Meridia sudah terlalu hafal dengan kesehariannya yang begitu-begitu saja. Berbeda dengan alur aslinya yang dikisahkan dalam buku, justru yang Bianca rasakan setelah menjadi Meridia sangat berkebalikan. Kebenarannya sungguh berbeda dari kenyataan di lapangan.
Justru Marigold lah karakter serigala berbulu domba. Dia hanya memanfaatkan keadaan untuk semakin bersinar. Saat mereka hanya berdua, Marigold cenderung menunjukkan sifat aslinya tanpa malu dan tanpa takut namanya tercoreng karena dia tahu tak ada sesiapa yang menghargai ataupun mempercayai Meridia.
Kali inipun dalang dibalik pemanggilannya itu sudah pasti ulah Marigold dan bawahannya. Ziel akan langsung meminta Meridia menghadap dirinya ketika menerima aduan bahwa dia telah menyakiti Marigold.
"Dan setelah itu dia akan datang seperti pahlawan untuk membela ku, berakting seperti seorang malaikat yang turun dari surga, dan lagi-lagi semua orang dibutakan oleh senyuman palsu itu." gumam Meridia menyusun naskah drama dalam otak seraya merotasikan kedua bola matanya jengah.
Baru saja dia masuk dan menutup pintu, Meridia terbelalak kaget ketika sebuah vas bunga terbang ke arahnya dan beruntung hanya menyerempet bagian daun telinga saja.
Praang!
Vas itu pecah berkeping-keping setelah menghantam pintu di belakangnya, "APA YANG TELAH KAU LAKUKAN PADA PUTRIKU?!" Hardik sang kepala keluarga Emerald berapi-api.
Meridia meringis, memegangi telinga kirinya yang terasa nyaris lepas, "Aku tidak melakukan apa-apa padanya," memang itulah kenyataannya. Tapi apapun yang Meridia lakukan dan ucapkan semua akan selalu salah, bahkan bernafas pun merupakan kesalahan terbesar baginya.
"Jangan banyak alasan dan akui saja perbuatanmu!" Meridia melirik seorang maid yang berdiri di dekat meja kerja Ziel. "Seah bilang kalau kau sudah bersikap kasar pada Marigold. Sampai kapan kau terus bersikap liar seperti itu?! Kau benar-benar keterlaluan!"
Sebenarnya apa saja yang dia adukan? Kenapa ayah seperti orang kesetanan?
Meridia mengelus dada sambil mengontrol pernafasan guna menyalurkan ketenangan dalam dirinya. Meridia mengulum bibir bawahnya, "jangan mengumpat, jangan memarahinya balik," ia terus bersugesti baik untuk menghindari sesuatu yang buruk terjadi.
Meridia sudah amat paham bahwa apa yang dia katakan saat puncak amarah tersentuh, kejadian buruk akan terjadi sesuai sumpah serapah yang tidak sengaja ia suarakan.
"Sejak pagi aku sibuk dengan pekerjaanku sendiri. Aku tidak punya waktu untuk mengganggu apalagi menjahili Marigold. Aku sudah pasti tidak berbuat kasar padanya." Meridia tahu tidak ada gunanya membela diri, tapi setidaknya dia ingin menyangkal.
Setelah mulutnya mengatup, barulah ia teringat dengan kejadian di dapur.
Meridia memang tidak berniat menepis tangan Marigold dengan kasar. Dia tidak sengaja melakukannya karena Marigold tak mau melepas tangannya, jadi mau tidak mau dia mengeluarkan tenaga yang cukup untuk melepaskan diri.
Astaga, apa itu juga termasuk ke dalam kekerasan? Selembut apa orang harus memperlakukan Marigold? Mereka benar-benar terlalu fanatik.
Ziel menggeram kesal, "Sejak kau lahir kau selalu saja menyusahkan orang lain! tidak ada satupun cara yang bisa aku lakukan untuk mengatasi kebandelan mu ini!" maki Ziel tanpa belas kasih walau sudah melihat darah menetes dari daun telinga kiri Meridia, PUTRI KANDUNG-nya.
Oh, jadi secara tidak langsung kau juga menyalahkan istrimu yang melahirkanku dengan selamat juga? Kerja bagus, Marquess.
Meridia melayangkan tatapan dingin pada Ziel. "Jangan salahkan aku sepenuhnya. Kau pikir aku senang hidup seperti ini? aku juga tidak pernah meminta untuk lahir di keluarga ini." balas Meridia datar, tak kalah datar dengan raut wajahnya.
"Kau!" geram Ziel kesal.
Setelah puas membuat Ziel kesulitan berkata-kata ia pun berbalik hendak keluar. "Mau kemana kau?! aku belum selesai bicara denganmu, anak kurang ajar!"
