Tidak,
Aku tidak mau merasakan kepahitan itu lagi,
Aku tidak mau mengulangi mimpi buruk itu lagi.
“Hei kau, Meridia!”
Panggilan— ralat. Suara sentakan yang mengagetkan itu berhasil membangunkan si pemilik nama dari lamunannya.
Kepala gadis itu menengok ke seorang wanita berseragam pelayan yang tadi membentaknya “Kau mau menggosok meja itu sampai menghilang dari sana?! jangan sengaja melambat karena tugasmu masih banyak! cepat bersihkan lemari yang di sana itu!”
Meridia tidak suka melihat wanita itu memelototinya dan sekarang sedang berkacak pinggang, bersikap seakan dialah yang berkuasa.
Setelah puas menatap gadis bertubuh langsing itu dengan sinis, wanita pelayan itu lanjut mengelap dan merapikan isi meja kabinet. Mulutnya masih bergerak mendumel panjang lebar, “Sialan! Kenapa pula aku harus bersih-bersih bersama dengan orang ini sih?! Tck. Jangan melimpahkan pekerjaanmu padaku!”
Meridia merotasikan kedua bola matanya jengah “Ya, aku dengar.”
Jawaban simpel nan malas itu membuat si pelayan itu semakin jengkel dibuatnya, “Huh! semoga saja aku tidak terkena kesialan darinya. Aku ingin sekali menamparnya!” gerutunya kesal. Meski begitu tangannya tetap bekerja. Sedangkan Meridia diam menikmati gerutuan tidak bermutu baginya itu seolah sedang mendengarkan musik penghibur.
Sekarang Meridia sudah menginjak usia enam belas tahun yang mana ini sudah terhitung dua tahun sejak Ziel memerintahkan putrinya sendiri menjadi bagian dari pelayan yang mengabdi untuk keluarga Emerald. Bertepatan juga dengan jiwa Bianca Gwyneth yang masuk ke dalam tubuh kembaran Marigold itu.
Bianca masuk ke dalam sebuah novel yang ia dapat dari seorang misterius bertopeng yang tak sempat ia lihat wajahnya.
Karena bukunya tampak menarik dan tidak merasa ada keanehan, Bianca menyimpan buku itu dan membacanya saat senggang. Tentu saja Bianca tidak menyukai karakter usil Meridia. Di buku tidak dijelaskan dengan detail kehidupan dari sisi Meridia.
Setelah dua tahun hidup sebagai karakter yang tak disukainya, Bianca jadi tahu alasan dibalik brutalnya sikap Meridia kepada Marigold. Menjadi yang paling terbelakang, tak dianggap sebagai anak dan anggota keluarga, selalu disisihkan. Dia jadi tahu kehidupan dari sisi Meridia yang hanya menjadi bayangan si pemeran utama wanita.
Meridia mendengus pelan seraya bergumam “Pantas saja dia jadi pengganggu ulung."
Apa boleh buat, dia melakukan segala jenis kejahilan karena hanya dengan cara itu Meridia akan mendapat perhatian dan orang lain akan mau bicara dengannya. Itu cara Meridia melepas kesepian yang merasuk sampai ke relung jiwanya.
Sebuah kemoceng mendarat di punggung Meridia. “Tadi sudah ku peringatkan, kan? atau kau memang sengaja ingin ku panggilkan Yang Mulia Ziel?!” gertak pelayan yang menjadi partner bersih-bersih itu berapi-api, “Cepat bereskan pekerjaanmu! Kau ini bukan ratu di rumah ini, jangan bersikap seenaknya saja!”
“Kau juga bukan kepala pelayan di rumah ini. Jangan berlagak seperti kau memiliki jabatan yang tinggi, jadi berhentilah memerintah pelayan lain. Pantas saja kau ditugaskan bersamaku di sini.” Balas Meridia sinis. Gadis bersurai panjang itu tersenyum meledek, “Biar bagaimanapun aku tetap putri kandung majikanmu. Aku hanya sekedar mengingatkan, kalau kau lupa.”
“Kau…!” geram si pelayan kesal.
“Aku tidak punya waktu untuk berdebat. Sampai jumpa.”
Meridia mengalah dan akhirnya pergi mencari tempat lain untuk dibereskan, yaitu dapur. Hanya dalam hitungan detik, tepat setelah ia membuka sedikit pintunya, Meridia segera menyesali keputusannya untuk pergi ke sana.
Pantas saja dapur lebih hening dari biasanya, ternyata sedang digunakan oleh Marigold. Si heroine novel Light and Shadow itu tengah berdiri memandangi apa yang ia panggang di dalam oven manual dapur.
Senyuman antusiasnya membuat tiga orang pekerja di sana tersenyum gemas “Nanny, apa kira-kira ini akan berhasil? Aku sangat tidak sabar menunggunya matang~!” ucapnya dengan nada manja.
Wanita yang berprofesi sebagai pengasuh anak majikannya itu mengangguk yakin tak membiarkan Marigold kecewa ataupun putus asa. “Tentu saja, Yang Mulia. Anda tidak perlu cemas.”
“Dia benar. Anda sudah mengikuti semua prosedurnya dengan benar, malahan Anda bisa jadi pemanggang kue yang hebat hahaha,” sahut sang koki kepercayaan Marquess Ziel.
Oh, dan jangan kalian lupakan suasana serta senyuman hangat yang muncul di sekitar mereka. Sangat mengharukan. Terlalu mengharukan sampai membuat Meridia mual melihatnya.
“Astaga, Yang Mulia. Lihatlah tepung di wajah Anda. Sebentar,” wanita bertubuh berisi itu dengan lembut mengelap semua jejak putih tepung yang menempel di pipi dan dahi Marigold.
Marigold menunjukkan senyum sepolos anak kecil “Hihi terimakasih, Nanny.”
Gadis itu tumbuh dengan baik, kasih sayang yang berlimpah pasti berhasil membangun yang mental sehat baginya, pikir Meridia yang sedari tadi diam mengamati dari depan pintu dapur.
Iris sapphire Marigold bergeser ke ekor mata setelah menangkap ada bayangan seseorang sedang berdiri di depan pintu. “Oh ternyata ada Meridia di sini,” sambutnya penuh keceriaan, sepertinya suasana hati gadis bersurai pirang itu sedang sangat baik. Seketika tatapan orang lain menjadi dingin kepadanya, berkebalikan saat mereka berinteraksi dengan Marigold.
Senyuman manis nan menggemaskan milik Marigold itu tak lantas membuat Meridia ikutan luluh seperti orang lain karena ia tahu itu semua palsu.
Di beberapa kesempatan ketika mereka berdua bersama, entah mengapa Meridia menyadari bahwa saudari kembarnya seperti sengaja memojokkannya, membuatnya bertahan ditempat di mana perbedaan perlakuan yang mereka berdua dapat sangat terasa.
Tidak hanya sampai situ, Marigold juga sengaja membelanya seolah-olah dialah saudari yang paling sempurna dan membuat Meridia tidak berdaya mengatasi situasinya sendiri.
“Meridia? kenapa kau malah melamun?” gadis itu terkesiap tatkala Marigold mendekatkan wajah ke arahnya, entah sejak kapan gadis itu berdiri di hadapannya. “Ayo, kemarilah. Aku ingin menunjukkan kue buatanku.” Ekspresi dua orang itu (pengasuh pribadi Marigold dan koki) berubah menjadi lebih tak mengenakkan.
“Ya ampun. Bukan aku yang ingin menempel pada idola kalian ini, jangan pelototi aku begitu. Mata kalian seperti hampir keluar saja.” Batin Meridia malas menghadapi situasi yang sama setiap harinya.
Marigold memerintahkan koki keluarga mereka untuk mengeluarkan kue dalam panggangan tersebut lalu ia perlihatkan pada adik kembarnya “Lihatlah. Ini adalah hasil percobaan pertamaku. Meridia, bagaimana menurutmu?”
Meridia menautkan kedua alisnya. Di lihat dari sisi manapun roti-roti itu tetap sama saja dengan lapisan kue pada umumnya. Tak ada yang spesial dari itu. Apanya yang mau dinilai? Meridia tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh kembarannya.
“Bagus, kuenya pasti akan lebih bagus dari ini. Kau sangat pandai, jadi hasilnya akan dua kali lipat lebih cantik,” terpaksa Meridia berbohong demi keselamatannya sendiri.
Intensitas senyum Marigold meningkat “Sungguh? terima kasih Meridia,” Marigold menunduk menatap beberapa potong roti yang nantinya akan ia susun menjadi satu, “Ini adalah kue yang aku buat untuk ulang tahun ibu. Bagaimana kalau kita hias kue ini bersama?”
Pengasuh Marigold menggeleng tidak setuju dengan ajakan Marigold “Yang Mulia, Anda tidak perlu melakukan itu. Dia hanya akan merusak semua usaha Anda dengan kutukannya". Wanita itu berani mengatai Meridia sebab tidak ada satupun yang memihaknya sehingga dia tidak takut ditegur atau dimarahi seseorang.
Meridia tak tahan dengan tatapan mengintimidasi dari dua orang di belakang Marigold. Bukan keinginannya untuk berada di tengah-tengah momen mengharukan ini.
“Dia benar, Marigold. Kau yang mahir. Jika Marchioness tahu itu ada campur tanganku, dia bisa jadi tak sudi memakannya. Lagipula siapa yang tahu kapan kue itu akan beracun saat ku sentuh nanti”.
Gadis berambut pirang bergelombang itu mengerucutkan bibirnya, “Kenapa kau berkata begitu? kita ini ‘kan sama-sama anak ibu, tentu saja dia akan senang menerima kejutan ini.”
Inilah yang Meridia maksudkan tadi.
Marigold selalu menumbalkannya untuk menarik lebih banyak simpati dan perhatian dari orang lain.
Menjengkelkan bukan? Meridia saja ingin menampar wajah cantik saudarinya itu.
Sudah menjadi rahasia umum di mansion Emerald bahwa Ziel dan Zoya tidak menganggap Meridia sebagai anak mereka, perlakuan mereka pada Meridia jauh dari kata hubungan keluarga.
“Kau tahu sendiri buktinya. Aku tidak mau memberi Marchioness kutukan di hari ulang tahunnya,” Meridia mengalihkan pandangan ke arah lain “Meskipun aku sangat ingin melakukannya.” Sambungnya dalam hati.
Marigold berkacak pinggang seraya menggembungkan pipi kanannya, “Kau itu adikku! ini, lihatlah sendiri,” gadis cantik itu menggaet lengan Meridia. “Aku baik-baik saja saat menyentuhmu. Tidak ada tanda kutukan atau apapun itu yang muncul padaku".
Aku tidak sudi berdekatan denganmu. Menyingkirlah.
Meridia melepas tangan Marigold dengan kasar “itu karena kau berbeda. Kau punya kemampuan pemurnian. Tidak seperti orang pada umumnya.”
Meridia buru-buru memberi jarak agar Marigold tak menyentuhnya lagi “Aku harus membantu paman Sammy di kebun belakang. Semoga berhasil.” Meridia tak mau berlama-lama berada di satu ruangan dengan Marigold, ia berlari lewat pintu belakang dapur.
Tampak seringai tipis terbingkai di bibir manis Marigold sekilas sebelum daun pintu yang dibuka Meridia kembali tertutup. Marigold membalikkan badan dan memasang ekspresi lembutnya lagi “Berikan aku lebih banyak hiasan yang manis ya.” Mintanya pada si koki.
“Baik, Yang Mulia.”
“Yang Mulia. Sebaiknya Anda tidak usah terlalu dekat dengan dia. Saya takut nyawa Anda terancam. Kita tidak tahu kapan dia akan mencelakai Anda.” Ujar pengasuh Marigold.
“Kau ini terlalu berlebihan, nanny. Dia bukan bom yang bisa meledak kapan saja dan menghancurkan apapun yang ada dalam jangkauannya.”
Sementara itu Meridia sudah mengeluarkan peralatan kebun dan beberapa bibit bunga lavender yang sudah tumbuh setinggi jari telunjuk. “Lady, apakah tidak apa-apa Anda membantu saya di sini? Sekarang cuaca sedang cukup terik.”
Hanya Samuel, si tukang kebun berusia empat puluh dua tahun yang mau bersikap biasa saja selayaknya atasan dan bawahan kepada Meridia. Itu sebabnya Meridia merasa lebih tenang dan nyaman mengerjakan pekerjaan kebun bersama dengannya.
Meridian tersenyum tipis sambil menjawab, “Tenang saja. Aku ke sini karena ingin menanam bunga lavender yang sudah aku tanam beberapa hari lalu. Aku harus memindahkannya agar dia bisa tumbuh dengan baik.”
“Oh jadi Anda yang menanamnya di pot-pot kecil itu? Sepertinya itu akan bagus di tanam di bagian sini karena tidak terlalu panas dibanding bagian lain. Aromanya yang menenangkan mungkin bisa sampai ke kamar Anda.”
“Haha mungkin saja. Terima kasih, paman Sammy.”
Hari ini Samuel bertugas memangkas beberapa cabang pohon yang tidak rapi jadi dia harus terus berada di atas tangga. Pria itu tidak bisa membantu Meridia dibawah sana.
Sesekali dia menunduk ke bawah untuk mengawasi Meridia dan ia menjadi cemas melihat gadis itu bekerja dengan tatapan kosong “Lady, Anda mau mengubur bunga itu sampai ke pucuknya?”
