“Permisi, Mbah,” ucap Satya.
“Mbah? Enak aja. Dasar nggak sopan! Terus sajennya mana? Aku lapar."
Sosok itu tampak marah. Kemeja safari berwarna cokelat muda itu mendadak berlumuran darah. Sosok itu mengukir senyuman yang sangat lebar di wajahnya. Tangannya memanjang hendak menyentuh bahu pemuda tampan itu.
Tapi kemudian gerakannya mendadak berhenti. “Lho, lho dia ngapain? Ih, gak sopan."
Sosok yang menyerupai wanita itu terkejut tatkala Satya menurunkan risleting celananya, dan mengeluarkan hajatnya yang tertahan. Ia pun terbang membelakangi Satya, yang menunaikan tugas pentingnya.
"Kamu benar-benar gagah dan auramu besar sekali. Kamu harus jadi milikku. Hihihihi."
"Hah? Apa itu? Kok kayak ada suara ketawa?"
Hadyan yang menunggu Satya di dalam mobil mendadak merinding. Kepalanya celingukan ke kanan dan ke kiri untuk melihat keadaan. Dia mendapati pohon randu di dekat Satya bergoyang bagai tertiup angin. Tapi hanya pohon randu itu yang bergerak, pohon lainnya tidak.
Kraaaak! Kraaaak! Kraaaak!
Terdengar suara langkah kaki yang seperti menginjak dedaunan kering. Satya buru-buru menyudahi kesibukannya dan kembali ke mobil.
“Gimana? Udah dapat jalannya?” tanya Satya.
“Ck, belum nih. Jalan yang kita lewati tadi udah benar, kok. Harusnya tiga puluh menit aja, kita udah sampai ke desa,” keluh Hadyan.
“Kita tanya sama orang aja,” usul Satya.
“Lah, ngaco! Orang mana yang kita tanyain? Sepi gini.” Hadyan menghembuskan napas pelan, hingga kaca jendela di sebelahnya berembun.
“Itu!” tunjuk Satya. Seorang wanita mengenakan daster panjang bermotif bunga-bunga dan rambut panjang, berjalan di sisi kiri jalan tak jauh dari mobil mereka.
“Astaga! Kok ada cewek malam-malam di hutan?” Pemuda berambut cepak itu lantas mengubah posisinya setengah berdiri. Dia kembali teringat suara tawa misterius tadi.
“Ngapain kamu?” tanya Satya bingung.
“Lihat kakinya. Itu orang beneran atau bukan?”
“Huss! Nggak sopan! Udah pasti orang, lah. Bajunya kan nggak putih. Punggungnya juga gak bolong,” balas Satya lagi. “Pasti suara daun tadi karena langkah kakinya.” Satya berusaha berpikir positif.
“Nggak semua hantu pakai baju putih dan punggungnya bolong,” decak Hadyan menegaskan.
“Udahlah, percaya aja sama aku. Mending kita tanya sama mbak itu. Kamu mau terjebak di sini semaleman?” Satya mendesak rekannya, untuk memajukan mobilnya.
Gulp! Hadyan menelan ludahnya. Dia tak punya pilihan lain, selain mengikuti usul rekannya tersebut. Mobil mereka pun bergerak pelan, mendekati wanita berambut panjang itu.
"Permisi, Mbak. Boleh tanya?" Satya membuka kaca jendelanya, lalu menyapa wanita itu.
Hadyan yang merasa ketakutan, sontak memejamkan matanya rapat-rapat. Dia nggak siap melihat kejutan yang hendak terjadi.
"Oh iya, Mas. Mau tanya apa?"
Suara lembut yang membalas pertanyaan Satya, membuat Hadyan memberanikan diri membuka matanya secara perlahan. Dia terpana melihat kecantikan yang dimiliki gadis sederhana itu. “Syukurlah, beneran orang rupanya,” batin Satya.
"Jalan menuju ke Desa Wingit ke arah mana, ya?" tanya Satya lagi.
"Oh maksudnya Dusun Wingit?" ucap perempuan itu. Satya pun mengangguk.
"Yang itu, Mas. Ikutin jalan tanah itu. Lurus aja terus sampai ketemu pos ronda. Jangan belok ke jalan setapak di sebelah kanan,” jawab dara manis itu dengan ramah. “Mas-nya emang dari mana? Kok malam-malam bisa ada di hutan?" ucapnya sambil melempar senyum manis.
"Kami lagi ditugaskan kantor untuk di sekitar sini, Mbak," balas Satya. "Makasih ya, Mbak. Ngomong-ngomong Mbak mau ke mana? Butuh tumpangan?" imbuhnya.
"Nggak perlu, Mas. Saya lagi cari hewan peliharaan saya yang lepas," balas wanita itu.
"Baiklah, kalau gitu kami permisi dulu, Mbak. Terima kasih," ucap Satya lagi.
Hadyan yang duduk di bangku kemudi hanya melempar senyum, sambil mengangguk ringan. Wanita itu membalas senyumannya dengan sangat lebar dan kelopak mata membesar.
