak berani menoleh. Dia masih menyimpan ketakutan yang mendalam. Berbagai pikiran negatif menusuk-nusuk syaraf otaknya. Tentu saja pikirannya mengarah ke makhluk tak kasat mata yang kerap mengganggu manusia.
"Dek? Kamu kenapa?"
Suara ini, Tari sangat mengenalnya. Awalnya dia sedikit ragu, tetapi akhirnya remaja itu pasrah dan berdoa dalam hati. "Semoga gak ada apa-apa," batinnya.
"Dek?"
Tari membuka selimutnya perlahan. "Mbak Laksmi? Fyuh, syukurlah. Aku kira siapa," ujar Tari bernapas lega. "Eh, tunggu. Mbak kok bisa ada di sini?"
"Mbak tadi mau ambil minum ke dapur. Tapi lihat lampu kamarmu menyala, dan pintunya sedikit terbuka. Kamu nggak sakit, kan?"
Laksmi menaruk telapak tangannya di kening Tari. Seperti biasa tangan itu terasa sangat dingin bagai orang mati.
"Aku nggak apa-apa kok, Mbak. Tadi nggak sengaja terbangun aja," kilah Tari.
"Oh, ya udah. Tidur lagi, sana. Ini masih malam," ujar Laksmi dengan lembut.
Tari pun mengangguk patuh. Namun, sepersekian detik kemudian jantungnya berhenti sesaat. Ketika sang kakak ipar berbalik badan, Tari melihat dedaunan menempel di ujung rambut dan gaun tidurnya.
"I-itu daun pohon durian dan alpukat," pekik Tari dalam hati. Tubuhnya pun lemas seketika.
...***...
"Dek, ayo makan. Mbak ada beli nasi megono, nih." Laksmi mengetuk pintu kamar Tari yang tertutup rapat. "Dek? Kamu udah bangun?"
Tok! Tok! Tok!
"Dek?" Laksmi mulai cemas, saat tak mendengar jawaban dari dalam. Dia lalu memutar kenop pintu dan membukanya. "Tari? Kamu demam?"
Laksmi merasa suhu tubuh adik iparnya lebih tinggi dari biasanya. Dia lalu berlari keluar, satu menit kemudian kembali dengan baskom berisi air, serta handuk bersih.
"Kok nggak bilang sama Mbak kalau kamu demam?" ujar Laksmi seraya mengompres kepala sang adik.
"Ya karena aku takut sam Mbak," batin Tari. Namun gadis itu tak menyangka, sang kakak ipar yang dia takuti mau repot-repot mengompresnya.
"Setelah ini kamu makan, ya. Mbak ada beli nasi megono di warungnya Mbak Aruna. Kalau nggak kuat, sekolahnya libur aja, nanti Mbak izin ke gurunya," ujar Laksmi.
"Loh, tumben Mbak beli sarapan? Kalau mau masak biar aku bantu," ujar Tari dengan lemah. Kepalanya terasa sangat berat dengan pandangan berkunang-kunang.
"Gimana kamu mau bantu Mbak, kalau bangkit dari kasur aja nggak bisa?" balas Laksmi sedikit mengomel.
"Uh, iya juga," gumam Tari. Dia menumpu tubuhnya dengan kedua tangan, dan berusaha duduk di tempat tidurnya.
"Lagian kamu pasti bosan makan telur sama tahu tempe terus, kan? Sesekali beli sarapan enak juga," sambung Laksmi sembari memeras handuk yang sudah terasa hangat. "Dan aku nggak mau penyamaranku di rumah ini terbongkar dengan cepat," sambung Laksmi dalam hati.
"Gak mungkin kuntilanak bisa sebaik ini, kan? Pasti kebetulan aja daun itu nempel di rambut Mbak Laksmi. Ah, bukan. Pasti tadi malam aku cuma salah lihat," pikir Tari menenangkan pikirannya.
"Assalamualaikum."
Tiba-tiba terdengar suara dari depan rumah. Tari segera meloncat dari kasur, seolah melupakan dirinya yang sedang demam.
"Bapak sama Ibu udah sembuh? Loh, Mas Ndaru mana, Bu?" tanya Tari menyongsong kedatangan kedua orang tuanya.
"Mas-mu masih harus dirawat, Nduk. Mudah-mudahan besok bisa pulang," ucap Bu kesha.
"Syukurlah, apa boleh nanti siang aku jenguk ke rumah sakit?" balas Tari.
"Ya boleh to, Nduk." Kali ini Pak Darya yang menjawabnya.
"Dek, Mas-mu itu ada dua. Mas yang ini kok gak ditanyain kabarnya?" protes Satya.
"Lah, Mas kan udah kelihatan batang hidungnya. Gak perlu ditanyain lagi," balas Tari sambil terkekeh. Tapi dia tetap menjulurkan tangannya untuk salim pada abang tertua.
"Jadi kamu itu demamnya karena kangen sama Bapak Ibu? Sampai-sampai Bapak Ibu dah pulang, kamu langsung sembuh," celetuk Laksmi yang baru muncul di ruang tamu.
"Loh, kamu demam?" Bu Kesha langsung menyentuh jidat Tari. "Ah, iya. Badan kamu panas. Apa kamu ada mual dan muntah-muntah juga?"
"Uumm ..." Tari tak mau cerita, kalau dia kemarin memuntahkan semua isi perutnya, setelah melihat Laksmi memakan ikan berbelatung.
"Kok cuma 'umm'?" desak Bu Kesha.
"Ada muntah sedikit. Tapi habis itu gak apa-apa kok, Bu," jelas Tari.
"Ya udah, nanti pas ke rumah sakit menjenguk Mas-mu, sekalian aja berobat," kata Bu Kesha. Tari pun mengangguk.
"Bapak Ibu udah sarapan? Kita sarapan bareng, yuk. Aku udah beli nasi megono tadi," ajak Laksmi mengalihkan pembicaraan.
"Kali ini aku sudah sangat berhati-hati. Mereka nggak boleh tahu, apa yang mereka makan," pikir Laksmi sambil tersenyum tipis.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
FiaNasa
kok heran sama Kunti satu ini masak walau dibacakan ayat² suci oleh pak.dukun saat ketakutan itu gak mempan juga
2023-10-18
1
gulla li
ngeri bgt ru Kunti 😱Mereka makan apa ya, hii 🤮
2023-08-31
1
Ai Emy Ningrum
ya udah Laksmi,biyar penyamaran mu ga terbongkar dgn cepat,sabar2in aja jd manusia nya 🙈 jd manusia itu ga mesti sempurna ,apalagi jd Kuntilanak ..hihihi #ketawakunti
👻👻
2023-08-31
3