Teguran Samuel menyadarkan Meridia dari lamunan “Astaga, aku lupa hahaha.” Meridia tertawa hambar, tangannya bergerak sendiri sampai Samuel menyadarkan bahwa dia telah menggali lubang yang terlalu dalam melebihi ukuran tinggi tanaman lavendernya.
Rasa simpati Samuel membuatnya memilih berhenti sejenak dari pekerjaannya. Pria itu membantu Meridia membuat lubang untuk memindahkan lavender. “Apa yang sedang Anda pikirkan, Lady? Sejak tadi saya perhatikan Anda banyak melamun.” Tanya Samuel perhatian.
“Paman, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”
“Apa itu?”
“Jika kau jadi aku, apa kau akan memilih kabur dari sini? Atau kau akan bertahan hidup di sini dengan caramu sendiri?” Samuel tersentak mendengar pertanyaan Meridia.
Dia tidak terkejut jika Meridia memiliki pemikiran untuk kabur, dia juga tidak menyalahkan Meridia jika dia tidak menganggap Ziel dan Zoya pantas untuk dia hormati. “Saya tidak memahami dengan baik apa yang Anda alami dan rasakan selama ini, Lady. Jadi silakan Anda putuskan sendiri apa yang baik untuk diri Anda,” jawab Samuel.
Tukang kebun yang sudah selama sepuluh tahun bekerja di kediaman Emerald itu menatap iba kembaran Marigold yang selalu dikucilkan sedari kecil.
Meridia menunduk, tangannya bergerak mengambil sekop kecil. “Aku juga tidak tahu harus bagaimana,” cicitnya sambil mengaduk pupuk.
“Anda jangan khawatir, Lady. Saya selalu punya firasat bahwa Anda akan segera bebas dari rasa sakit ini.”
“…”
“Saya memiliki perasaan yang kuat dan yakin Anda akan mendapatkan cinta yang lebih besar dari ini.”
Meridia menunjukkan senyum getir. “Jangan andalkan perasaan, paman. Semua hal hanya akan berakhir runyam kalau paman selalu melibatkan perasaan di segala hal. Itu merepotkan.”
Ya, itu benar. Meridia tidak suka menyangkut-pautkan perasaan berlebih dalam setiap tindakannya, karena di situlah letak kutukannya akan aktif, setelah selama ini ia coba pecahkan alasan kekuatan itu keluar.
Meridia tidak tahu pasti kapan kutukan itu benar-benar akan terjadi tetapi dia tahu bahwa setiap kali ia melibatkan perasaan yang kuat dalam dirinya maka dia bisa merusak atau membunuh sesuatu yang hidup.
Beruntung, semua orang di rumah itu mengira kekuatan Meridia sesimpel hanya dengan lewat sentuhan, sama seperti Marigold yang harus menyentuh objeknya dulu untuk mengaktifkan kekuatan penyuciannya.
Awalnya dia juga bingung. Namun setelah dua tahun mempelajari kapan dan di mana kilas ingatan Meridia datang lalu membuat kesedihannya memuncak, kutukan itu terjadi.
“Lady, Anda mungkin tidak mendapatkan kasih sayang di sini tapi saya yakin Anda akan bertemu dengan orang yang akan memprioritaskan Anda di atas segalanya, mengasihi Anda, dan menjaga Anda dengan baik.”
Meridia tidak bisa memahami pemikiran Samuel yang terlampau positif. Tetapi selagi itu baik, Meridia merasa tenang mendengarnya.
Meridian tersenyum kecut seraya berkata, “Aku akan sangat senang jika itu terjadi padaku.” hal itu membuat hati Samuel ikut teriris.
Semua orang di sana bertingkah seolah-olah bayi yang lahir dengan selamat hanyalah Marigold seorang. “Tentu saja itu akan terjadi. Justru orang seperti Anda lah yang sangat bisa menghargai sekecil apapun bentuk kepedulian itu.”
“Meridia!” panggil salah seorang pelayan dari pintu dapur. Gadis berparas cantik nan dingin itu menengok. “Marquess memanggilmu ke kantornya!” ucapnya dengan suara keras karena jarak mereka yang cukup jauh. Setelah itu dia kembali ke dalam dapur.
Meridia menghela nafas “kali ini apa lagi?” kurang lebih Meridia sudah menebak setengah hal yang akan terjadi di dalam sana “paman, maaf. Apa kau bisa melanjutkan ini sampai aku selesai dengan urusanku?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments