"Kami Pegawai Kehutanan dari Provinsi, Pak. Ditugaskan di sini untuk ..."
Senyum di wajah Satya menghilang. Kedua bola matanya membesar tatkala melihat sosok wanita yang berjalan menuju pos ronda sambil membawa serta seekor kambing. "Kok dia udah ada di sini? Apa ada jalan pintas menuju pos ronda?" pikirnya terkejut.
Rasanya tak mungkin seorang wanita bisa berjalan secepat kilat di pegunungan, meski mobil tersebut hanya melaju dengan kecepatan empat puluh kilometer per jam.
"Nak? Ada apa?" tegur seorang pria, menatap Satya dengan aneh.
"Nggak ada apa-apa, Pak. Apa di sini ada mushola dan warung nasi? Kami belum sholat magrib dan makan malam?" Satya mengalihkan ceritanya.
“Di dekat gapura desa ada warung bakso dan mi instan, sih. Tapi kayaknya udah pada tutup, karena udah lewat tengah malam,” jawab penduduk desa tersebut.
“Tengah malam? Bukannya tadi baru aja magrib, ya?”
Satya dan Hadyan saling berpandangan, dan berbicara lewat bahasa mata. Namun jam digital di ponsel mereka menunjukkan, bahwa ucapan warga desa itu memang benar.
"Kalau mushola sih ada di dekat balai desa," timpal Pak Kumis.
“Oh, gitu ya Pak,” balas Hadyan. “Jadi gimana? Kita langsung keluar desa aja?” bisik Hadyan pada rekannya.
“Ya terpaksa gitu, deh. Lagian udah laper banget ini,” jawab Satya.
"Kalau kalian lapar, mau makan di rumah Bapak aja? Kayaknya ada mi instan sama telor di rumah. Tapi ya gitu, ala kadarnya,” tawar salah seorang pria dengan blangkon di kepalanya.
Air liur Hadyan menetes, mendengar kata ‘mi instan’. Tetapi hatinya juga sedikit ragu, mengingat kejadian aneh yang menimpa mereka sejak tadi.
Growlll! Suara perut Hadyan yang nyaring pun membuat semua orang di sana tersenyum geli. Tidak termasuk Hadyan tentunya.
"Nggak, aku nggak mau berlama-lama di desa ini. Dari tadi udah banyak kejadian aneh. Entah apalagi yang akan terjadi, kalau kami masih di sini," pikir Hadyan gelisah.
Menurutnya, lebih baik menahan lapar, daripada harus mengalami kejadian yang gak masuk akal. Pemuda berambut cepak itu melirik ke arah rekannya. Untunglah, Satya memiliki pikiran yang sama.
"Maaf, Pak. Kami udah telat banget dan harus segera pulang. Tapi kami mohon izin numpang sholat di mushola," kata Satya dengan sangat hati-hati.
"Betul, Pak. Sebenarnya kami juga masih punya sedikit persediaan roti dan minum di mobil. Masih bisa untuk ganjel perut menjelang sampai di kecamatan," ucap Hadyan menambahkan.
"Oh, ya udah. Kalau gitu biar saya antar ke mushola. Karena malam-malam gini, lampunya dimatiin semua," ujar pria yang mengenakan blangkon tersebut.
"Terima kasih, Pak," ujar Satya dan Hadyan.
Lampu mobil yang dikendarai oleh Hadyan dan Satya perlahan menghilang di balik tikungan. Suasana lereng gunung itu kembali sunyi dan temaram. Siaran televisi tengah malam nggak begitu menarik, membuat ketiga pria yang masih di sana mulai mengantuk.
“Kok tiba-tiba dingin dan bau kembang melati, ya?” celetuk salah seorang peronda, sembari membenarkan posisi sarungnya.
"Halah, palingan ambune parfum cah-cah tadi," kata Pak Kumis. Jemarinya sibuk memencet remote TV untuk mencari siaran bagus. -Mungkin itu bau parfum anak-anak tadi.-
“Iyo yo? Hawanya beda. Kadang bau kembang melati. Kadang bau anyir. Apa jangan-jangan dia muncul lagi?” balas pria lainnya, setelah hening beberapa saat.
“Huss, jangan ngomong gitu! Ini kan bukan malam jumat kli .. won.” Pak kumis menghentikan kalimatnya di tengah-tengah.
Mereka semua saling berpandangan dan menatap ke langit. Benar saja, malam ini adalah bulan baru dan gelap gulita. Selain itu malam jumat kliwon menurut penanggalan Jawa.
“Hei, apa kita udahan aja rondanya? Mending pulang sebelum ketemu sama dia,” kata pria yang mengenakan sarung.
“Mau ke mana, Pak? Saya aja baru datang. Hihihi …”
Sesosok perempuan berdiri tepat di samping pos ronda, dengan senyuman lebar hingga ke pipi. Matanya yang hitam legam, meneteskan air mata darah.
"Waaaa! Damar! Tungguin!"
Damar yang paling muda, serta pak kumis yang terkesan garang, ternyata sudah kabur duluan. Bukan tak setia kawan. Tetapi lebih baik pergi, sebelum bertemu sosok legenda yang menyeramkan itu.
...***...
"Terimakasih udah mengantar kami Pak ..."
"Pak Dukun. Panggil aja saya Pak Dukun," ucap warga desa itu sambil tertawa renya.
"Em, terima kasih Pak Dukun," ucap Hadyan dan Satya dengan kompak.
"Iya, sama-sama. Beneran nggak apa-apa saya tinggal? Saya harus balik ke pos ronda," tanya Pak Dukun.
"Oh, nggak apa-apa, Pak. Setelah sholat kami juga mau langsung pamit. Nanti lampunya akan kami matikan lagi," kata Hadyan dengan cepat.
"Ya sudah. Nanti hati-hati di jalan, ya. Jangan sampai tersesat lagi," ujar Pak Dukun sembari berlalu pergi.
"Baik, Pak. Terima kasih," jawab Satya.
"Heh, Satya! Kamu nggak merasa ada yang aneh?" bisik Hadyan, sembari menatap punggung Pak Dukun yang semakin hilang ditelan kegelapan.
"Ono opo meneh, to? Hayuk sholat, biar cepat pulang," kata Satya memaksa rekannya bergerak. -Ada apa lagi, sih?-
"Kok Pak Dukun bisa tahu, kalau kita abis tersesat? Kan kita nggak cerita sama warga tadi," kata Hadyan sambil menaikkan kedua alisnya.
"Lah, iya. Benar juga," gumam Satya mangut-mangut. "Ah, tapi wajar aja, sih. Namanya juga dukun." Wajah tegang Satya kembali berubah datar, seperti nggak ada kejadian apa-apa.
"Tapi ..."
"Ck! Udah cepetan sholat, abis itu cari makan. Cacing di perutku bentar lagi tewas, nih," desak Satya. Dia lalu bergerak mendekati mimbar, hendak menunaikan sholat. Hadyan pun menyusul di belakang.
"Sat, kamu terluka? Kok diam aja dari tadi?" Hadyan mendadak menghentikan gerakannya dan menatap Satya cukup lama. Dia baru melihat keanehan di baju rekan kerjanya tersebut.
"Hah? Luka apaan? Wong aku baik-baik aja, kok," kata Satya bingung.
"Itu, punggungmu berdarah. Emang gak terasa?" tanya Hadyan lagi.
Satya pun melihat punggungnya, melalui sebuah potret yang diambil Hadyan. Memang benar, seragam cokelat muda yang dikenakan pemuda itu, tampak bercak merah di bagian kerah dan punggung. Kelihatannya masih cukup baru.
"Mungkin cuma terkena getah pohon," balas Satya santai. Dia memang gak merasakan apa-apa di punggungnya.
"Kayaknya ini bukan getah. Ambune agak amis. Gak bisa dipakai untuk sholat," kata Hadyan lagi. -Baunya-
Satya pun terpaksa membuka kemejanya, dan menggantinya dengan kaos putih dari dalam ransel.
"Ini aneh gak, sih? Dari awal kita udah tersesat di hutan, terus kita nyampe desa tengah malam. Pdhal baru aja magrib. Terus punggungmu berdarah," kata Hadyan. "Apa jangan-jangan, karena kamu pipis sembarangan di hutan itu?" tebaknya.
"Huss! Ngaco kamu! Aku udah izin sebelum buang air," bantah Satya. "Terus, semua keanehan kan udah terjadi sebelum aku buang air," imbuhnya membela diri.
Jderrrr! Tiba-tiba kilat menyambar kuat. Angin bertiup dengan kencang. Cuaca yang syahdu dan damai, berubah menjadi kacau.
"Astaghfirullah! Ada apa lagi ini? Kok cuaca tiba-tiba berubah," ucap Hadyan sedikit menggerutu.
"Mas ... Mas ..."
Terdengar suara wanita memanggil-manggil, di tengah riuhnya suara angin dan gesekan dedauan di atas atap. Seluruh tubuh Hadyan meremang. Bola matanya yang kecoklatan, melirik ke arah Satya dengan wajah tegang. Rupanya wajah Satya jauh lebih tegang dan pucat. Pemuda itu berdiri kaku, dengan sehelai sarung di tangannya.
"Dyan, kamu dengar suara itu, nggak?" bisik Satya dengan suara bergetar.
"I-iya. Aku dengar," balas Hadyan dengan lutut bergetar.
Jderrrr! Kilat kembali menyambar di langit. Bagaikan lidah api dari naga, yang hendak memusnahkan bumi.
Satu per satu butiran air hujan pun turun, menimpa atap mushola yang terbuat dari seng. Suaranya riuh, memekakkan telinga.
"Mas ... Mas ..." Suara lembut itu terdengar lagi.
Hadyan menutup telinga dan matanya rapat-rapat. Sementara Satya memberanikan diri untuk melihat sekelilingnya. Meski takut, dia juga merasa penasaran dengan asal suara tersebut.
"Astaghfirullah!" Seru Satya tiba-tiba.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments