Kedatangan Mertua

Bagas membuka pintunya di tengah malam dengan pelan-pelan. Dia takut mengganggu anak dan istrinya yang sudah terlelap dalam tidurnya.

Di dalam kamar yang remang. Bagas mendekati Renata. Dia tersentak karena masih bisa melihat bekas air mata di wajah istrinya. Dia berjongkok untuk melihat lebih dekat ke wajah tenang istrinya tengah tertidur.

Lagi-lagi dia tertegun ketika netranya mendapati pipi Renata yang memerah bekas telapak tangannya sendiri. Kemudian, Bagas mengelus pelan pipi Renata, sedikit meringis tatkala istrinya sedikit menggeliat begitu dia menyentuhnya. Lantas Bagas mencium kening Renata dan merebahkan dirinya di sebelah sang istri.

***

Renata tersentak ketika mendapati ada tangan yang melingkar di pinggangnya begitu bangun. Dia membalikkan badannya untuk melihat Bagas yang tengah tertidur memeluknya.

Kejadian semalam membayanginya. Kilatan marah sang suami hingga lepas kendali menamparnya berputar jelas di pikirannta, bagai kaset yang di putar ulang. Tanpa sadar air matanya jatuh dan dirinya kembali terisak. Hal itu membuat Bagas terbangun.

Melihat istrinya menangis, Bagas tersentak dan segera membawa istrinya ke pelukannya. Bagas mengelus lembut surai sang istri dan menepuk-nepuk punggung istrinya dengan lembut. Tak lupa gumaman kata maaf dan sayang dia bisikkan.

“Maafin aku, Sayang,” bisik Bagas.

Renata semakin terisak. Menumpahkan kesedihannya di pelukan sang suami. Bagas pun tidak henti-hentinya menggumamkan kata maaf di telinga sang istri. Tidak lupa dia juga sesekali mengecup kepala Renata guna meminta maaf dan menenangkan istrinya.

“Maaf. Aku khilaf. Aku gak seharusnya sampai hilang kendali. Aku terlalu terbakar rasa cemburu,” sesalnya dengan suara seraknya.

“Kamu ... jahat,” lirih Renata mencengkeram ujung kaos yang dipakai suaminya.

Bagas kembali menghujani Renata dengan ciuman di kepalanya. “Iya ... Mas jahat. Mas salah. Kamu berhak marah balik ke Mas sekarang. Tapi ... maafin Mas, ya, Sayang. Jangan tinggalin, Mas,” pintanya menyendu.

“Mas sayang baget sama kamu. Mas gak tau bakal gimana kalau kamu sampai ninggalin Mas, Sayang. Jadi ... marahlah! Pukul kalau perlu. Tapi jangan tinggalin, Mas, ya,” sambungnya semakin mengeratkan pelukannya ke Renata.

Renata yang sudah sedikit tenang, kemudian mengurai pelukan suaminya. Dengan masih ada isakan, dia menatap wajah suaminya yang kini ikut meneteskan air mata meskipun tidak sebanyak dirinya.

“Mas jangan kayak gitu lagi. Aku ... takut,” cicitnya dengan suara yang sedikit bergetar.

Bagas mengangguk mengusap bekas air mata di wajah istrinya. Kemudian mengucup kedua mata Renata yang sembab karena ulahnya. “Iya ... Sayang. Maafin, Mas, ya?”

Renata mengangguk dan kembali memeluk suaminya. Namun, tak lama dia tersentak. Kemudian menoleh ke jam dinding di atas pintu kamarnya.

Dia terlonjak kaget dan bergegas untuk berdiri. Akan tetapi, tubuhnya sedikit terhuyung ketika dirinya bangkit dari duduknya. Renata sontak memegang kepalanya yang terasa pening. Membuat Bagas segera menegakkan tubuhnya.

“Sayang kenapa?” paniknya dan merengkuh istrinya.

“Kepalaku pusing,” jawab Renata lirih, memijit pelan pelipisnya.

“Ya udah, kamu tidur dulu lagi aja, ya. Maaf, Sayang. Karena aku kamu jadi sakit,” ucap Bagas dan membantu Renata merebahkan dirinya.

“Iya. Tapi ... aku harus nyiapin sarapan buat kamu dan Ghea.”

“Udah gak apa-apa. Beli aja makanannya dan Ghea biar aku yang urus. Kamu istirahat aja, ya,” ucap Bagas lembut mengelus surai hitam istrinya.

“Tapi ... kamu kerja,” sanggah Renata membuat Bagas menghela nafas dalam.

“Aku bisa kerja dari rumah kalau kamu lupa. Jadi hari ini kamu bisa bebas me time. Istirahat, ok,” terangnya membuat Renata tersenyum dan mengangguk.

...****************...

Suasana tenang di rumah keluarga kecil Renata tidak bertahan lama. Karena menjelang sore, Santi dan Burhan—orang tua Bagas datang mengunjungi kediamannya. Renata yang tengah tertidur lelap ketika baru meminum obat merasa terusik ketika mendengar suara keras masuk ke indra pendengarnya. Bahkan, Renata jadi terbangun dengan sempurna. Tidak bisa untuk kembali memejamkan matanya.

“Enak banget, ya. Suami kerja di rumah, istrinya enak-enakan tidur. Bukannya jagain anaknya. Malah ngebiarin suaminya yang nanganin semua,” sindir Santi ketika mendapati Renata yang tidur.

Mendengar hal itu Renata mengusap dadanya agar bisa bersabar menghadapi mertuanya yang memang sedikit julid padanya. Kemudian dia mencuci muka dan menghampiri Santi dan Burhan untuk menyambut dan menyalami kedua mertuanya.

Ghea yang tengah berada di pangkuan Burhan—kakeknya terlonjak kesenangan mendapati kehadiran mamanya.

“Sudah lama, Ma, Pa?” tanya Renata berbasa-basi.

Santi hanya melengos. Berbeda dengan Burhan yang tersenyum hangat pada Renata. “Belum, kok, Nak. Belum ada setengah jam,” jawab Burhan hangat.

Renata tersenyum menghiraukan Santi yang menghiraukannya. “Renata buatin teh dulu, ya,” pamit Renata. Kemudian melesat ke dapur.

Namun, siapa yang menyangka jika Santi akan menyusulnya ke dapur dan mengecek isi kulkasnya. Bahkan, mertuanya juga mengecek barang-barang di dapur yang di milikinya.

“Memang udah bener kamu berhenti kerja. Biar anak saya ada yang ngurusin,” ujar Santi ketus dengan melirik menantunya itu.

Renata menoleh dengan menghela nafas pelan. “Iya, Ma.” Renata menjawab singkat, tak ingin memancing keributan.

“Jadi istri itu harus yang berbakti kepada suami. Biar suaminya tidak macam-macam. Karena kalo suami sampai macam-macam berarti ada yang salah dengan istrinya.” Sinta kembali bersuara memberi petuah yang hanya diangguki oleh Renata.

Kemudian Sinta melengos, berlalu pergi begitu saja. Renata hanya bisa diam dan menghela nafas pasrah menyusul mertuanya ke ruang tamu untuk menyuguhkan minuman dan beberapa makanan ringan.

...****************...

Di karenakan sudah malam, dan perjalanan yang lumayan jauh. Mertua Renata memutuskan untuk menginap semalam di rumah pasutri itu. Lantas Renata pun menyiapkan kamar untuk mereka agar bisa istirahat dengan nyaman.

Dia ingin mertuanya betah layaknya rumah sendiri. Lagi pula, suaminya pasti senang bisa bertemu dan berlama-lama dengan orang tuanya. Seperti halnya dia jika bertemu orang tuanya.

“Bagas, gajimu masih tetap apa sudah naik?” tanya Santi keras membuat Renata yang posisinya di kamar tamu mendengarnya dengan jelas.

“Masih, Ma,” jawab Bagas kalem yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

Renata yang telah selesai membereskan kamar tidur untuk mertuanya, lantas ikut bergabung dengan suami, anak, dan mertuanya di ruang tamu. Dia mengambil tempat di samping Bagas.

“Sudah selesai, Sayang?” bisik Bagas pada istrinya.

Renata menoleh tersenyum ke suaminya. “Udah, Mas. Mama sama Papa udah bisa istirahat dengan nyaman,” balasnya lembut membalas genggaman suaminya.

Mendengar hal itu, Burhan mengangguk dan mengajak istrinya untuk beristirahat. “Ayo, Ma. Istirahat dulu. Besok lagi ngobrolnya.”

“Bentar, Pa.” Santi menolak, kemudian menatap anak dan menantunya bergantian.

“Per bulan berapa pengeluaran kalian?” tanya Santi dengan serius.

Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Renata tersentak. Bukankah itu termasuk hal privasi. Meskipun Santi adalah mertuanya, bukankah tidak seharusnya bertanya mengenai kehidupan anaknya, selagi anak tidak meminta saran. Dia tidak habis pikir mertuanya itu akan bertanya hal-hal seperti itu.

“Mama bukannya mau ikut campur masalah ekonomi kalian. Cuma Mama merasa aneh saja,” ucapnya lagi mencoba menjelaskan, karena tidak kunjung mendapat jawaban dari keduanya.

“A-aneh seperti apa, ya, Ma?” tanya Renata pelan, mencoba berpikiran baik, terlebih suaminya kini menggenggam tangannya semakin erat.

“Iya aneh saja. Kebutuhan kalian itu berapa, sih, sebulan dengan satu anak. Renata juga baru sebulan ini yang berhenti kerja. Kenapa, kok, gak bisa beli mobil baru kayak Bima. Padahal, istri Bima dari awal nikah gak kerja. Anaknya juga dua, tapi bisa, tuh, beli mobil yang baru. Bukan bekas!” lontar Santi menggebu, membandingkan antara kedua anak dan menantunya.

“Ma, udah! Ayo istirahat,” sentak Burhan menarik tangan istrinya.

Santi menolak. Dia masih bersikukuh untuk mewawancarai anak dan mantunya. “Bentar dulu, Pa. Mama belum selesai. Ini buat kebaikan mereka juga,” ujarnya dengan menarik suaminya untuk kembali duduk.

“Kalian jangan boros-boros! Masa, iya, gaji 8 juta sebulan habis. Gak ada tabungan! Kamu lagi Bagas! Sebagai suami kamu itu harus bisa tegas ke istrinya. Jangan semuanya dituruti,” tekannya berapi-api.

Kemudian Santi menatap Renata. “ Dan kamu Renata! Sebagai istri harus pinter ngelola uang. Kalau tidak perlu, gak usah beli. Mama lihat banyak mainan Ghea yang gak terlalu penting. Jadi istri harus irit! Gak usah pakek skincare-skincare mahal. Pakek sabun muka sama bedak aja udah cukup!” Lagi-lagi Santi memberi petuah dengan menunjuk-nunjuk wajah Renata.

“Kan, Bagas ada cicilan rumah, Ma. Gak kayak Mas Bima yang dapat rumah dari mertuanya.” Bagas bersuara tegas, berharap mamanya bisa mengerti.

“Justru itu! Kenapa kamu gak minta juga ke mertuamu. Biar kamu gak ada cicilan. Kamu tinggal sama anaknya juga, kan. Masa iya gak bisa!” balas Santi yang kini mulai berdiri dan berkacak pinggang.

“Sama satu lagi. Jangan terlalu sering manja yang makan harus beli. Masak sendiri lebih hemat. Kalau cuma pusing sedikit aja itu tahan. Masak sebentar gak akan buat kamu langsung masuk UGD!” tambahnya menggebu-gebu kembali menunjuk Renata.

“Cukup, Ma! Ayo tidur atau kita pulang!” seru Burhan yang sudah jengah, dan menarik tangan Santi untuk masuk ke dalam kamar dengan sedikit kasar.

Suasana tegang itu akhirnya kembali tenang tatkala mertua Renata masuk ke dalam kamar. Renata pun menghembuskan nafas kasar yang sedari tadi dia tahan, dan mengusap dadanya. Tidak bisa dia pungkiri, hatinya berdenyut sakit mendengar kata per kata yang mertuanya lontarkan padanya. Terlebih saat dirinya di tunjuk-tunjuk tepat di depan wajahnya. Karena seumur hidup dia tidak pernah diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya atau siapa pun.

Lagi-lagi air matanya luruh tak bisa dia bendung. Namun, dia setidaknya sedikit bersyukur, karena anaknya sudah tertidur. Jadi, dia bisa sedikit tenang. Karena Ghea tidak mendengar suara-suara keras dan caci makian yang dirinya terima.

Bagas tidak bisa berbuat banyak. Karena bagaimana pun juga, Santi adalah ibunya. Meskipun dia membela Renata, ujung-ujungnya akan semakin panjang. Dia hanya bisa membawa sang istri masuk ke dalam kamarnya begitu kedua orang tuanya beristiraha. Kemudian merengkuh tubuh Renata yang sudah bergetar hebat, karena menangis.

“Maafin Mama, ya. Jangan di masukin ke hati. Mungkin Mama hanya mengingatkan kita untuk hemat, untuk kebaikan kita,” ucap Bagas lembut dengan mengecup puncak kepala istrinya. Membuat tangis Renata semakin pecah di dalam pelukan Bagas.

Hai semua

Jangan lupa tinggalin jejak sebanyak-banyaknya 😊

Salam sayang dari author 😘

Terpopuler

Comments

Lylia07

Lylia07

kuatkanlah Renata. ini baru awal 😭
aku harus nyetok kesabaran juga nih bacanya 🥲

2023-10-15

0

Cokies🐇

Cokies🐇

Hai kak aku mampir 👋 mampir juga yuk ke karyaku Remember You, makasih 🤗

2023-08-29

0

Cokies🐇

Cokies🐇

minta dicabein deh nih mulutnya

2023-08-29

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!