CHAPTER 3

Dahi Meridia berkerut ketika tahu kali ini yang memanggilnya secara langsung ternyata kepala koki mansion Emerald. "Aku tidak pernah merasa tenang." Dengan berat hati Meridia meninggalkan pekerjaan kesukaannya demi memenuhi panggilan tersebut.

Meridia saja belum sampai ke depannya, tapi kepala koki itu langsung menyodorkan kertas berisi penuh bahan-bahan makanan. Tanpa diberitahu pun Meridia tahu perintahnya. gadis itu menerima gulungan kertas berisi bahan makanan, "Tapi minggu ini bukan giliranku ke luar."

"Jangan banyak protes! Kau tidak lihat semua orang di sini sedang sibuk?! Cepat pergi. Waktu kita tidak banyak!"

Meridia tidak senang dengan nada bicara si koki yang terus menyentak, tetapi apa yang pria itu katakan memang benar adanya. Semua pelayan tampak sibuk mondar-mandir mengurus banyak hal. Anehnya, kenapa semua terjadi tiba-tiba?

"Memangnya ada tamu yang akan datang?" tanya Meridia penasaran.

"Perayaan hari ulang tahun Marchioness akan diadakan malam ini. Kau cepatlah pergi beli semua keperluan itu. Jangan terlambat atau pekerjaan kita semuanya akan terhambat."

Setelah menerima uang belanja itu Meridia langsung pergi ke pasar yang jaraknya cukup jauh dan ia tempuh dengan berjalan kaki. Meridia tidak diperbolehkan meminjam salah satu kereta kuda milik keluarganya sendiri. Jadi dia harus membayar sendiri kereta kuda umum untuk mengantarnya, tentu saja harus uang pribadi.

Berhubung uang yang dia punya sekarang sedikit, Meridia memutuskan untuk berjalan kaki. Rasa lelahnya berganti ketika dia sudah sampai di area pasar tradisional. Banyak masyarakat biasa yang berlalu lalang di sana, Meridia ikut senang bisa merasakan betapa bebasnya mereka hidup, tidak hidup untuk dikekang seperti dirinya.

Untuk menyenangkan dirinya sendiri, Meridia membeli beberapa camilan yang tampak menggoda mata genitnya, "Tadinya aku ingin memakai uang ini untuk menyewa kereta pulang, tapi ya sudahlah, aku sudah biasa berjalan kaki."

Kepalanya tak pernah berhenti bergerak, matanya terus menyisir wilayah pasar, "Kelihatannya pasar hari ini juga lebih ramai dari hari biasanya."

Pertama-tama Meridia mencari dulu sayur-mayur di tempat wanita ramah yang sudah ia jadikan langganan. Beruntungnya hari ini dia sedang berjualan sehingga Meridia tak perlu susah payah mencari ke tempat lain. "Halo bibi," sapa gadis ayu itu ramah.

Wanita penjual yang bernama Ella itu pun membalas sapaan hangat Meridia ramah, "Akhirnya gadis ini muncul juga. Kau ini sudah lama sekali tidak kelihatan, ke mana saja? Aku rindu padamu," keluhnya sambil membungkus beberapa jenis sayuran yang Meridia tunjukkan lewat catatan, "Aku baru mendapat giliran belanja lagi, bibi."

"Oh iya, aku lupa kalau kau bekerja untuk seorang bangsawan. Lalu, kau membeli begitu banyak sayur, untuk stok? Atau akan ada acara?" tanya Ella penasaran.

Meridia melirik ke kanan dan ke kiri seperti hendak menyeberang lalu memajukan badan dan berbisik "Malam ini di kediaman Marquess Emerald akan diadakan pesta ulang tahun untuk Marchioness." Tak lupa Meridia memasang ekspresi yang sangat menghayati.

"Oh begitu," Ella memberikan satu kantong besar sayur yang dipesan Meridia "Ada begitu banyak benda yang ingin kau beli tapi kau pergi sendirian? Pasti kau akan kesulitan nanti."

"Tenang saja, bibi. Aku bukan gadis biasa," Meridia tersenyum lebar seraya memamerkan lengan tangannya yang kurus tak berotot. Ella pun tertawa melihat tingkah Meridia "Hahaha, kau ini lucu sekali. Ibumu pasti bangga memiliki anak pekerja keras sepertimu."

Kau salah. Jika aku mati di luaran sana, ibuku tidak akan pernah peduli atau menitikkan airmatanya sekalipun.

Meridia memasukkan kantong itu ke dalam keranjang dan menyadari sesuatu "Loh? Sepertinya sayuran ini lebih banyak dari yang aku pesan."

"Aku menambahkan bonus untukmu. Kau adalah pelanggan kesayanganku," Ella mengerlingkan mata menggoda Meridia.

"Hahaha bibi ini bisa saja."

Meridia sudah lama tidak keluar dari mansion Emerald. Kesempatan itu datang di waktu yang tepat, jadi gadis itu benar-benar menikmati masa-masa kebebasannya berekspresi. Dia terlalu asyik menikmati waktunya di luar mansion sehingga tidak menyadari kalau saat ini sedang ada yang mengawasi dirinya dari jauh.

Suasana hati Meridia sedang sangat baik, berbicara dengan orang asing, "Terima kasih banyak, bibi. Aku yakin daganganmu pasti akan laku keras karena pelayananmu sangat baik," ucapnya tulus sambil berjalan menjauh dari lapak Ella.

Ketika Meridia baru berjarak tiga meter jauhnya dari sana, dagangan Ella sudah dikerubungi delapan orang. Dua menit berselang, bertambahlah tiga orang pembeli yang datang memenuhi stand tempatnya berjualan.

Ella sumringah melayani segerombol pembeli, berpikir akhirnya dia bisa membelikan baju baru yang anaknya inginkan sejak dua bulan lalu. "Dia benar-benar luar biasa," batin wanita itu membayangkan wajah berseri Meridia.

"Syukurlah, " Meridia kembali menghadap depan.

Secara tidak sengaja mata Meridia mengarah ke seseorang berjubah panjang dengan tudung yang nyaris menutupi seluruh wajahnya. Anehnya orang itu seperti sedang memandang ke arahnya.

Kedua alis gadis ayu itu bertaut kala sadar melihat sebuah senyuman simpul terukir di bibir tipis orang misterius itu ketika sadar Meridia juga sedang menatapnya. "Orang aneh," gumam Meridia memilih tak mempedulikan kejadian itu.

Satu per satu daftar belanjaan sudah tercoret. Semakin sedikit yang belum ia beli, semakin berat keranjang yang tergantung di lengannya. Dia berjalan lambat, berhati-hati agar tidak ada barang yang rusak karena ada banyak botol-botol kaca berisi hiasan kue dan bumbu-bumbu dapur.

Tidak aneh jika dia berpapasan dengan begitu banyak orang yang terkadang bisa kita lihat lagi untuk yang kesekian kali. Untuk kedua kalinya Meridia bersinggungan dengan seorang berjubah namun kali ini berbeda.

Mereka berdua sudah saling melewati tetapi seorang pria mabuk tidak sengaja ambruk ke sosok berjubah itu dan membuat tubuhnya limbung hingga berakhir menimpa punggung Meridia yang menyebabkan mereka bertiga jatuh berentetan.

"Aduh!" pekik Meridia kaget. Semua susunan botol di keranjangnya jatuh berserakan di jalanan. Tidak dalam keadaan utuh lagi. "Astaga, bagaimana ini?" Meridia menghiraukan rasa sakit di lututnya, masalah besar akan terjadi jika dia tidak bisa mengganti seluruh kerusakan bahan makanan yang sudah menyatu dengan tanah itu.

Suara dari si pemakai jubah terdengar, "M-maafkan aku, aku sungguh tidak sengaja. Maaf."

Ternyata dia adalah seorang lelaki. Dari nada bicaranya dia seperti seorang yang sangat penyegan, dia sungguh merasa sangat bersalah, "Kau harus bertanggung jawab. Aku tidak memiliki uang untuk membeli yang baru. Aku pasti akan dimarahi habis-habisan kalau pulang begini."

Lelaki itu sedikit tercengang mendengar suara Meridia yang terkesan santai, tidak marah ataupun membentak walau keadaannya benar-benar tidak diuntungkan. Pemuda itu menatap Meridia yang fokus mengutip pecahan botol kaca.

Pemuda berjubah itu segera membantu Meridia memungut semua barang yang berserakan di jalan umum itu "K-kau tidak marah padaku?"

Laki-laki tersebut tercengang tatkala Meridia mengangkat wajah dan menatapnya datar. Iris biru nilanya yang teduh dilengkapi dengan pahatan wajah yang indah membuat jantungnya seketika nyaris mencelat keluar dari mulutnya.

"Marah pun tidak akan membuat barang-barang ini kembali utuh. Energiku akan lebih berguna untuk memaksamu mengganti kerugianku."

Lelaki itu lantas tersenyum senang— setidaknya dengan mengganti barang itu dia tidak akan merasa bersalah seumur hidupnya. "Baiklah, aku akan mengganti semuanya."

"Baguslah."

"Tapi kau harus mengantarku ke tokonya."

Seketika rasa lega Meridia menghilang. Kakinya sudah semakin terasa berat. "Aku sudah lelah berkeliling sejak tadi."

Pemuda tak dikenal itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Hatinya semakin berdebar kalau saja ia tidak sesekali menghindari kontak mata dengan Meridia. "Anu, sebenarnya aku bukan berasal dari kota ini jadi aku tidak paham tempat-tempat yang ada di sini." Akunya seraya menunjukkan senyuman kikuk, "Maaf."

Daripada tidak mendapat ganti, Meridia merelakan dirinya mengeluarkan energi lebih banyak dari yang seharusnya, "Ya sudah. Aku akan mengantarmu."

Alhasil mereka berdua berkeliling bersama mendatangi tiap toko tempat Meridia membeli hiasan kue dan bumbu dapur. Sesekali netra birunya mencuri pandang ke orang di sampingnya "Sepertinya orang ini berbeda dari orang yang tadi ku lihat."

Meridia masih teringat dengan sosok misterius berjubah yang tersenyum kepadanya seperti seorang stalker. Dilihat dari auranya saja tampak sekali pemuda itu bukan orang yang memiliki niat jahat.

Justru selama perjalanan pemuda itu bertingkah seperti tengah dibimbing oleh pemandu wisata. Dia tersenyum disepanjang jalan, melihat kehidupan masyarakatnya tampak baik dan suasananya amat damai.

Bersamaan di tempat lain, tepatnya di butik Madam Hinelda yang terkenal merupakan salah satu penjahit terbaik di kota ini, tampak Marigold tengah memilah-milah seluruh persediaan gaun dengan model paling terbaru di butik tersebut.

Marigold ditemani satu pelayan pribadinya untuk memilih mana yang paling cocok untuknya. Hari ini tidak banyak pengunjung yang datang sehingga Marigold lebih leluasa untuk menjajal banyak gaun.

Marigold mencoba gaun megah bak puteri kerajaan berwarna kuning dengan pita cokelat dipinggang sebagai pemanis "Bagaimana dengan ini?"

Blair (pelayan Marigold) dan Madam Hinelda sama-sama menggeleng menandakan bahwa gaun itu tak cocok dengan aura yang dipancarkan Marigold, "Ini seperti perpaduan antara cahaya dengan cahaya. Jika digabungkan akan tumpang tindih. Anda tidak cocok memakai warna baju yang cerahnya menyaingi wajah Anda, Yang Mulia." Hinelda memberi tanggapan.

Marigold tersipu malu, "Madam, apa itu sebuah pujian? Madam membuatku malu."

"Ayo coba yang lain lagi."

"Apa? ini sudah gaun kedelapan. Madam, apa Anda tidak memiliki pendapat mengenai warna yang cocok untukku?" Marigold pandai menarik perhatian lawan bicaranya, dia tahu Hinelda suka sekali dimintai pendapat mengenai gaun yang cocok mulai dari bentuk dan warna dengan bentuk tubuh dan kepribadian pelanggannya.

Wanita anggun itu berdehem, "Mau bagaimana lagi, saya akan bantu carikan warna yang sesuai untuk Anda."

Marigold tersenyum lebar "Terima kasih, Madam."

Dengan cepat Hinelda berhasil menyeleksi puluhan gaun menjadi hanya tiga gaun dengan model yang berbeda-beda. Warna yang Hinelda pilihkan adalah biru muda, putih, dan merah jambu. Ketiganya merupakan warna yang lembut sehingga cocok dengan Marigold.

Marigold terkesan dengan kemampuan Hinelda "Anda sangat luar biasa," pujinya kagum.

"Hohoho ini hanya tentang memilih warna, Yang Mulia. Silakan Anda coba."

Tiga puluh menit berlalu akhirnya saudari kembar Meridia itu melabuhkan hatinya pada gaun elegan berwarna biru muda yang sangat cocok baginya.

Tadinya Hinelda dan Blair sangat menyukai ketika Marigold mengenakan gaun pesta berwarna putih itu, akan tetapi Marigold berkata "Aku akan memakai gaun putih untuk pesta debutante ku nanti. Malam ini yang menjadi bintangnya adalah ibu, jadi biarkan dia bersinar lebih terang dari siapapun, aku ingin membuatnya menjadi yang paling istimewa."

"Astaga, Anda benar-benar sangat pengertian."

"Hehe hanya seperti ini kok."

"Baiklah. Saya akan segera membungkusnya dengan sangat aman dan rapi."

Selagi Hinelda mengepaki gaun-gaun yang dibelinya, Marigold berkeliling toko. Rasanya pemandangan gaun-gaun indah di sana tidak akan membuat bosan meski terus memutari ruangan yang sama sebanyak dua puluh kali.

Rasa penasaran mendorong Marigold menyibak salah satu tirai ruangan yang lebih terlihat seperti ruangan terpisah bukannya ruang ganti. Saat di buka, terdapat banyak gaun lainnya yang cenderung berwarna lebih gelap tergantung di gantungan baju berdiri.

"Madam, mengapa gaun-gaun di sana dipisah? Apa itu sudah pesanan orang?" Hinelda menatap Marigold untuk tahu apa yang ia tanyakan.

Wanita itu menggeleng "Warna gelap tidak banyak diminati wanita bangsawan di sini, jadi baru akan saya keluarkan jika pelanggan meminta warna gelap. Mungkin warna gelap terlihat kurang menarik."

"Sayang sekali, padahal gaun-gaun itu terlihat sangat menarik meskipun warnanya tidak cerah."

"Tak apa, saya bisa menaruhnya di cabang toko saya di kota lain. Sepertinya saya harus membuat banyak stok karena belakangan ini banyak sekali yang mengadakan pesta."

Marigold menyeringai tipis. Dia masuk ke dalam ruangan kecil tersebut, tangannya menyentuh semua gaun-gaun berwarna gelap di sana "Yang Mulia, Anda mau membeli satu gaun lagi?" tanya Blair yang berdiri di depan tirai "Ya. Aku harus membelinya. Aku ingin punya koleksi gaun berwarna gelap."

Meridia telah berhasil mendapatkan ganti untuk semua barang rusaknya. Namun kesialan tidak cukup sampai di sana saja. Pemuda itu lagi-lagi merepotkan, memberi pekerjaan tambahan yang memperlambat pulangnya "Tolong bantu aku mencari alamat ini. Ayahku bilang penginapanku ada di sana."

"Astaga. Tuan Muda, Anda bisa bertanya dengan orang lain 'kan? saya harus secepatnya kembali atau saya akan dimarahi atasan saya karena bahan-bahan ini dibutuhkan sesegera mungkin."

"Tapi mumpung aku sedang bersamamu, aku pikir itu lebih mempersingkat waktu."

"Ya. Itu mempersingkat waktu Anda tapi kebalikannya dengan saya."

"Aku mohon."

"Tck."

Meridia merasa sungkan menolak permintaan tolongnya karena tidak bisa dipungkiri dia baru saja membantu membeli barang-barang baru meskipun itu kesalahan pemuda itu juga.

Lima belas menit berlalu dan akhirnya mereka sudah sampai di sebuah penginapan mewah yang mana memang dikhususkan untuk orang-orang kaya saja. Meridia tidak penasaran dengan status keluarga lelaki yang ditolongnya "Aku akan pergi sekarang. Jangan minta bantuanku untuk mencari kamarmu juga." Cibir Meridia tanpa sungkan.

Pemuda itu terkekeh "Maaf, aku tidak akan merepotkanmu lagi." Dia berjongkok sebentar seakan memastikan sesuatu sebelum akhirnya tanpa persetujuan ia menarik tangan Meridia lalu memberikan beberapa lembar uang.

"Apa ini?" Meridia kebingungan menerima uang dalam jumlah banyak itu.

"Ini tanda terimakasih ku padamu."

"Aku tidak butuh ini."

"Terima saja. Belilah salep untuk tumitmu yang lecet itu, naiklah kereta kuda untuk pulang. Dengan ini kita sudah impas ya. Maaf sudah membuang waktumu begitu banyak."

Pemuda itu melebarkan langkah kakinya masuk ke dalam Gedung penginapan agar Meridia tak mengembalikan uang pemberiannya.

Meridian tertegun di depan sana, ia menunduk melihat tiga lembar uang kertas yang nilainya besar "Aku baru sadar kalau tumitku lecet. Sepertinya sepatuku sudah semakin sempit."

Dia pun mempercepat langkahnya menuju persimpangan yang berjarak tiga meter dari penginapan tersebut, tempat di mana para kusir mangkal. Di sana Meridia bisa dengan mudah menyewa jasa mereka.

Tetapi saat Meridia hendak mengantungi dua lembar uangnya, tiba-tiba ada pencuri yang gesit menyabet semua uang ditangan Meridia "Hei! Pencuri!" teriak Meridia yang berhasil menyita perhatian beberapa orang lewat, namun mereka memilih acuh.

Pencuri itu berlari masuk ke dalam gang kecil. Dia tersenyum meledek Meridia yang tidak dapat mengejarnya karena barang belanjaannya yang berat.

Buagh!

Meridia terperanjat kaget saat pencuri yang telah menghilang dari pandangan karena tertutup batas bangunan tiba-tiba terpental cukup jauh. "A-apa yang terjadi?" gumam Meridia keheranan.

Tidak lama setelah itu pencuri tersebut batuk darah lalu muncullah si pelaku yang membuatnya tak dapat bangkit. Lagi-lagi orang berjubah muncul, pikir Meridia.

Apa sekarang jubah sedang menjadi tren? Oh, tunggu. Bukankah dia orang yang tadi aku lihat?

Sosok misterius itu menginjak perut sang pencuri "Aku bisa membuat lambungmu pecah hanya dengan sekali tinjuan lagi."

Si pencuri itu ketar-ketir melihat senyum psikopat yang terpatri di wajahnya. Tubuhnya secara otomatis meningkatkan hormon adrenalin hingga membuat si pencuri gemetaran hebat "Kembalikan uang itu atau aku cungkil keluar bola matamu?"

"A-a-ak-akan ku kembalikan! Biarkan aku pergi!" katanya gagap. Dia pun memberikan uang yang dicuri dari Meridia kepadanya "a-aku tidak akan melakukannya lagi."

"Pilihan yang bijak."

Si pria pencuri itu lari terbirit-birit menjauh dari tempat itu sambil memegangi perutnya yang terasa nyeri berlebih.

"Apa yang dia katakan? Kenapa pencuri itu takut?" gumam Meridia penasaran.

Dari perawakannya Meridia tahu sosok berjubah itu merupakan seorang laki-laki, namun berbeda dari pemuda tampan yang dia tolong beberapa saat lalu. Orang yang sekarang terlihat tampak lebih tinggi dari yang sebelumnya.

"Ini uangmu. Lain kali kau harus berhati-hati."

"Terima kasih, tuan."

Meridia mengangkat wajah penasaran saat tangan pemuda itu bergerak membuka tudung jubahnya sendiri.

Deg

Jantung Meridia seperti terhenti sesaat. Meski memakai topeng penutup mata, itu tak bisa menutupi wajahnya yang sangat tampan, tak kalah tampan dari orang yang meminta bantuannya untuk bisa sampai ke penginapan. Kalau boleh jujur, rasa kala Meridia melihat kedua lelaki itu sangat berbeda.

Pemuda asing itu tersenyum "Kau baik-baik saja? Kau nyaris tidak berkedip. Ada sesuatu di wajahku?"

Meridia tersadar dari lamunannya, ia pun menggeleng "Aku baik-baik saja. Maaf, aku tidak sopan."

"Tidak masalah."

Meridia tidak terlalu suka berbasa-basi "Anu, permisi. Apakah kau orang yang tadi pagi tersenyum padaku di pasar?". Meski sebentar Meridia dapat melihat tubuh pemuda itu tersentak, "Ah ya benar."

"Kenapa kau tersenyum padaku?"

"Ya? Itu karena kau menatapku jadi aku mencoba bersikap ramah dengan tersenyum." Meridia masih merasa ragu meski pemuda itu telah menjawab pertanyaannya "Bisakah kita ubah panggilannya? Boleh aku tahu siapa namamu?"

"..." Meridia tidak yakin ingin mengambil keputusan apa "Meridia" lirihnya.

"Meridia? Nama yang sangat indah."

Tidak juga. Kau tidak tahu namaku tidak seindah kehidupan menjijikkan ku.

"Terimakasih."

Lelaki tampan berusia sekitar Sembilan belas tahunan itu mengulurkan tangan "Perkenalkan namaku Lucien." Mereka berdua berjabat tangan "Ah...ya, salam kenal."

"Mau ku antar pulang?" tawarnya namun dengan secepat kilat ditolak oleh Meridia "Tidak perlu. Aku baru saja ingin mencari kereta untukku pulang."

"Ya sudah kalau begitu. Sampai ketemu lagi." Satu alis gadis itu terangkat "Lagi?" beo nya bingung.

Terpopuler

Comments

Dede Mila

Dede Mila

/Proud/

2024-05-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!