"Aku masih di sini, tahu. Kau tidak perlu berteriak begitu pun aku masih bisa mendengar suaramu walau kau baru saja ingin membuatku tuli dengan melempar vas itu ke arahku," sinis Meridia.
Gadis bernetra biru gelap itu menatap sosok ayah kandungnya yang sedang melotot, "Kita berdua sama-sama sibuk, 'kan? jadi singkat saja, hukuman yang seperti biasa, iya 'kan?"
Meridia sengaja tersenyum selebar-lebarnya yang ia pernah lakukan untuk membuat Ziel semakin kesal. Setelah menikmati wajah marahnya walau hanya sepersekian detik, Meridia terkekeh seraya menutup pintu ruang kerja itu.
"Dasar bedebah kurang ajar!" umpat Ziel murka. Pria yang memiliki kerutan di sekitar matanya itu mendengus kasar setelah melihat Meridia bersikap semakin berani.
Ziel duduk di kursi dan menyandarkan punggungnya untuk mengurangi tegang yang ia rasakan ditulangnya pelipisnya, "Aku tidak tahu harus bagaimana memperlakukannya." gumamnya menyerah.
Meridia tidak sedang ingin melanjutkan pekerjaan di kebunnya, dia tak ingin membuat bunga lavender yang ia rawat dengan rajin mati begitu saja karena saat ini emosinya sedang kurang baik jadi ia memutuskan untuk istirahat sebentar di kamarnya.
"Ini dia," gumam Meridia. Dia menghentikan langkah setelah melihat di depan pintu kamarnya tampak Marigold tengah menunggu kedatangan si empunya kamar sambil memainkan rumbai roknyan di depan pintu.
Sadar Meridia sudah datang, Marigold lantas tersenyum lebar, tangannya terangkat untuk melambai kecil, "Kau dihukum lagi ya? mau aku bantu bebas dari kurungan?" suasana hatinya sudah cukup buruk saat ini, mendengar nada manja Marigold ketika bicara membuatnya ingin muntah.
Adik kembar Marigold itu enggan menjawab ucapan kakaknya dan memilih untuk mengabaikannya. Meridia membuka pintu, tetapi dengan cepat Marigold melengos masuk menyusul sang empunya kamar. "Aku sudah bilang padamu berulang kali, kau tidak akan menjalani kehidupan seperti ini lagi kalau kau mau menuruti semua perkataanku," Marigold menyeringai melihat telinga kiri saudarinya yang sudah berdarah akibat menerima amukan Ziel.
Ya, kalian sekarang tahu inilah sosok sebenarnya dari Marigold yang senantiasa diagung-agungkan banyak orang.
Gadis berpakaian seragam pelayan itu menelengkan kepala sedikit, "Aku tidak berminat jadi mainanmu. Aku merasa lebih baik menjalani hukuman yang seperti ini daripada harus tunduk mendengar semua perintah dari anak manja sepertimu."
Dia tidak bodoh untuk mengerti bisa rencana Marigold. Mau menurut atau tidak, Meridia tetap akan dirugikan. Bedanya hanya jangka pemanfaatannya saja. Jika Meridia mau tunduk, sudah jelas sepanjang ia hidup akan terus dimanfaatkan oleh kakaknya sendiri.
Gadis yang dipuja banyak orang itu merengut marah. "Anak manja katamu?!" ulangnya tak terima. Kemudian ide lain muncul dikepala pirang itu, yaitu memamerkan apa yang ia miliki.
"Aku tidak pernah meminta apapun, mereka sendirilah yang mau menyayangiku. Mereka juga yang mau memberi segalanya padaku tanpa diminta. Kau lihat sendiri, aku terlahir dengan keberuntungan luar biasa. Jika kau mau menurutiku, semua orang pasti akan menerima mu."
Meridia mengangguk acuh tak acuh, "Ya ya ya, saya mengerti, Tuan Puteri." Ia merobohkan diri di ranjang sempit dan keras miliknya, "Aku tidak tertarik dengan tawaranmu. Jika ada pilihan, aku lebih memilih diusir dari rumah ini daripada harus tunduk padamu."
Meridia sejujurnya heran, mengapa Marigold begitu ngotot ingin membuatnya menuruti semua keinginannya? Apapun itu alasannya, Meridia tak pernah bisa mempercayai gadis berwajah malaikat namun berhati iblis itu.
"Kau!" kedua tangan Marigold mengepal erat, ia pun mulai menangis sampai sesenggukan di depan pintunya yang masih terbuka lebar. Telinganya sudah cukup sakit dan kini giliran gendang telinganya yang berdenyut nyeri mendengar tangisan Marigold.
