Taani berjalan menyeret kakinya yang terasa begitu berat, menyusuri lorong rumah sakit.
Tujuan utamanya kursi kursi taman yang ada dibelakang rumah sakit yang sudah hampir satu minggu ini menjadi tempat favoritnya.
Menenangkan hati dan pikiran yang berkecamuk, bak simalakama.
Sampai detik ini pun, Taani belum bisa mengambil keputusan apapun.
Ya Tuhan.
Aku harus bagaimana.?
Aku sungguh tidak bisa menikah dengannya.
Terkejut, saat dua tangan mendarat di pundaknya dengan tepukan keras.
"Kemarin aku mendapatkan kabar, bahwa orang yang terbiasa menyendiri begitu mudah untuk mati."
Suara seorang wanita sang pemilik tangan, bergerak untuk duduk di samping Taani.
Seorang wanita lengkap dengan jas berwarna putih yang melekat di tubuhnya.
" Cih." Taani melengos masam
"Haha maaf, ayolah aku hanya bergurau."
Wanita muda itu terkekeh, membetulkan letak stetoskop yang menempel di lehernya. "Kalau Kau kerasukan hantu rumah sakit ini, aku juga yang repot tau." Menjawab dengan gurauan.
Dini, dokter spesialis jantung di rumah sakit tempat ayah Taani di rawat, sekaligus sahabat karibnya sejak Sekolah Menengah kejuruan.
"Kamu masih belum mengambil keputusan tentang permintaan ayah kamu, Tan?" bertanya padahal sudah tau jawabannya.
Akhir akhir ini Dini sering memergoki wanita yang beberapa hari ini terlihat pucat karena kurang tidur itu melamun, dan lebih banyak menyendiri.
Awalnya Taani mencoba untuk menutupi permasalahan yang sedang melanda hatinya.
Namun bukankah di tutupi serapat apapun rahasia, akan ada waktunya terungkap juga kan!
Ayah Taani lah yang menceritakan semuanya. Tentang permintaannya agar taani mau menikah dengan pria pilihannya.
Kembali menceritakan tentang sosok Pria itu, yang secara kebetulan Dini juga mengenalnya dengan baik.
Karena sang suami bekerja di perusahaan yang sama dan bersahabat baik dengan Pria yang di maksud ayah Taani.
Hening, tidak ada niatan untuk menjawab pertanyaan yang akhir akhir ini membuat kepala Taani terasa berat.
"Ayah mu benar, Kak Rizwan itu memang pria yang baik." Dini kembali berbicara tidak peduli dengan dua pertanyaan nya yang tidak dijawab.
Mendengar ada yang menyebut nama itu tangan Taani terkepal geram, ingin sekali mencakar wajah itu dengan kuku saat wajah pria itu berkelebat di kepala.
Astaga Taani, tenangkan dirimu!
Menatap wajah sahabatnya dengan tatapan jengah. "Kenapa tidak kau saja yang menikah dengannya."
"Astaga, aku sudah menikah, lagi pula kalau kau tidak mau menerima perjodohan itu kenapa tidak mengatakannya kepada Ayahmu." Dini menyandarkan punggung pada sandaran kursi.
"Masih banyak wanita yang mau menikah dengan laki-laki baik itu. Tidak perlu repot-repot melamun seperti ini. Aku sudah merasa repot mengurus banyak pasien, dan aku tidak ingin kau yang akan menjadi pasien ku selanjutnya."
Dini kembali bersuara.
"Omong kosong, kalau begitu berhenti membicarakannya di depan wajahku! "
Helaan nafas Taani terdengar begitu berat.
Dini terkekeh pelan.
"Din.. "
"Hm."
"Menurutmu apa rasanya menikah?" Taani bertanya tanpa mau menatap lawan bicaranya.
"Aku menyesal."
Taani mengernyit bingung, menyesal kenapa? bukankah selama ini pernikahan sahabatnya terlihat baik-baik saja.
"Maksudku aku menyesal kenapa tidak sejak lulus sekolah aku menikah, haha."
Mendengar jawaban wanita itu Taani memutar kedua bola matanya.
"Ayolah, menikah karena perjodohan tidak selamanya buruk."
"Tapi aku hanya ingin menikah dengan orang yang aku cintai." Tani meremat ujung dress yang di kenakannya.
"Dan menikah dengan orang yang mencintaimu jauh lebih bahagia, kau hanya tinggal belajar agar bisa mencintainya."
Taani menatap wajah wanita yang kini tengah tersenyum menatapnya.
Astaga, Taani sampai lupa bahwa wanita yang sudah lama menjadi teman hidupnya adalah tipikal manusia yang sangat mudah menyikapi masalah.
"Aku harus pulang, selain janin ini ada bayi besar yang harus aku urus di rumah." Dini mengusap perutnya yang terlihat membuncit.
"Berhentilah bekerja, apa suamimu kurang memberikan nafkah?" Taani mengerucutkan bibir. Ayolah obrolan keduanya memang terdengar menyakitkan, tapi itu yang membuat persahabatan mereka bertahan.
"Aku akan berhenti bekerja, kalau besok kau menjadi pasien rumah sakit ini, berhentilah melamun!" Dini beranjak dari kursi, menepuk kedua sisi wajah sahabatnya.
"Jaga Ayahmu, dan ingat di rumah sakit ini banyak sekali hantunya." Dini mengarahkan pandangan ke sekeliling mereka yang memang terlihat sepi.
Persis seperti suasana di film-film horor.
"Aku mencintaimu, dan apapun keputusanmu aku akan selalu mendukungnya." Dini kembali bersuara.
"Aku akan memikirkannya nanti, sekarang waktunya kau pulang."
Taani menarik lengan wanita hamil itu, menuju lorong rumah sakit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
EllEna
adik kakak
2020-10-03
1
🎯Pak Guru📝📶
dukung novel saya ya
ILMU YANG BERMANFAAT
mksh
2020-09-09
1