“Astaghfirullah!” ucap Hadyan memalingkan wajahnya dengan cepat.
“Ngopo kowe?” tanya Satya kebingungan. -Kenapa kamu?-
“Ng-nggak, kok.” Hadyan buru-buru menekan pedal gas-nya, dan meninggalkan gadis desa yang masih berdiri di sana.
"Aneh, ini kan jalan yang aku lewatin tadi? Tapi kok kali ini nggak muter ke pohon tumbang lagi, ya?" pikir Hadyan bingung.
"Hadyan, cewek tadi cantik, ya," celetuk Satya memecah keheningan.
"Hah? Ya cantik, sih. Tapi serem tahu. Cari hewan peliharaan di hutan malam-malam gini. Kalo orang gak tahu kan bisa dikirain kunti," celetuk Hadyan. Dia masih teringat senyuman lebar wanita itu.
"Ya elah, penakut amat sih. Mungkin warga desa sini emang udah biasa ke hutan malam-malam," kata Satya.
"Tapi kok wajahnya pucat gitu, ya? Senyumnya juga … "
“Manis, kan?” potong Satya.
Hadyan menghembuskan napas panjang, sambil terus mengemudikan mobilnya di jalan tanah yang berlubang. “Apa aku aja yang terlalu kepikiran?” pikir Hadyan.
“Awas!”
Bruk!
“Opo iku?” tanya Hadyan saat mobilnya telah berhenti. Dia merasa menabrak sesuatu. Lututnya lemas seketika. -Apa itu?-
“Kucing hutan kayaknya. Tapi selamat, kok.” Satya menunjuk seekor hewan yang berlari ke sebelah kanan. “Kowe ngopo, to? Ngantuk? aku ajalah yang bawa mobil,” pinta Satya. -Kamu kenapa, sih?-
“Nggak usah,” balas Hadyan tegas. Tapi baru beberapa meter, Hadyan kembali kehilangan kendali karena nggak fokus.
“Kowe mau bawa aku ke jurang? Ayo cepet tuker tempat. Aku aja yang bawa mobil,” desak Satya.
Kali ini Hadyan tak bisa membantah, Mereka pun bertukar posisi dan melanjutkan perjalanan.
"Btw kita belum makan malam, lho. Kira-kira di dusun ada warung yang masih buka nggak ya? Makan mi rebus juga nggak apa-apa deh, buat ganjel," ucap Hadyan mengusap perutnya.
"Kalo laper di kursi belakang ada roti sama air minum, tuh. Ganjel itu aja dulu," balas Satya tanpa menoleh. Jalanan curam dan berbatu memaksanya harus tetap fokus.
Hadyan pun memutar tubuhnya ke belakang, untuk mengambil roti. Gerakan tangan Hadyan terhenti, saat melihat pemandangan aneh di belakang mobil mereka. Sesosok wanita berjalan tepat di belakang mobilnya, sambil melempar senyum pada Hadyan.
"Kok dia bisa ngejar mobil ini?" pikir Hadyan bingung. "Ah, bukan itu. Dia kok bisa senyum sama aku? Harusnya kan nggak bisa lihat ke dalam mobil," pikir Hadyan merinding. Wanita itu masih mengejar mobil mereka sambil tersenyum pada Hadyan.
"Loh, gak jadi makan, kowe?" tanya Satya.
"Ng- nggak, nanti ajalah," ucap Hadyan dengan suara bergetar. "Bisa lebih kencang, gak? Biar cepat sampai desa,” pinta pemuda itu.
"Walah, gemblung kowe! Ya nggak bisa, lah. Jalannya turunan gini. Kamu mau masuk jurang?" gerutu Satya. -Duh, gila kamu.-
"Nggak, kok. Hahaha."
Hadyan tertawa hambar. Bola matanya berputar ke arah spion kiri. Bayangan wanita yang tersenyum di sana membuat peluhnya mengalir deras.
"Ini nggak bener," pikirnya.
Tiga puluh menit kemudian, mereka pun melihat kelap kelip lampu dan bangunan sederhana dari papan. Itu adalah pos ronda yang dikatakan wanita tadi. Satya pun menepikan mobilnya, untuk menyapa warga desa yang sedang ronda.
"Permisi, Pak. Boleh kami numpang istirahat?" sapa Satya dan Hadyan.
"Oh, boleh. Kalian ini dari mana? Kok malam-malam bisa ada di hutan?" tanya salah seorang pria berkumis tebal.
"Kami PNS Kehutanan dari Provinsi, Pak. Ditugaskan di sini untuk ..."
Senyum di wajah Satya menghilang. Kedua bola matanya membesar tatkala melihat sosok wanita yang berjalan menuju pos ronda. "Kok dia udah ada di sini? Apa ada jalan pintas menuju pos ronda?" pikirnya terkejut.
Rasanya tak mungkin seorang wanita bisa berjalan secepat kilat di pegunungan, meski mobil tersebut hanya melaju dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
gulla li
udah, pingsan aja kamu haydan
2023-08-26
3
gulla li
kaget bgt pasti haydan
2023-08-26
1