Kinara terkejut mengetahui suatu hal. Ia tidak tahu kalau anak kemarin adalah langganan perpus. Selama ia bekerja di sini, ia tidak pernah lihat anak itu datang lalu absen.
"Raffano, kan? Dia seangkatan dengan kita. Setiap hari hampir di jam yang sama selalu datang ke sini."
Begitulah kata Arika saat ia bertanya tadi.
"Gue meleng apa bagaimana?" batinnya.
Ia berpikir kalau Raffano datang sewaktu dirinya tidak dalam jam wajib. Namun, akhir-akhir ini Kinara menghabiskan sebagian besar waktunya di perpustakaan. Dia tak menyadari kehadiran lelaki itu di sana.
Tak!
Sebuah buku tebal digunakan untuk menjitak kepala gadis itu. Kinara tak mengaduh, ia tengah melamunkan sesuatu. Arika memandanginya dengan wajah cemberut.
"Lo hobi ngalamun atau bagaimana, hah?!" tegurnya.
Kinara malah menyengir kuda. "Ahaha, gue cuma berpikir tentang apa yang lo omongin tadi," katanya.
Arika menghela napasnya, "Anak itu hampir setiap hari mengunjungi perpus menurut buku absen yang lo baca," katanya.
Kinara berusaha menyembunyikan ekspresi syok. Jarang ia menemukan anak laki-laki yang suka datang ke perpustakaan. Apalagi membaca novel roman seperti itu.
Arika mengernyit melihat Kinara yang kembali diam. "Ada apa?" tanyanya penasaran.
Gadis itu hanya menggeleng. Ia tak mau Arika menaruh curiga. Temannya itu akan meledeknya kalau menyangkut lawan jenis.
"Tidak ada." Kinara menggeleng.
"Yah, gue heran ada laki yang suka baca novel," gumamnya.
Ia mulai membaca beberapa buku untuk mengalihkan perhatian. Arika malah mengangguk dan pergi entah ke mana. Helaan napas lelah keluar darinya.
"Lo... ngawasin gue lagi?"
"Ha?"
Terkejut? Tentu saja. Kinara bahkan tidak sadar. Raffano sudah berdiri di depan mejanya. Biasanya selalu terdengar ketukan buku di meja. Ia tak menghitung sudah berapa menit terlarut dalam dunia fantasi yang ia baca.
Gadis itu tak tahu harus bereaksi apa. Seperti maling yang sudah terbongkar gelagatnya. Kepalanya menunduk, matanya berkeliling mencari alibi.
"Benar ternyata," cebik lelaki itu. Raffano tersenyum miring.
Hati Kinara kesal mendengarnya. Ia segera melayani peminjaman buku agar Raffano segera pergi. Namun, lelaki itu masih di sana dengan senyuman miring.
"Dasar, apa lagi yang dia tunggu?!" batin Kinara.
Ia memutuskan untuk kontak mata dengan Raffano. Kinara menatapnya dengan senyum palsu.
"Ini formalitas, oke?" batinnya getir.
"Ada yang bisa di—"
Ucapannya terpotong karena lelaki itu pergi begitu saja. Kinara mencelos melihatnya. Ia merasa sedang dipermainkan.
"Dasar aneh!" gerutunya.
Kinara mendengus kesal. Padahal sudah sering mendapatkan perlakuan yang sama. Namun, entah mengapa kali ini terasa menyebalkannya.
Diam-diam ia merutuki Arika yang malah tidak ada di sana. Temannya itu selalu muncul setelah masalahnya selesai. Rasanya seperti melarikan diri dan melimpahkannya pada Kinara.
"Ada apa?" celetuk Arika yang muncul tiba-tiba.
"Astaga!"
Sebagian pengunjung menoleh ke arah mereka. Kinara tak sengaja memekik ketika temannya muncul. Ia berdiri dan meminta maaf pada para pengunjung.
Arika malah mendelik ke arahnya, "Heh, lo kenapa?"
"Kenapa katanya? Salah siapa? Hilang lalu muncul tiba-tiba!" batin Kinara sebal. Ia tak bisa mengomel di perpustakaan.
Arika acuh tak acuh melihat Kinara yang sebal sendiri. Ia kembali duduk dan membaca novel. Teman Kinara yang satu ini seperti tak peduli pada hal yang bukan urusannya.
Kinara berdecak, suasana hatinya malah buruk. Ia memutuskan untuk meninggalkan perpustakaan. Perutnya juga keroncongan karena tidak sempat sarapan pagi tadi.
Arika melirik sekilas, "Mau ke mana, lo?"
"Kantin!" balasnya masih sebal.
Langkahnya terhenti sebelum membuka pintu. Kinara jadi teringat kejadian kemarin. Hal itu membuatnya terdiam sebentar sambil memegang knop pintu.
Pikirannya bertanya, apakah Raffano masih ada di luar. Lelaki itu belum lama melengos tadi. Ia malas berdebat kalau sampai terulang kembali.
Kinara mendengus kesal, "Terserah saja, emang ini sekolah punya dia?!" gerutunya.
Klap!
Pintu terbuka, gadis itu menyembul dan menoleh kanan kiri. Ia bersorak senang dalam hati mengetahui tak ada siapapun di sana. Kinara jadi berlaku aneh sebab celingukan sana-sini.
Seperti pencuri yang tengah bersiap melancarkan aksinya. Ia mencoba untuk melangkah perlahan. Langkah kakinya sama sekali tak berderit.
"Aman!" ucapnya dalam hati.
Gadis itu berhasil sampai di kantin. Ia memilih salah satu mesin penjual otomatis. Teh oolong terlihat menyegarkan siang ini. Kinara menyesapnya untuk mengusir dahaga.
...\= \= \=...
Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Namun, Kinara masih berjalan dengan gontai menuju halaman sekolah.
Terkadang ia memakinya mengapa harus seluas ini. Sekolah elit semua serba besar. Gedung, lapangan, taman, bahkan gerbang. Hal itu membuatnya merasa sangat kecil.
"Kenapa pula gue bisa berakhir di sini?" gumamnya.
Itu semua berasal dari beasiswa. Berawal dari dirinya yang masuk juara olimpiade mewakili sekolah. Ia banyak bersyukur akan hal itu.
Ayah dan ibunya tak perlu pusing lagi untuk membiayai sekolah. Semua uang hasil bekerja bisa ditabung untuk kebutuhan lain. Tanpa sadar, gadis itu tersenyum sendiri mengingatnya.
Kembali lagi di sini, di tengah lapangan SMA. Entah ia sendiri atau orang lain juga merasakannya. Matahari semakin terik, seperti berada di tengah gurun.
Perempuan itu menoleh ke kanan kiri juga ke belakang. Entah untuk apa ia melakukannya. Kakinya melangkah kembali menuju tempat parkiran.
Ia menghela napas lega. Seperti mendapat keberuntungan hari ini. Kalau biasanya ia agak sedih melihat sepedanya dijadikan samsat bagi para perundung. Hari ini, sepeda kesayangannya itu masih berdiri di tempat.
"Yes, hari ini kagak nyuci lagi. Masih bersih seperti baru," katanya dengan antusias.
Masih di gerbang, ia berhenti karena ada yang sesuatu di depan sana. Seseorang dengan mobil sedan yang terparkir. Hal itu menarik perhatiannya.
"Mobil siapa, tuh? Emang boleh parkir di jalan?" batinnya.
Kepalanya celingukan sana-sini. Padahal manik matanya tetap tertuju pada mobil di seberang jalan. Ia tak ingin ketahuan sedang mengamati orang.
Padahal ini bukan tujuan awalnya. Kinara hanya berniat untuk pulang. Kebetulan sesuatu yang dianggapnya "menarik" muncul di depan mata.
"Silakan, Tuan Muda."
Kinara sukses membelalakkan matanya. Telinganya tak salah mendengar. "Gila, sebutannya saja Tuan Muda!" batinnya.
Mobil melaju perlahan meninggalkan tempat itu. Tanpa sengaja ia melihat sesosok remaja yang ia 'kenal' di sana. Anak lelaki tanpa emosi dengan sikap menyebalkannya.
"Benar dugaan gue! Dia anak orang kaya seperti anak lain. Pantas, bikin panas hati!" gumamnya.
Kinara jadi kepikiran. Ia mulai bertanya-tanya tentang eksistensi Raffano. Namun, yang ia pikirkan hanyalah jari lentik dan wajah sombong anak itu.
"Dasar! Apa orang kaya selalu seperti itu?!" gerutunya lagi.
Gadis itu mulai berpikir macam-macam. Bayangannya tentang Raffano si arogan mulai terbentuk. Ia sudah menaruh kesal padahal tidak kenal satu sama lain.
CTAK!
Kakinya menginjak pedal agak keras. Ia menghentak melampiaskan kedongkolan hati. "Hentikan Kinara, untuk apa memikirkan orang macam dia?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments