Aroma berbagai macam masakan mengepul dari dalam dapur mansion Emerald. Pelayan di sana tidak ada yang beristirahat, semua sibuk mondar-mandir mempersiapkan pesta dengan baik. Matahari sudah mulai terbenam yang menandakan bahwa waktu persiapan mereka semakin menipis.
Sebagai pelopor pesta kali ini, Marigold mengecek semua pekerjaan yang sudah hampir sepenuhnya selesai sebelum ia mempersiapkan dirinya sendiri. Seluruh makanan yang tersaji di aula mansion telah tersusun rapi, “Syukurlah kita bisa menangani ini secepatnya.”
Blair dan pengasuh Marigold mengekorinya, “Yang Mulia, apa tidak secepatnya saja Anda bersiap? Anda harus tampil menawan di pesta ini. Kita perlu mempersiapkan Anda dengan baik.”
“Kalian ini terlalu berlebihan, aku akan tampil biasa saja agar ibu yang menjadi satu-satunya bintang di acara ini.” Marigold sejak tadi menyapu pandangan ke seluruh penjuru ruang aula guna mencari keberadaan kembarannya yang tak nampak baik di dapur maupun di aula mansion.
“Omong-omong di mana Meridia?”
Kedua pelayannya tampak enggan menjawab— lebih tepatnya mereka tak peduli anak itu berada di rumah atau tidak. Tak ada yang tahu keberadaan gadis itu sekarang.
Seorang pelayan wanita yang tengah menyiapkan buah-buahan di atas meja pun angkat bicara “Maaf apabila saya menyela, Yang Mulia. Meridia ada di kebun belakang, dia membantu para tukang kebun memetik buah apel hijau."
“Oh benarkah? Dia benar-benar sangat rajin.”
Pengasuh Marigold tak ingin majikannya berdekatan dengan pembawa sial. “Yang Mulia. Mari kita segera bersiap.” ajak pengasuh Marigold.
“Tolong nanti sampaikan pada adikku bahwa aku akan menemuinya setelah aku selesai bersiap.” Marigold menepuk pelan bahu pelayan yang memberitahunya tentang Meridia.
“Baik Yang Mulia.”
Malam telah tiba. Kediaman Marquess mulai kedatangan banyak tamu undangan. Kereta kuda dari banyak bangsawan terparkir rapi di halaman Ziel. Bukan hanya bangsawan daerah sekitar, Ziel bahkan berani mengundang beberapa teman bangsawannya dari kota-kota tetangga. Itu penyebab mengapa pesta ini dipersiapkan dengan amat mewah agar tidak gagal menjamu tamu jauhnya.
Zoya, nyonya besar mansion itu menjadikan tangan suaminya sebagai penyalur kegugupan, meremasnya dengan keras setelah mengintip ke luar jendela “aku sangat gugup. Bagaimana jika aku melakukan kesalahan yang bisa membuatmu malu?”
“Jangan resah begitu, sayang. Ini bukan pertama kalinya kita muncul di hadapan banyak orang, kebanyakan mereka itu teman-temanmu juga,” Ziel mengeluarkan kalimat penenang untuk mengurangi kecemasan yang sedang istrinya rasakan.
Kedua mata Zoya berkaca-kaca terharu dengan sikap lembut suaminya “Ziel…”
Marigold tersenyum melihat kedekatan kedua orang tuanya. Dia mendekati Zoya lalu menggenggam tangan sang ibu untuk menyalurkan kekuatannya yang bisa ia gunakan untuk menyalurkan ketenangan, “Aku dan ayah akan menemani ibu jadi jangan khawatir. Kita akan saling melengkapi.”
“Kalian berdua benar-benar membuatku kehabisan kata.”
“Oh, jangan menangis sekarang, ibu. Dandanan ibu bisa rusak.”
Selagi mereka berkumpul dan memenuhi ruangan dengan suasana hangat yang menyentuh hati, mereka sengaja memberikan tugas lebih banyak di dapur untuk Meridia. Tak ada harapan, tak ada pula keinginan Meridia untuk dibelikan gaun dan ikut menghadiri pesta.
