"Mbak, ponselmu dering itu loh! Dari tadi, masak nggak denger! Nglamunin apa coba! Suami dianggurin, malah dibiarin ngobrol sama orang lain! Habis nikah bukannya seneng malah galau gitu!"
Aku tersentak mendengar omelan Brandon, seketika aku bisa mendengar dengan jelas, seberapa kuatnya ponselku berdering. Terlepas dari itu, ucapan bocah tengil itu memang benar. Pikiranku saat ini sedang meluber—sampai-sampai tidak bisa fokus pada dunia nyata.
"Bawel, ih! minta bunda sana buat dikit aja, jahit bibirmu! Biasanya cowok itu irit bicara, ini kok beda!" sungutku, menatapnya kesal.
"Yang beda yang berbahaya!"
"Eh, maksudnya apa itu! Jangan aneh-aneh ya! Awas saja kalau salah gunain tuh bibir!"
"Kepo! Udah tuh angkat teleponnya bising banget tau nggak!" bibir Brandon mencebik ke arahku, kemudian kakinya segera berlari meninggalkan kamar, saat aku mengangkat sisir hendak melemparkan ke arahnya.
Walau kami memiliki selisih umur yang cukup jauh, bukan berarti kami tidak pernah adu mulut. Dia yang bawel dan aku yang nggak mau diganggu, membuat kami jadi sering berantem saat berada di satu atap yang sama. Tapi kali ini berantemnya level ringan nggak sampai mengarah ke sengketa tanah maupun warisan.
Aku mengambil jeda untuk mengontrol diri, sebelum akhirnya menerima panggilan dari "Bos Terhormat" ❤️ jangan heran kenapa terdapat emoji love. Pak bos sendiri yang lancang membubuhkan emoji itu di phone book ponselku.
"Hallo, Pak Bos .... Udah kangen kah, ini aku masih cuti. Kenapa pakai telepon segala sih? Emangnya si Embun nggak ada?" Aku menyela, menghentikan kebiasaanya yang selalu mengomel di awal obrolan telepon.
"Kapan balek Malang? Aku pusing, nggak ada kamu di sini?"
Aku tergelak. Memang nggak ada yang lucu sih, tapi ngebayangin seberantakan apa Wildan saat tidak ada aku. Seru banget. "Makanya belajar mandiri. Baru ditinggal lima hari loh," sahutku, berusaha menghibur.
"Aundy, kalau udah selesai masalah mu segera kembali ke Malang. Aku punya bonus kalau kamu mau segera datang."
"Bonusnya palingan coklat Cadbury. Ogah!" Jawabku, memang begitu pak bos kalau selesai dengan proyek besar, pasti akan bagi-bagi coklat pada 15 pegawainya.
"Nggak mau Yo wes!" jawabnya ketus.
"Bapak kangen beneran ya sama aku?" godaku, dengan nada rendah, jangan sampai rentenir itu dengar.
"Iyalah, lima hari nggak ketemu kaya satu abad."
Aku tertawa lagi, merasa lucu saja membayangkan wajah pak bos yang biasa judes pedes mendadak berkata sweet semanis madu TJ.
"Jangan mesra-mesra, Pak. Nanti suamiku marah loh."
"Hah?" aku bisa mendengar reaksi shock dari seberang panggilan, dan aku hanya bisa mengatakan maaf dalam hati. "Aku nggak salah denger. Bukannya kamu bilang yang nikah itu sepupumu?"
"Hm." Aku mempertegas dengan anggukan, yang jelas-jelas tidak bisa disaksikan oleh Wildan.
"Aun—dy! Aku nggak percaya ya kalau kamu belum buat feed di Ig."
"Habis ini aku posting," ucapku. Setelah ini tugas selanjutnya adalah memilah foto terbaikku hari ini, lalu posting di akun IG sekalian ingin memancing pria bernama Dirga itu muncul ke permukaan.
"Serius? Aku nggak percaya loh?! Secepat inikah? Habis bucin ke Dirgamalama, terus bucin ke siapa lagi yang ini?"
"Ceritanya panjang. Nanti kalau sudah sampai di Malang, aku bakalan cerita." Jadi begini, pak bos yang bernama Wildan Nugraha itu, usianya masih sepantaran denganku. Aku, Embun Batari, dan Wildan Nugraha, dulu kuliah di universitas yang sama. Hanya saja, Wildan lebih diuntungkan dalam hal berkarier, lalu menarikku dan Embun untuk bekerja di perusahaanya. Tapi kita tetap profesional, bisa menempatkan diri antara dunia kerja dan hura-hura. Saling menegur, saling menjaga. Tapi perihal pinjaman online itu mereka sama sekali tidak tahu—aku malu harus mengakui kalau ucapan mereka tentang Dirga itu benar.
"Ya udah, aku tunggu kamu di Malang. Kabari aku kalau sudah dekat stasiun, aku bisa menjemputmu. Jangan lupa, bandeng sama wingko babat nya!"
"Transfer dulu, harga barang plus ongkos jalan ditambah lagi keuntunganku, yah kalau ditotal, lima ratus ribu cukup!"
Kudengar tawa dari seberang panggilan.
"Ya." Dia kemudian merespon, tentu saja aku senang, dia juga nggak mungkin memberiku 500 Ribu untuk pegawainya yang mata duitan ini.
"Thank you, muachhh!" Tepat setelah aku menutup panggilan, si tengil kembali masuk ke dalam kamar.
"Ngapain lagi?!"
"Nganterin koper Mas Ipar." Ia menjawab lemah.
Aku melirik apa yang sedang dibawa Brandon. Melihat koper warna merah hitam yang dibawa olehnya, mendadak irama jantungku menjadi tidak beres.
Malam nanti adalah malam pertama kami. Aku tidak tahu, apa dia akan unboxing langsung atau kami perlu berdiskusi dulu, membuat perjanjian tidak ada seekss sebelum hadirnya cinta, layaknya di novel romansa yang biasa kubaca. Pusing tujuh keliling, mikirin itu. Rasanya masalahku tak ada titik atau bahkan koma. Justru seperti kereta yang jalan tanpa hambatan. Lagi-lagi aku perlu mencari Dirga, untuk bertanggungjawab atas apa yang sudah aku alami.
"Bye, Mbak! Aku mau beli earplug dulu biar nggak dengar desahhanmu!"
"Heh, ngawur ya! Nggak gitu!" aku sudah berdiri hendak menempeleng Brandon, tapi bocah itu sudah melesat jauh meninggalkan kamar. "Bandit beneran lama-lama tu bocah!"
Sesaat berlalu, pintu kamar kembali terbuka. Kupikir Brandon yang masuk, tak tahunya mas mas rentenir yang sialnya terlihat tampan walaupun acak-acakan.
"Aku mau ke kamar mandi."
Aku mendongak, mempertemukan mataku dengan tatapannya. "Perlu kuantarkan? Kamar mandi kan ada di dekat dapur?" tawarku, karena kebetulan kamarku tidak ada fasilitas kamar mandi dalam—yang ada khusus di kamar bunda.
"Tidak perlu. Oh, ya setelah ini aku pengen ngajakin kamu keluar."
Sialan, ngomong gitu aja, kenapa ketampanannya bertambah! "Ke—kemana?" please Aundy, dia suamimu—nggak perlu segugup ini buat ngadepin dia! pusat otakku seolah memperingati daya kerja tubuhku yang mendadak ngeblank.
"Om Radit mau langsung balik ke Jakarta. Aku mau mengantarnya ke bandara."
"Hm. Kalau begitu aku akan siap -siap."
Dia mengangguk tanda setuju. Kulirik lagi suamiku, rupanya tengah sibuk membongkar koper, yang sepertinya sedang mencari perlengkapan mandi. Jangan sampai ada adegan sem pak tercecer ya, kalau sampai itu terjadi, aku bakalan lari ke kamar bunda.
Alhamdulillah, lega rasanya melihat dia berlalu, dekat dengannya udara di sekitarku seperti dirampas habis. Akupun langsung turun dari ranjang, ingin bersiap mengantar om Radit ke bandara.
Aku rasa, tidak perlu dandan berlebihan di depannya. Aku hanya perlu menghormati dia sebagai suamiku karena mau ditawar bagaimanapun, kita sudah memiliki alasan kuat kenapa tetap harus bersama. Dia nggak mungkin semudah itu meminta perpisahan.
Mungkin, setelah pulang dari bandara, kita perlu waktu, duduk berdua, membahas bagaimana hubungan kita ke depannya. Dan semoga yang terbaik. Bukan hanya bagiku tapi untuk dia juga.
Semua berjalan dengan baik, pukul tujuh malam pesawat yang ditumpangi om Radit sudah take off menuju kota Jakarta. Beliau meninggalkan pesan padaku, berkata kalau bulan depan hendak menikahkan putrinya, dan aku sebagai istri dari Hugo Kresnajaya berhak hadir di acara itu. Aku menyetujui, dan itu artinya aku harus merayu Wildan lagi—supaya mengizinkan aku pergi ke Jakarta.
Okay, mari kita lanjut entah apa yang hendak dibahas Mas Hugo ketika kami berdua sudah duduk berhadapan di salah satu resto legend yang ada di kota Semarang. Dengan tangan ditekuk di depan perut, dan pandangan menatapku tanpa kedip. Entah apa yang menarik dari wajahku ini.
"Nyari apa di wajahku, Mas? Nggak ada dollar kan? Di jidatku nggak ada tulisan saldo rekening yang bisa kamu tarik dan rampas untuk melunasi hutang kan?" aku tertawa, berharap jokesku ini bisa membuat dia berhenti menatapku intens. Sialnya, itu tidak mempengaruhi sedikitpun.
Dia masih diam, menatapku tanpa ekspresi. Aku rasa ini adalah cara menghabiskan waktu unfaedah. Masih mending nongkrong bertiga dengan mereka, yang biasanya akan membuat perutku kram mendengar Wildan dan Embun saling lempar candaan.
"Lumayan."
Satu kata keluar dari bibirnya, dalam hatiku bersorak, horee saat mendengar itu. "Maksudnya?"
"Lumayan, nggak malu-maluin kalau kubawa ke Jakarta."
"What? Tunggu nih, aku masih bingung." Aku menutupi lemotnya kerja otakku dengan ringisan kecil.
"Kamu dengar kan om Radit tadi bilang apa? Acara pesta pernikahan pasti akan meriah. Dan kalau kamu ikut, dari penilaianku, wajahmu ini nggak bikin malu aku! Paham?"
"Sudah tua, harusnya ngelawaknya stop! Dewasa dikit kenapa sih. Keliatan banget kalau masa kecilnya enggak bahagia."
Dia menunduk setelah aku mengatakan itu. Apa mungkin aku salah ceplos. Tapi salah dia sendiri sih yang memulai duluan. Gini-gini tuh, walau tinggiku kurang dari 160 cm aku juga pernah bikin patah hati. Nolak cinta tujuh pria tampan di Indonesia. Yang sekarang nggak tahu keberadaanya di mana. Yang jelas, saat aku posting foto di IG mereka masih suka memberiku like.
"Usia hanya angka. Kenapa harus memaksa dewasa kalau memang masih pengen seperti ini? Hidup cuma sekali jangan dibikin pusing, dan enjoy menikmati momen itu lebih baik dari pada melewatkannya!" Dia meraih gelasnya menikmati jus yang baru saja diletakan pelayan ke atas meja. "O, ya! Besok siang aku harus kembali ke Jakarta."
"Aku juga harus kembali ke Malang." Aku nggak mau kalah.
"Terserah kamu."
Sialan! "Terus hubungan kita?" tanyaku, aku ngikutin cara dia, yang mulai menyantap makanan.
"Apalagi? Kita akan bersikap wajar di depan mereka sebagai pasangan. Tapi saat kita berada di tempat yang berbeda, terserah kamu masih menganggap diri kamu single atau yah ... married. Aku tidak peduli. Seperti halnya aku."
Mati saja yuk, Dy! Tuh dia udah nunjukin sifatnya. Yuk pikirin endingnya mau dibawa ke mana pernikahan ini?
"Lalu, apa tujuan dari hubungan kita? Sidang perceraian atau surga?" tanyaku, membuat Mas Hugo menghentikan gerakan tangannya menyendok nasi. Dia menatapku, aku berusaha membalasnya. Walau dia sudah uzur bukan berarti aku tidak berani ya? Eh, nggak uzur juga deh! Takut aku, nanti dia jompo beneran saat aku mulai jatuh cinta.
"Aku rasa kamu sudah tahu arahnya. Aku hanya penasaran dengan alur yang kamu berikan. Bukannya kamu sutradara handal?" dia terkekeh, sambil geleng-geleng kepala.
Definisi manis tapi nyebelin ada di dia semua. Aku menghembuskan napas kasar, setelah sadar ternyata aku menikah dengan banditnya bandit!
"Bingung. Aku takut jika keputusanku memilih surga itu tak sesuai yang kamu harapkan. Rasa kecewaku terhadap laki-laki juga belum sembuh."
"Nah bener! Selain itu kamu juga belum tahu sedikitpun tentang aku! Seandainya tahu, mungkin enggak akan berani dekat!"
Sure. Aku ingin mengenalnya lebih dekat. Tapi jujur takut, kalau nanti, ternyata pribadinya tak seperti yang aku mau, atau minimal tidak seperti ayah. Gimana kalau dia bener rajanya bandit? Ngeri, kan?
"Aku akan ngasih tahu kalau kamu siap mendengarnya. Untuk sementara mari kita jalani peran kita masing-masing! Kamu bebas melakukan apapun! Anggap saja ini bantuan dariku. Dan terima kasih juga sudah membantuku!"
"Aku membantumu?" aku bingung, bukankah selama ini aku yang memanfaatkan kehadirannya.
Dia mengangguk, lalu punggungnya membungkuk, mengikis jarak denganku. Membuat mata ini semakin jelas melihat tahi lalat hitam di atas bibirnya. Mendadak jantungku berdetak lebih cepat saat wajah manis itu berada tepat di depanku, lalu berhenti saat bibir kami nyaris bersentuhan.
"Ya, mereka tidak lagi menganggap aku pria single," bisiknya, lalu tubuhnya kembali ke posisi semula.
Dia tersenyum bahagia saat melihatku gelisah. Keliatan manis banget dia, sumpah! Apalagi di redupnya cahaya kuning dari sinar lampu. Tapi niatnya tak seindah senyuman yang dia berikan. Kami sama-sama diuntungkan atas pernikahan ini. Dengan catatan, kami berdua tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di depan nanti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
😍🥰🥰😊😄😄😁😆😆
2023-09-24
1
choowie
jangan bilang mas.hugo suka mn pedang"an sama cowok🤭
2023-08-28
0
Moms Rafialhusaini 🌺
berarti mas Hugo masih single Ody 🤭🤭 hanya udah kematangan aja umurnya 🤣
2023-08-27
1