Mereka yang berbahagia adalah mereka yang mengubah masalah menjadi hikmah. Ciee, keliatannya pas banget deh kata-kata itu buat aku.
Jadi, setelah tempo hari si Mas Mas rentenir kekinian itu menelpon dan berakhir loss kontak. Di sinilah aku sekarang. Di salah satu mall besar yang ada di daerah simpang lima, kota Semarang. Tebak aku ngapain?
Bukan, ya! Bukan ketemuan dengan mas rentenir. Melainkan, sibuk memilih ponsel baru. Btw, setelah kemarin aku diintrogasi ayah kenapa ponselku metong. Aku jawab dong rusak. Astaghfirullah, ampuni Ody ya Allah, sudah bohong. Dan di sini ayah membelikan aku ponsel baru.
Siapa sih yang nggak mau di belikan iPhone terbaru oleh pengusaha beras porang? Yup, setelah mengundurkan diri dari salah satu perusahaan tambang, ayah mulai berpikir dengan otaknya yang sedikit encer untuk membuat usaha. Dan akhirnya ketemu, membudayakan porang, jenis umbi-umbian yang diproduksi menjadi beras sehat, rendah kalori, gluten free. Istilah bekennya beras shirataki, cek aja di online shop berapa harga perkilonya. Dan ayah masuk salah satu pengusaha sukses itu.
"Udah. Mau apalagi, Nduk?"
"Makasih, Ayah!" Aku memeluknya, bersikap manja seperti anak remaja putri. Tak peduli dengan tatapan mereka yang seakan mencurigai ku sebagai simpanan om-om. "Udah deh, Yah. Nanti tabungan ayah abis!" Aku mengulum senyum lalu menariknya untuk pulang.
Sebelum tiba di rumah, ayah membawaku singgah ke salah satu warung es teler. Aku tak paham kenapa ayah membawaku ke tempat ini. Seolah ingin menghabiskan waktu berdua lebih lama lagi.
Aku langsung menikmati es teler begitu tersaji di atas meja. Rasa dingin langsung menyentuh kerongkonganku. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Ody! ini nostalgia banget rasanya. Ayah seolah membawaku pada momen di masa lalu, saat aku duduk di bangku SMA, yang setiap hari dijemput sama ayah pakai motor Suzuki Shogun. Dan saat matahari lagi terik, ayah membawaku mampir ke sini.
"Target nikahmu usia berapa sih, Nduk?"
"Kenapa sih, Yah? Masih lama!" Nunggu utang lunas dulu. Tentu satu kalimat pendek terakhir hanya mampu kukatakan dalam hati. Ayah yang memiliki prinsip hidup tanpa hutang pasti akan langsung memaki saat tahu aku terlilit hutang. Apalagi pinjaman online yang bunganya waow banget.
"Keren nggak sih, di usia 46 tahun ayah udah gendong cucu!"
"Enggak." 46 tahun? Itu kan artinya tahun ini aku udah harus nikah. Lalu, tahun berikutnya melahirkan cucu untuknya.
"Piye toh, Nduk!"
Ayah menatap malas ke arahku. Masa bodoh, aku nggak mau mentarget kapan harus nikah, kapan harus punya anak. Kalau belum ada yang sreg ya nanti dulu. Dulu sih iya pengen nikah muda, tapi setelah lama gak nemu yang pas jadi malas mikirin nikah.
"Ayah kenalin ke teman ayah mau?"
Aku tertawa. What the ... "Teman ayah? Usia berapa itu?" aku melongo menanti jawaban.
"Jangan gitu, Nduk! Keren loh, dia punya usaha minyak goreng. Usianya matang. Kalau kamu belum ada calon bisa dicoba."
"Aku pasti manggil dia om! Ada fotonya, Yah?" Pura-pura tertarik demi menyenangkan hati ayah.
"Nggak ada. Bunda ngasih ayah hape jadul. Ayah khawatir loh, Nduk. Kamu lama di Malang gak ada yang jagain. Kalau diapa-apain orang gimana?"
"Ayah, di sana ada papa Farhan loh. Jadi, nggak usah khawatir berlebihan." Aku tahu. Aku paham mereka khawatir denganku. Bahkan, saat dulu hendak pergi saja harus melihat bunda meratapiku selama 48 jam.
"Kalau begitu. Jawab pertanyaan ayah. Jujur!"
Aku menelan ludah kasar, lalu mengalihkan fokus dengan menikmati es teller. "Apa?" Sahutku setelah menelan potongan kolang-kaling.
"Kamu udah punya pacar lagi apa belum?"
Demi apa? Kenapa pertanyaan selalu balik ke ini lagi. Dari pada aku dijodohin beneran sama om-om yang katanya teman ayah itu. Lebih baik aku bohong lagi. "U—udah!"
"Alhamdulilah... Kalau gitu cepetan kenalin sama ayah! Ayah mau ngasih wejangan sama dia!"
Nyari bantuan ke siapa coba kalau udah begini? Di kantor cuma ada empat cowok, pak bos, si O-BE dua, sama karyawan magang. Tapi mereka semua nggak dekat denganku.
"Kapan-kapan deh, Yah. Kan hape Ody mati. Ini juga bingung gimana mau ngabari ke dia."
"Okay, ayah tunggu ya." Kulihat ayah begitu semangat.
Kami mulai membahas topik lain. Hingga pukul dua siang, ayah baru membawaku pulang ke rumah sekalian jemput Brandon yang kini duduk di kelas dua STM.
"Eh! Ody cuci tangan dulu jangan pegang adik! Kebiasaan ya habis dari luar loh!"
"Iya, Bundahara. Masak apa nih Bun?"
"Ayahmu nggak ngajak makan emang?"
Kebiasaan bunda pasti selalu menjawab dengan pertanyaan. "Cuma makan es doang, Bun."
Suasana mendadak sunyi, ayah sudah tepar di depan tv. Si Brandon sibuk otak-atik motor cb nya di teras rumah. Sedang bunda sibuk di dapur setelah tahu Nakula bobo dengan ayah. Tentu saja aku mengotak-atik ponsel baru yang baru dibelikan ayah.
Hingga suara dari halaman rumah, mengalihkan perhatianku.
"Nyari siapa ya, Mas?"
"Apa benar ini rumah Bu Aundy Saesya Baghaskara!"
Reflek aku langsung melompat dari sofa, mendekati sumber suara. Aku takut itu mas mas rentenir kekinian yang kemarin menghubungiku.
Saat langkahku tiba bibir pintu, aku melihat sosok pria tengah menengadahkan kepala menatap matahari yang condong ke arah barat. Silau. Dia lantas menutupinya dengan tangan.
"Maaf, mas siapa? Kenalan dulu dong!"
Rasa penasaranku semakin menjadi. Tapi aku belum mau bergabung dengan mereka. Tidak lama aku bisa melihat pria itu menerima uluran tangan Brandon.
"Hugo Kresnajaya. Dari pin—
"Heh, Mas Ugo!" Sela ku berteriak lantang. Membuat dua orang itu langsung menatapku bingung. Aku mendekati mereka, aku harus mencegah niat pria itu yang hendak menagih hutang.
"Dik masuk, Dik!" Titahku, kasar.
Kupastikan Brandon sudah berlari memasuki rumah terlebih dahulu baru aku mendekati pria itu. Tapi teriakan yang keluar dari bibir Brandon seolah memancing masalah baru.
"Ayah, ada pacar mbak Ody di depan, Yah!"
Kampret banget tuh bocah! Kalau pacar kan bawanya bunga mawar, lah ini? Minta bunga pinjaman iya!
Aku masih termangu, menatap sosok pria di hadapanku. Lagi-lagi yang berdiri adalah pria idaman wanita. Keren, bajunya rapi, aromanya wangi, rambutnya klimis. Setelannya cool banget pokoknya, pak boss di kantor aja kalah. Ini kelihatannya Made In Indonesia asli. Kira-kira kalau tidak salah tebak, usianya 30 tahun awal. Tingginya 180an cm, aku sedikit mendongak agar bisa menatap matanya. Dan yang paling menarik adalah ada tahi lalat tepat di atas bibir, hitam legam membuatku gemas dan ingin mencabutnya. Enak kali ya dimainin pakai telunjuk? Kaya ngupil gitu, dikorek-korek biar copot tahi lalatnya. Kan, jadi mbayangin!
"Selamat siang, Ibu Aundy. Akhirnya kita bisa bertatapan langsung. Boleh kita bicara di dalam rumah?"
Enak aja, dia mau buat duniaku gelap! No way!
"Boleh silakan!"
Bukan, bukan aku yang menjawab, tapi ayah yang sudah berdiri di bibir pintu. Mengamati aku dan mas mas rentenir bergantian.
"Nduk, bawa masuk tamunya. Panas. Dibuatin minum dulu kek!"
Aku menoleh ke arah ayah sambil meringis. "Ayah ...."
"Ayah cuci muka dulu ya. Nanti kita bicara!" Ayah terlihat senang, sambil berjalan masuk rumah lagi. Mungkin dikira aku sedang membawa calon menantunya.
Aku menghela napas lega, setidaknya aku memiliki ruang dan waktu untuk berbicara empat mata dengan mas rentenir ini.
"Mas, hutang aku kan, 51 juta ya. Aku janji akan melunasinya. Ayah aku tuh emosian, kalau dia tahu, bisa dibunuh aku. Aku paham, Mas hanya pegawai yang ingin mencapai target. Tapi aku nggak akan lari dari tanggungjawab, kok. Jadi, please tutupin hutangku dari keluargaku. Mereka tidak tahu apa-apa. Ini masalah pribadiku, Mas! Mas pergi, gih! Pulang sana!"
"Tidak bisa. Kecuali ibu Aundy membayar sekarang, baru saya akan pergi."
"Bisa nggak sih sedikit saja kamu kasihan padaku?! Mas aku habis kena tipu, uang itu dipakai sama mantan pacar yang nggak tahu diri itu. Tabunganku raib juga. Jadi please ...." Aku memohon, meminta dia bekerja sama. "Yah ..." Bujukku lagi ketika matanya mulai menatapku iba.
"Tidak bisa."
"Ody, bawa masuk tamunya!"
Suara ayah kembali menyapa. Membuatku mau tidak mau menggelandang rentenir ini masuk ke dalam rumah.
Kami bertiga sudah duduk di kursi tamu. Ayah berhadapan dengan pria itu. Sedangkan aku masih harap harap cemas meski nyawa tinggal separoh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Esther Lestari
ceritanya seru....
2023-12-15
1
Mami Raffasya
aku suka aku suka....
.abg hugo rentenir kekinian
2023-09-26
0
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Wahh keren ayah Sabda👍👍
2023-09-03
0