Meridia terus membatin saat tangannya sibuk mencuci peralatan dapur bekas masakan, “Apa mereka harus sekejam ini pada anaknya sendiri? Maksudku, kenapa mereka memperlakukan Meridia seperti anak haram?”
Meridia tak habis pikir melihat keanehan Ziel dan Zoya. Ziel punya alasan tersendiri untuk membenci dan tak menyayangi Meridia, tetapi bagaimana dengan Zoya yang jelas-jelas melahirkannya? Apa hati seorang ibu memang sekeras itu?
Dia memang bukan Meridia yang asli, tapi menjalani kehidupan sebagai kembaran Marigold sang anak emas sudah cukup membuatnya paham apa yang karakter aslinya rasakan.
Bagaimana tidak? Meridia saja merasa sedih dan sakit hati menerima perlakuan buruk itu dan Meridia merasa bersalah telah membenci karakter ini tanpa tahu kehidupannya lah yang membuat dia menjadi seperti itu.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya Meridia bergegas ke kamar untuk beristirahat sejenak. Tubuhnya sudah terasa pegal terlebih kedua kaki sampai ke tumitnya pun ikut terasa panas.
Meridia baru saja sempat membuka pintu dan gema langkah kaki membuatnya menengok ke koridor. Harumnya sampai duluan ke hidung Meridia sebelum orang itu sampai, “Oh wow, kau rajin sekali datang ke asrama pelayan,” cibir Meridia tak lupa dengan senyuman heran.
Menyempatkan diri untuk pamer, huh? Mengagumkan sekali.
Marigold tersenyum seraya memutar badan sampai gaunnya ikut mengembang tertiup angin “Bagaimana menurutmu? Apa gaun ini cocok untukku?” tanya Marigold antusias.
“Kenapa kau harus tanya padaku? Kau pasti sudah mendengar jawabannya ribuan kali bahkan saat kau belum meminta.” Putri Ziel yang terasingkan itu menghela nafas panjang, mencoba tetap sabar.
“Aku sengaja datang ke sini untuk meminta pendapat saudariku. Kau pasti tahu apa yang terbaik untukku ‘kan?” senyuman sok lugu itu membuat Meridia sangat muak.
“Kau baru menganggapku saudari di saat seperti ini? Yang benar saja. Lalu kau memintaku untuk membayangkan aku juga memakai gaun yang sama, karena kita kembar jadi itu memudahkan ku untuk berimajinasi?” Rasanya Meridia ingin mengungkapkan kekesalan itu tetapi ia urungkan dan dengan lidah yang kelu ia melontarkan pujian kosong “Ya, kau terlihat sesuci malaikat. Pergilah dari sini atau gaun indahmu itu akan kotor,” usirnya secara halus.
Marigold tetap berdiri di sana “Aku sudah membelikan hadiah untukmu juga, kau mungkin bisa ikut dalam pesta ini juga.”
“Tidak, terimakasih. Aku sudah cukup mengetahui trik mu lewat wajah malaikat yang dipuja banyak orang itu.” Meridi menujuk wajah Marigold kesal.
“Kenapa kau susah sekali diperingatkan?!” tiba-tiba Marigold meninggikan suaranya.
“Marigold. Perlu kau tahu, tidak semua orang rela menjilat telapak kakimu dan menyembahmu. Kau juga harus terima kenyataannya.”
“Kau menghinaku?! Selama ini aku sudah berbaik hati padamu. Kau pikir siapa yang selalu menyelamatkanmu dari banyaknya cacian dan amarah? Aku kan? Seharusnya kau sadar kau tidak bisa apa-apa tanpa aku.” Marigold meletakkan tangan di dadanya, menyombongkan diri atas apa yang menguntungkan dirinya sendiri.
“Kau hanya mau bersinar dihadapan banyak orang, itu semua bukan semata-mata karena kau mempedulikanku sebagai saudari kandungmu. Hanya karena kau tidak mengatakannya secara langsung bukan berarti aku tidak tahu apa maksud dan tujuanmu yang sesungguhnya.”
“Aku sudah tahu sejak dulu kau memang menyebalkan tapi aku tidak tahu kalau kau benar-benar tidak tahu diri.”
“Kau bisa menghinaku sepuasnya. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar caci makian begini.”
Marigold menjadi sangat kesal melihat saudarinya tetap kukuh dengan pendiriannya. Alhasil dia mendorong Meridia ke belakang dengan keras dan membuat adiknya terjatuh sampai kepalanya terantuk tiang pintu di belakangnya.
“Ack!”Meridia mengaduh kesakitan karena benturan yang tidak pelan itu sampai membuat pandangannya berputar-putar. Rasa pening sekaligus nyeri menjalar hingga ke leher, “Aduh.”
“Kau menjengkelkan sekali. Aku sangat membencimu!” Marigold pergi begitu saja meninggalkan saudarinya yang masih terduduk di lantai akibat ulahnya.
“Sial. Ini sakit sekali, apa sih maunya? Dia yang berulah dia pula yang kesal.” Kepalanya berkedut nyeri. Meridia tak lagi merasa ingin menunggu di kamar setelah suasana hatinya rusak. Ia pun pergi ke taman yang memiliki pencahayaan tak cukup terang untuk mengalahkan gemerlapnya aula mansion. Suasana yang pas bagi Meridia karena remang lampu membuatnya lebih tenang.
Di saat semua orang masuk, Meridia sendiri yang keluar dari mansion untuk mencari udara segar di taman. Udara malam itu cukup dingin, apalagi baju yang dia kenakan tidak cukup tebal untuk melindunginya dari dingin.
“Ah, inilah yang ku butuhkan. Angin yang segar.”
Tidak satupun tirai jendela mansion yang ditutup. Penampakannya terlihat dari luar. Saat itu Meridia duduk di kursi yang memang tidak jauh dari bangunan mansion sehingga matanya masih bisa melihat dengan jelas ke dalam.
Pakaian indah yang hangat, berbincang bersama, memakan makanan yang sehat dan enak. Meridia tersenyum nanar “Kasihan sekali. Meridia dan aku tidak pernah bisa merasakan itu meskipun terlahir sebagai keluarga bangsawan.” Gumamnya sambil membuang muka.
Dari dalam aula terdengar riuh tepukan tangan dari ratusan orang yang hadir dalam pesta ulang tahun Marchioness malam ini, menjadi tanda bahwa si bintangnya pesta telah memasuki ruangan. Ziel, Zoya, dan Marigold selalu tuan rumah memberikan sambutan hangat kepada para tamu.
Satu per satu tamu datang memberi selamat kepada Marchioness dan keluarganya sekaligus berterimakasih atas kebaikan hati mereka telah memberi undangan.
Si tuan rumah juga tidak lupa menyapa beberapa tamunya dan sekarang mereka berhadapan langsung dengan Grand Duke Palmieri yang berasal dari kota tetangga. Mereka secara khusus menyempatkan diri untuk hadir di pesta tersebut yang tentunya bisa memperluas kesempatan bisnis juga selain menambah relasi.
Ziel dan Zoya berterimakasih atas kehadiran mereka “Kami sungguh sangat berterimakasih atas kehadiran Anda dan keluarga di acara kecil-kecilan yang kami adakan ini, Yang Mulia Grand Duke.”
Pria berwibawa penyandang gelar Grand Duke itu tersenyum simpul “Terima kasih sudah mengundangku ke acara bahagiamu, Marquess Emerald.”
Setelah membuka perbincangan dengan lancar, putra tunggal pasangan William dan Helena datang menghampiri sesaat setelah dia selesai mengobrol dengan bangsawan lain.
Zoya dibuat tercengang melihat penampakannya yang sangat rupawan serta tingkat kesopanan yang lebih tinggi. Dia bahkan tersenyum ramah setelah memberi salam, “Saya ucapkan selamat berulang tahun, Marchioness. Semoga Anda selalu dilimpahi kebahagiaan disepanjang tahun ini.” Katanya.
Ziel melirik istrinya bingung sebab Zoya tidak menjawab dan terus memandangi putra Grand Duke tanpa berkedip. Akhirnya Ziel menyikut lengan sang istri untuk membawa kesadarannya kembali “Oh astaga. Terimakasih banyak, Yang Mulia. Anda tampan sekali, Anda juga sangat baik, bolehkah saya mengetahui nama Anda?”
“Nama saya Arden Lund Palmieri, Marchioness.” Balas pemuda yang diketahui bernama Arden itu.
Zoya tersenyum senang "Saya juga punya seorang putri yang sebaya dengan Anda. Maukah Anda menemuinya? Mungkin saja kalian bisa berteman dengan baik.” Ziel sempat takut ucapan sang istri terlalu lancang dan dinilai terlalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia sudah berkeringat dingin menanti jawaban yang keluar dari orang tua Arden.
Helena, sang Grand Duchess, kelihatannya tidak keberatan dan cenderung penasaran dengan siapa anak gadis Zoya, “Silakan saja, saya juga ingin bertemu dengan putri Anda,” Arden dan William melirik Helena. William berdehem membersihkan tenggorokan “Bukankah yang bersangkutan yang seharusnya menjawab?” bisik pria tersebut di dekat telinga istrinya.
“Sudahlah. Apa salahnya bertemu sebentar? Aku dengar putri Marchioness Emerald adalah keturunan Saintess yang memiliki kekuatan pemurnian. Aku sangat penasaran jadi aku ingin melihatnya secara langsung.”
Sesuai rumor yang beredar. Kecantikan Marigold yang setara dengan dewi Aphrodite itu mampu memukau mata banyak hadirin. Senyumannya yang menyejukkan ketika dipandang membuat hati siapa saja meleleh. Matanya yang sebening kristal menatap semua orang penuh kehangatan, rambutnya tampak seperti jalinan benang emas kala tertimpa sorot lampu pesta.
Tidak ada yang bisa menyangkal keindahannya. Baik pria maupun wanita, semuanya mengagumi sosok sempurna Marigold. Ruangan bahkan menjadi hening sebentar lalu dipenuhi decak kagum dari para tamu.
“Wah, tidak heran jika dia disebut keturunan Saintess.” Helena menyanjung penampakan putri Zoya yang begitu mudahnya mencuri spotlight dari ibunya sendiri.
Berbeda dengan kesan orang lain, Arden malah kelihatan biasa saja. Fokusnya bukan pada wajah paripurna Marigold, “Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat.”
Marigold berjalan dengan anggun dan penuh kharismatik, menjepit roknya seraya meletakkan tangan kanan di depan dada lalu memberi salam se-santun mungkin kepada Grand Duke dan keluarganya “Selamat malam, Yang Mulia Grand Duke dan Grand Duchess yang terhormat. Perkenalkan nama saya Marigold Emerald, putri dari keluarga Marquess Emerald.”
Helena menutup mulutnya yang tak mau tertutup “Astaga, kau semakin sempurna saja jika dipandang dari jarak sedekat ini. Kau sungguh seperti seorang dewi.” Pujinya seraya memegang bahu mungil gadis bersurai keemasan itu.
“Anda terlalu berlebihan, Grand Duchess. Saya sama saja seperti gadis lainnya,” merendah untuk meroket, rasanya slogan itu sudah melekat dan menjadi bagian diri dari Marigold sendiri.
“Astaga kau ini baik sekali. Namamu juga sangat indah.”
Setelah berkenalan dengan William dan Helena, sekarang Marigold bergeser ke depan Arden si pemuda jangkung yang siap memasang senyum “Selamat malam, Lady Marigold,” sapa Arden duluan.
Gadis yang disebut-sebut sebagai penerus Saintess itu terperangah melihat wajah yang tidak biasa itu dan segera menaruh rasa tepat setelah mata keduanya bertemu. Manik biru mereka yang nyaris sama saling bersitatap.
Rambut blonde Arden yang sangat rapi dengan tatanan rambut yang menampakkan dahi sempitnya membuat pemuda itu semakin keren. Rahang tajamnya dipadu hidung mancung bak perosotan anak menyempurnakan mahkluk hidup di hadapan Marigold itu.
Kejadian yang diekspektasikan malah terbalik. Marigold yang tercengang melihat ketampanan Arden dan bukan sebaliknya. Ketika mereka berdiri saling berhadapan, riuh terdengar dibeberapa sisi sibuk menggosipkan mereka yang tampak seperti pasangan dalam negeri dongeng.
“Lady, Anda baik-baik saja kah?” Arden melambai di depan wajah Marigold yang membangunkan putri Ziel dari kekagumannya.
“M-maaf atas ketidaksopanan saya, Yang Mulia,” Marigold langsung menundukkan pandangan menyembunyikan semburat merah di wajah cantiknya. “A-anu, bisakah kita menepi sebentar?” ajak Marigold yang ingin memulai pergerakan terlebih dahulu. Dia hanya ingin terlihat ramah pada siapa saja.
Menolak secara gamblang merupakan tindakan yang etis terlebih bagi seorang pria terhormat dan terpandang seperti dirinya. Walaupun sebenarnya Arden agak canggung berbicara terlalu lama dengan perempuan, dia tetap harus memberikan jawaban. “Ya, tentu.”
Mereka berdua pun menepi dan menghindari tatapan banyak orang dengan bersembunyi di balkon. Keduanya masih tampak canggung dan malu-malu tetapi melihat mereka tiba-tiba memisahkan diri membuat ibu kedua muda-mudi itu saling goda. “Ohohoho haruskah kita sering pertemukan mereka berdua?” tanya ibu Arden menggoda.
“Jika itu keinginan Anda, maka dengan senang hati akan saya ikuti hahaha,” godanya balik. Sedangkan Ziel dan William memilih untuk memisahkan diri agar tidak terlibat diskusi perjodohan dadakan di antara para istri.
Marigold diam-diam memandangi Arden lewat ekor matanya. Pemuda itu semakin menawan saja “Dilihat dari sisi manapun ketampanannya tak bisa ditutupi,” puji Marigold dalam hati. Jantungnya seakan sudah berada diambang batas dan siap meledak kapan saja.
Sementara Arden sibuk memikirkan di mana ia melihat wajah Marigold karena ia sendiri sangat jarang datang ke kota lain dan selalu disibukkan dengan jadwalnya yang padat.
Apa dia menyamar saat keluar dari mansion tanpa memberitahu siapapun?
“Lady, apakah Anda mempunyai saudara?” tubuh Marigold sempat menegang sesaat, bagaimana bisa seseorang yang baru saja bertemu beberapa menit lalu bertanya begitu?
Marigold menggelengkan kepala “Tidak, saya tidak punya saudara kandung. Tapi saya menganggap semua orang seperti saudara saya sendiri.”
“Oh begitu,” Arden menatap ke depan. Gadis cantik bersurai panjang itu memegang lengan Arden sekejap kemudian menurunkan tangannya lagi “Mengapa Anda tiba-tiba menanyakan tentang saudara saya?”
“Eh? Itu…” Arden ragu untuk mengungkap alasannya, "Saya hanya merasa tidak asing saat melihat wajah Anda, mungkin kita pernah bertemu sebelumnya. Um, di alam mimpi misalnya?” Arden menyesal mengatakan itu setelah melihat respon Marigold yang tersipu malu.
“Anda manis sekali,” Marigold tersenyum sambil menutupinya dengan tangan— itu bentuk kode etik kesopanan untuk wanita bangsawan saat dia tersenyum maupun tertawa. Marigold menatap Arden dengan mata berbinar, “Bisakah kita berdua menjadi teman?”
Arden bukan tipe orang yang suka bersosialisasi. Tetapi kembali lagi, menjaga kesopanan dan kesan dari orang lain adalah hal yang utama bagi bangsawan. Maka tidak heran apabila para bangsawan digelari sebagai pendusta ulung.
“Tentu saja, Lady.”
Marigold seperti baru saja mendapat anugerah. Hatinya berbunga-bunga. Suasana hatinya segera mencapai puncak kesenangan. “Kalau begitu, apakah kita bisa bicara selayaknya teman? Aku ingin lebih akrab denganmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
Dede Mila
pergi aja sih dari situ
2024-05-10
0