Meridia beranjak duduk, "Kali ini apa lagi?".
Meridia mendengar suara langkah kaki beberapa orang di Lorong. Lima orang pelayan sedang berjalan menuju kamar masing-masing, akan tetapi mereka segera mengubah haluan tatkala melihat Marigold menangis tersedu-sedu tanpa ada seorang pun disisinya.
"Pantas dia tiba-tiba memilih untuk menangis daripada beradu argumen denganku," lirih Meridia melihat tingkah Marigold yang mengesalkan.
Mereka, para pelayan setia Emerald, mencemaskan Marigold. "Yang Mulia, apa yang telah terjadi? Mengapa Anda menangis di sini?" mereka serempak memandang Meridia yang duduk di pinggir ranjang sambil bertumpu dagu, ekspresi datarnya membuat mereka makin kesal "Apa yang sudah kau lakukan pada Yang Mulia Marigold?!"
Kenapa semua orang suka sekali mengusikku padahal mereka sendirilah yang membenciku? Aku hanya ingin menikmati masa hukumanku.
Seseorang pergi meninggalkan Marigold memanggil kepala pelayan untuk menegur Meridia atas apa yang sesungguhnya tidak dia lakukan.
Marigold terisak sambil menutupi mulutnya "Padahal aku hanya ingin mengajaknya menikmati pesta teh bersamaku di taman, tapi dia malah mengusirku. Aku tahu dia sangat menderita karena tidak ada siapapun yang memperhatikannya," Meridia sangat mengapresiasi kecepatan saudari kembarnya dalam merangkai skenario kebohongan.
Marigold tersenyum sambil menyeka airmata tipuannya, "Maaf. Adikku tidak melakukan apa-apa, aku saja yang tidak siap mendengar bentakannya. Kalian tidak perlu khawatir."
Semudah itu Marigold melimpahkan seluruh kesalahan pada dirinya. Jika ada orang yang masih bisa berucap 'tapi dia itu tetaplah kakakmu' maka Meridia dengan yakin dan niat penuh akan mendamprat mulut orang itu menggunakan tongkat bola kriket.
Marigold memasang senyum malaikatnya untuk menarik simpati orang-orang yang pada dasarnya sudah berada di bawah kontrol gadis tersebut. Mereka berkaca-kaca, "Astaga, Yang Mulia. Anda baik sekali." Mereka tersentuh dengan sikap bohongan Marigold.
Mereka melempar tatapan sinis dan tajam melihat Meridia tak bergeming meski Marigold tengah menangis di hadapannya.
Meridia mengangkat bahunya seraya menaikkan satu alis "Apa? aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku sedang menjalani hukuman yang baru saja diberikan Marquess padaku." ucapnya ketus.
Mereka semakin kesal melihat Meridia yang acuh dan cuek. Gadis berambut biru dongker itu tersenyum simpul, "Aku tahu, aku tidak akan dapat jatah makan lagi. Kalian tidak perlu khawatir, aku sudah mendapatkan hasil dari perbuatanku sendiri. Sekarang kalian semua keluarlah. Aku ingin tidur siang."
Meridia sudah mulai bosan dengan pertunjukkan ini dan ingin segera mengistirahatkan indera pendengarannya yang sudah berdengung. Dia pun memilih untuk menarik selimut dan tidur menghadap ke jendela luar sehingga posisinya memunggungi pintu.
"Kalian cepatlah kembali bekerja kalau tidak ingin ditegur. Jangan lupa tutup pintunya ya, aku mau tidur siang." sambung Meridia santai.
Kepala pelayan sudah hadir di sana dan mendengar pernyataan terakhir Meridia. Dahinya pun berkerut, "Kau sangat tidak tahu sopan santun. Sepatutnya kau meminta maaf ketika kau berbuat salah, bukannya malah abai. Minta maaflah pada Yang Mulia Marigold." Titahnya yang tak digubris oleh Meridia.
"Oh astaga, bagaimana caraku menjelaskannya ya? sejak dulu aku tidak pernah disekolahkan di sekolah kepribadian padahal aku adalah anak kandung Marquess dan saudari kandung Marigold. Maaf ya, aku tidak pernah belajar itu semua jadi aku tidak tahu sopan santun," cibiran itu sengaja Meridia utarakan. Berharap hati mereka terketuk walau nyatanya tidak.
"Dia sudah berbaik hati mau mengajakmu bermain dan menikmati teh bersama! Kau ini benar-benar tidak tahu diuntung!"
"Iya. Memangnya kau pikir siapa lagi yang mau mempedulikanmu selain Yang Mulia Marigold?! Memang benar, kau ini pusat kesialan di rumah ini!" timpal pelayan lain yang geram mendengar ucapan Meridia.
"Yang Mulia, mari kira keluar dari ruangan pengap ini".
"Kami bisa menemani Anda bermain".
"Iya, Yang Mulia. Anda tidak perlu lagi bersedih."
Iris berlian Marigold berbinar, "sungguh?".
"Ya, tentu saja".
"Kalau begitu, ayo bermain di luar".
"Baik, Yang Mulia." mereka pun segera keluar dari sana dengan membanting pintu kamar Meridia.
Sementara itu sang pemilik kamar baru bisa bernafas lega setelah kepergian mereka. "Akhirnya tenang juga. Aku nyaris mati menonton drama menjijikkan itu."
Meridia duduk kembali dan menghadap ke arah jendelanya yang terbuka lebar, membiarkan angin meniup anak rambutnya. Manik biru sayunya menatap kosong pemandangan di luar sana, sorot matanya mengisyaratkan bahwa pemilik iris itu tak memiliki semangat hidup.
Ia gunakan waktu hukuman kala itu untuk merenung seraya menikmati buaian lembut angin di musim semi. Tadinya dia hanya berniat untuk bersantai tapi tahu-tahu dia mengingat sesuatu yang membebani otaknya, "Kalau tidak salah ingat, tidak lama lagi aku akan bertemu dengan pemeran utama lelaki yang akan menjadi cinta pertamaku."
Setelah pertemuan itu terjadi Meridia akan terobsesi dengan lelaki tersebut sampai mengubah sifatnya sendiri yang tidak karuan menjadi selayaknya wanita bangsawan pada umumnya dengan belajar mandiri tanpa guru.
Akibat obsesi itu pula Meridia menjadi kehilangan akal saat cintanya direbut oleh Marigold.
"Tunggu dulu. Ada yang aneh," Meridia mengelus dagu memikirkan keanehan dalam ingatannya "Mengapa ingatanku hanya sampai pada kematian Meridia? Seharusnya masih ada kelanjutan dari novel itu. Aku yakin itu bukan akhir dari novelnya."
Meridia memang ingat bahwa kematian Meridia terjadi di dua bab terakhir yang artinya masih ada kelanjutan kisah menyorot kehidupan bahagia si pemeran utama. Bukan hanya samar, tetapi dia benar-benar melupakan bagian setelah Meridia bunuh diri.
"Dua tahun terjebak di sini sudah cukup untuk menggerus ingatanku? Aku payah sekali," dia menepuk dahinya dengan keras, "Apapun itu, aku tidak akan mengulangi kejadian yang sama lagi. Aku tidak akan meminum racun hanya karena cintaku tertolak."
Otaknya bekerja lebih keras daripada biasanya, berbeda dengan tujuan awal dia duduk di dekat jendela kamar. "Aku akan pergi dari sini minggu depan." Meridia telah membulatkan tekad untuk meninggalkan masa lalu yang menyedihkan dan meninggalkan semua luka di mansion ini, lalu mencari kebebasan yang nyata untuk dirinya sendiri.
Tiga hari berlalu sejak Meridia menyelesaikan masa hukumannya tanpa keluar kamar dan tanpa makan atau minum. Orang pertama yang Meridia temui adalah Samuel si tukang kebun yang kebetulan sedang memanen anggur hijau di kebun belakang.
Meridia sangat suka membantu Samuel dalam merawat dan menjaga semua tumbuhan yang hidup di kebun belakang "Paman Sammy, biarkan aku yang melakukannya!" seru Meridia gembira.
Pria itu tak tahu dari mana Meridia mendapatkan semangat dan energi itu tanpa makan dan minum. Hanya saat menanam atau saat sedang memanen saja Meridia terlihat begitu ceria dan bersemangat.
Samuel tersenyum menyerahkan gunting pada Meridia, "Anda yakin bisa melakukannya? Ini sedikit rumit," katanya sambil mengelap peluh di dahi.
"Serahkan saja padaku, aku sudah bukan amatiran lagi kalau soal memanen hehehe."
"Apakah anak ini hanya sedang menyembunyikan kesulitannya lagi?" tanya Samuel dalam hati.
Samuel terkekeh geli melihat semangat Meridia yang sama seperti anak kecil, tapi lagi-lagi tatapannya berubah menjadi sendu kala melihat punggung kecil gadis tak berdosa itu. Samuel sendiri tidak yakin apakah Meridia akan mendapatkan jatah makan hari ini atau tidak.
Baru tiga tangkai yang berhasil Meridia potong, tiba-tiba suara keras yang berasal dari pintu belakang terdengar menyebut namanya dan menginterupsi kegiatan seru yang tengah ia kerjakan.
"Meridia!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments