BAB 3

Di lantai dua terdapat banyak kamar yang saling berhadapan satu sama lain, mulai dari kamar tamu, kamar orang tuanya, ruang jahit mommynya, hingga ruang kerja ayahnya.

Sarah akan mandi di kamar tamu, saat ia berjalan menuju tangga, ia melewati kamar tidurnya yang lama, yang di sebelahnya terdapat sebuah pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah. Sarah mrnolak untuk melihatnya sehingga ia bergegas menuju tangga.

Sarah menjatuhkan tasnya di depan pintu kamar tamu dan mengeluarkan pakaian ganti yang baru. Ia akan membawa tas-tas itu ke kamar lamanya setelah mandi, pikirnya. Sarah membuka pintu dan menatap kegelapan, tangannya terangkat ke sakelar lampu dan langsung menemukannya, tanpa harus meraba-rabanya. Saat Sarah menekan tombol, lampu berkedip dua kali Itu adalah kesalahan pada kabel yang dipasang ayahnya ketika beliau membangun rumah ini.

Sarah tersenyum saat masuk ke kamar, ia menjentikan jarinya yang terkena wallpaper saat menyalakan lampu tadi. Rumah ini tampaknya sudah tua, Sarah sudah terlalu jauh meninggalkan Mile Stone. Dia pernah merasakan tinggal di rumah kumuh pinggiran kota Jakarta, apartemen mewah di Jakarta Selatan dan bahkan townhouse sebelum akhirnya pihak kantor mengetahui siapa dirinya dan mendepaknya dari pekerjaannya.

Meski tinggal di tempat tinggal yang mewah dalam waktu yang cukup lama, bagi Sarah tidak ada tempat yang senyaman Mile Stone, rumah ini adalah bagian dari dirinya, dimana ia lahir dan tumbuh di sini.

Sarah tidak peduli apa yang Caroline pikirkan tentang dirinya, tidak peduli betapa sulitnya berada di sini untuk beberapa hari atau minggu atau bulan ke depan, yang jelas Sarah sekarang ia kembali ke Mile Stone. Ia bisa merasakan beban rumah bertumpu di pundaknya seperti lengan yang bersahabat, ini adalah pertama kalinya Sarah merasakan rasa bahagia berada di Mile Stone setelah sekian lama.

...****************...

Sarah berada di kamar mandi lebih lama dari biasanya, ia berdiri di bawah semburan air pancuran yang lemah, kehilangan dirinya dalam kepingan di ubin di dinding sampai air panas mulai habis. Ia bertahan untuk waktu yang lama, membiarkan tetesan air menyelinap di tubuhnya dan menetes ke selokan, di mana mereka meluncur ke bawah di sepanjang pipa logam yang hangat.

Kulitnya masih lembap saat dia berpakaian sebab ia tidak ingin menggunakan handuk di kamar mandi ini tanpa mengetahui mana yang bersih. Sarah meraih pengering rambut merah jambu kuno milik ibundanya, ia memiliki rambut yang tebal dan ia hampir tidak pernah melakukan apa pun selain mengepang dan menyanggulnya, padahal dulu ibundanya sering menata rambutnya untuk acara-acara khusus, sebelum tahun yang mengerikan itu datang.

Sarah mengerjap untuk menghilangkan bayangan yang mengerikan itu, ia menjepit rambutnya yang sekarang sudah kering dan lurus, ia bergegas mengembalikan pengering rambut di tempatnya, ia khawatir ibundanya membutuhkan putri yang sangat nakal ini dan mengira ia bersembunyi di kamar mandi mengabaikan ibundanya yang sedang sekarat padahal Sarah ingin berusaha untuk menjadi lebih baik.

Sarah menyusuri lorong lantai dua yang remang-remang dan turun dari tangga, menuju kamar masa kecilnya, saat mendekati kamar pandangannya tersangkut pada sesuatu yang asing bagi dirinya. Ada foto-foto di dinding, tapi bagaimana bisa? Sebelum ia meninggalkan rumah ini ibundanya menjatuhkan foto-foto itu semua karena emosi.

Caroline pasti mencetak ulang kemudian di bingkai lagi dan menggantungnya di dinding. Sara memandngi foto ayahandanya, mencoba menemukan sesuatu untuk memuaskan rasa rindunya. Sarah beralih ke foto ia dan kedua orang tuanya, ia mengusap foto itu dengan telapak tangannya, menyipitkan mata dalam cahaya redup rumah tertutup itu. Ia mencoba mengingat kejadian yang telah lampau, namun batinnya berbisik. Apa yang kau lakukan?

Sarah menjauh dari foto-foto itu dan meraih kembali tasnya, kemudian ia membawanya ke kamarnya.

...****************...

Kembali ke kamar masa kecilnya tidak seburuk yang ia takutkan. Lemari berlaci yang menempel di dinding tempat dulu ia bersembunyi ketika kesepian, di samping lemari terdapat meja belajar, dan satu buah kursi kayu reyot yang biasa Sarah gunakan untu mengerjakan pekerjaan rumah.

Kamar ini lebih luas dari ruangan lain, dan selalu menjadi tempat teraman di rumahnya, ia menghabiskan bertahun-tahun duduk di kursi itu, mendengarkan langkah kaki ibunya, menunggunya membuka pintu untuk memberikannya maaf ketika ia berbuat salah. Di bagian tengah terdapat tempat tidur lamanya, Sarah meletakkan tasnya di atasnya, tanpa sengaja ranselnya menyenggol bagian bawah rangka tempat tidur hingga membuat tempat tidur itu bergetar.

Saat ia tidur setiap kali ia membalikkan badan suara bising itu menggema, tapi ia sudah tidur di tempat tidur itu selama bertahun-tahun, dan ia sudah terbiasa dengan suara goyangan logam yang longgar. Mengapa ayahnya tidak pernah memperbaikinya? Sarah hanya bertanya-tanya tanpa tahu jawabannya.

Sekarang Sarah sudah dewasa, ia pikir ia bisa memperbaikinya sendiri hanya dengan mengencangkan sekrup dan tempat tidurnya tidak akan berisik lagi. Namun ia butuh alat dan alat-alat itu ada di gudang bawah tanah, tempat yang di larang oleh almarhum ayahnya untuk datang ke ruangan itu.

Sarah memberanikan dirinya untuk masuk ke ruangan itu, ia mulai mendorong pintu hingga terbuka dan menyalakan saklar lampu. Lampu itu menyilaukan matanya sesaat, membuat bayangan-bayangan bergerak melintasi pandangannya. Sarah meremas pakaiannya. "Tenanglah, Sar," gumamnya, ia memejamkan matanya dengan erat sembari berkata pada dirinya sendiri bahwa ia hanya kelelahan karena menempuh perjalanan panjang, dan saat tiba di rumahnya, ia melihat ibundanya dalam keadaan... Atau mungkin saja karena perutnya yang kosong sehingga ia berhalusinasi mengenai bayangan itu, yang ia butuhkan hanyalah tidur.

Sarah mengurungkan niatnya untuk mengambil perkakas, ia berbalik kemudian berlari kembali ke kamarnya. Dada Sarah terasa sesak, dulu ia pernah mencoba masuk ke ruangan itu namun ibundanya memarahinya habis-habisan, jika serang ibunya mengetahui ia mencoba masuk ke ruangan itu lagi, Sarah tidak peduli. Ia akan melewatan makan malam untuk menghindari ibunya.

Ia membentangkan seprai baru yang ia ambil dari lemarinya, begitu ia menyelipkan satu sisi seprai di ujung tempat tidur, rangka tempat tidur bergetar. Sarah melepas tangannya dari tempat tidurnya, tempat tidur itu semakin bergerak kencang. Semburan adrenalin membakar beban dari tulangnya dan menggantinya dengan dengungan ketakutan yang keras. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa yang terjadi hanya halusinasi, tapi tentu saja itu tidak berhasil sama sekali, pikirannya langsung menolak ini sebagai kebohongan yang nyata. Rangka tempat tidurnya benar-benar bergetar.

Sarah mundur beberapa langkah, ia sama sekali tidak menyentuhnya, tidak ada yang menyentuhnya, tapi tetap saja berderak. Sarah menarik napas, club PMR yang pernah ia ikuti waktu SMA menyarankan untuk menarik napas dalam-dalam di saat-saat gugup.

Sarah memberinya nilai A- pada club itu karena nyatanya menarik napas dalam-dalam sama sekali tak mengurangi rasa takut. Tidak ada tempat untuk bersembunyi selain lemari, karena pintu itu masih tertutup rapat. Tapi Sarah tidak ingin bersembunyi, ia ingin mengetahui apa yang terjadi dengan ranjangnya. Dengan tubuh yang gemetar ia membungkuk untuk melihat ke kolong tempat tidur. Tidak ada apa-apa di sana. Tentu saja tidak ada apa-apa. “Ayolah Sarah,” desisnya. “Kau hanya lelah dan ini kekanak-kanakan. Jangan kekanak-kanakan, lebih baik istirahat.”

Sarah kembali ke tempat tidur, ia melempar celana dan bra ke lantai untuk dipakai kembali besok. Ia mulai memejamkan mata. Sial. Ia lupa mematikan lampu, tidak pernah sekalipun dalam hidupnya bisa tidur dengan lampu menyala, dan itu tidak akan berubah sekarang, hanya karena dia berada di kamar lamanya.

Ia bangkit dari tempat tidur dengan cepat kemudian berjalan dan mematikan lampu dengan tamparan keras di tombol. Sarah kembali ke tempat tidur, lebih cepat lagi, menggetarkan bingkai tempat tidur, ia berbaring di atas seprai datar tanpa selimut, telapak tangannya masih perih sebab ia menampar dinding tadi.

Ia marah pada dirinya sendiri karena alasan yang tidak bisa dia ungkapkan, ruangan yang akrab itu penuh dengan keheningan yang tidak biasa. Pasti ada badai di atas kepala, karena hampir tidak ada cahaya sama sekali yang masuk melalui jendela kamar tidurnya. Ini seperti tengah malam di dasar lautan, Sarah tidak menyukai semua ini, tetapi kelelahan yang mendalam dari perjalanan panjangnya menuju Jogja menguras tenaganya.

Pikiran terakhir Sarah sebelum tidur adalah betapa bodohnya dia sampai ketakutan. Ini adalah Mile Stone, rumah yang dibangun ayahnya. Tidak ada yang perlu ditakutkan di sini.

Terpopuler

Comments

🍾⃝ͩᴢᷞᴜᷰɴᷡɪᷧᴀకꫝ 🎸🎻ଓε🅠🅛⒋ⷨ͢⚤

🍾⃝ͩᴢᷞᴜᷰɴᷡɪᷧᴀకꫝ 🎸🎻ଓε🅠🅛⒋ⷨ͢⚤

di buat tegang ketika baca cerita ini 👍 bikin ku kepo ja kelanjutannya gimana

2023-09-09

2

⏤͟͟͞Rᵇᵃˢᵉ αииα 🅑αbу ՇɧeeՐՏ🍻

⏤͟͟͞Rᵇᵃˢᵉ αииα 🅑αbу ՇɧeeՐՏ🍻

tapi rasanya rumahnya agak seram ya

2023-08-23

2

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

🍭ͪ ͩ𝐀𝐧𝐠ᵇᵃˢᵉՇɧeeՐՏ🍻☪️¢ᖱ'D⃤

hemmmm makin kesini makin seremmm haduuh

2023-08-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!